File 0.7.1 - Annoying Reporters

"Ukh..." Watson memegang kepala yang pusing, meringis merasakan ngilu luar biasa di betis. Aiden di depannya terbatuk-batuk. Cairan merah hangat dan kental mengalir dari kepala. Pelipisnya terkoyak. Wajah dan seragam sekolah mereka berdua cemong oleh kepul debu. Robek-robek.

"Kalian baik-baik saja?" tanya Aiden pelan, mencoba duduk, namun batal, meringis lebih dulu. Punggung Aiden menghantam kencang permukaan, bengkak.

Hellen pertama yang berhasil duduk. Tangan kanannya patah. Lehernya sakit. "Tidak ada yang baik-baik saja setelah terkena ledakan bom, Aiden," jawabnya tak kalah pelan. Mengernyit menahan sakit.

Watson menoleh ke kobaran api di belakang, kembali mengingat beberapa detik lalu. Yang tadi itu nyaris saja. Kami beruntung ada jeda 15 detik sebelum bomnya benar-benar meledak. Atensi Watson beralih ke tubuh Roxa terikat oleh tali. Pingsan. 15 detik berharga untuk menyeret keluar Roxa dan mundur dari bangku penonton. Kami sungguh beruntung tidak mendapat luka fatal.

"Jeremy..." Hellen memanggil sumbang. "Kamu baik-baik saja?"

"Ya." Pemilik nama menjawab parau. Kondisi Jeremy amat memprihatinkan. Kepalanya terluka, kaki kirinya terkilir, paha tercabik, lengan kiri tertusuk benda tajam. Jeremy lebih dulu melompat menarik Hellen. Dia di depan Hellen, menjadi tameng. Tentu lukanya amat signifikan.

Aiden menatap berkaca-kaca, memejamkan mata kiri. "Dan... betismu..."

Hellen dan Jeremy sama-sama terkesiap. Sebilah kaca tebal menembus betis kiri Watson. Mereka ingat, Watson berdiri di bawah tiang lampu ted stadion. Ledakan memecahkan kaca lampu, pecahannya menghujani apa pun yang ada di bawah. Watson cekatan menghindari anggota tubuh yang bisa berdampak riskan.

"Aku tidak apa-apa," kata Watson meringis. Dia tidak bisa duduk, tidak bisa menggerakkan kaki kiri. Mati rasa dan kaku. Jadilah Watson tengkurap di rumput, mengatur napas.

"Kamu sendiri baik-baik saja, Aiden? Pelipismu terluka. Apa kamu bisa melihat dengan baik?" Hellen loncat menanyakan kondisi Aiden, dari tadi memejamkan mata.

"Ya." Aiden menjawab pendek. "Aku hanya pusing. Kepalaku lebih dulu jatuh ke tanah."

Belum habis kalimat Aiden terucap, suara aungan sirine damkar dan polisi memenuhi langit-langit stadion. Itu pasti petugas pemadam kebakaran yang ditelepon oleh penduduk setempat.

Aiden menoleh ke arah Watson. "Sekarang kita bagaimana, Dan?"

"Kita menjauh secepat mungkin, Aiden." Watson berkata lugas. Masih tidak bisa duduk. "Aku tidak perlu menebaknya, selain mobil damkar dan polisi, belasan wartawan dari agensi-agensi berbeda akan bersitungkin datang kemari. Ingat, ini Stadion Terminus. Berita ledakan di lapangan bisbol tentu akan meroket di kolom pencarian. Kita tidak bisa mengambil resiko tetap berada di sini. Bisa-bisa kita kena imbasnya."

"Maksudmu kita melarikan diri? Bagaimana dengan pelakunya? Si CL brengsek pasti masih ada di sekitar sini."

Watson mendongak menatap ruang penyiaran. "Aku yakin di sana ada Kotak Hitam yang merekam semua kejadian. Semoga saja para polisi becus mencari jejak Child Lover sialan."

"Bukankah kita seharusnya meminta wartawan atau polisi memalsukan kematian kita? CL pasti mengira kita sudah mati."

Watson menggeleng. Itu ide buruk. Justru semakin terbuka mereka mengekspos fakta masih hidup, akan mempermudah membaca pergerakan Child Lover. Kali ini CL menang karena klub detektif Madoka lengah. Berikutnya tidak akan.

Lima menit diam, akhirnya Aiden tertawa pelan. Disusul Hellen, lagi-lagi meringis. Jeremy ikut tersenyum. Watson membuang napas berat. Walau kasus ini panjang dan rumit, penuh rintangan berat, membuat mereka terluka, mereka berhasil menyelamatkan Roxa. Salah satu tawanan musuh bebuyutan para detektif.

Walau kasus ini membuat mereka seperti cugak-campah, belepotan oleh asap ledakan, semrawut dan acak-acakan. Mereka baik-baik saja karena masih bisa bernapas. Keberuntungan memihak Watson.

Aiden mengulurkan kepal tinju ke depan. "Kita tidak akan melewatkan momen ini karena luka kecil, kan?" ucapnya nyengir.

Watson menghela singkat, ikut melakukan gerakan 'keren' selesainya sebuah kasus. "Kepalamu berdarah, Aiden. Itu bukan luka kecil. Itu luka serius."

Hellen ketiga menjulurkan tinjunya. "Dipanggang terik mentari, tiada embusan angin dan daya listrik, dilempar oleh ledakan bom. Ini akan jadi pengalaman bersejarah bagi klub detektif Madoka."

"Kita harus meminta bayaran tinggi." Jeremy sekali lagi meringis, meletakkan tinjunya paling atas.

"Case Closed."

*

BERITA TERKINI: Ledakan misterius terjadi di Stadion Bisbol Terminus pada pukul 2.45 pagi! Pihak berwajib menduga ledakan tersebut berasal dari rakitan bom yang ditemukan di puing-puing studio! Setelah memeriksa rekaman CCTV tersembunyi, ternyata Klub Detektif Madoka berperang melawan Child Lover! Lagi-lagi mereka berhasil menyelamatkan orban CL dan terluka parah! Mereka berempat semakin dekat dengan sosok yang menghantui Moufrobi tiga bulan terakhir. Akankah mereka bisa menangkap CL? Akankah kerisauan penduduk segera berakhir?

Bip

BERITA TERKINI: Empat anggota Klub Detektif Madoka menolak dirawat ke rumah sakit. Mereka tidak memberi penjelasan, menolak wawancara, konferensi dan berbagai seminar lainnya! Apa yang sebenarnya mereka rencanakan?

Bip

BERITA TERKINI: Rekaman pada Kotak Hitam di ruang penyiaran menunjukkan keempat Anggota Detektif Madoka tengah menyelamatkan sandera yang tersembunyi di salah satu bangku penonton stadion, lantas ledakan pun terjadi. Kita sungguh bersyukur mereka baik-baik saja. Hanya mereka berempat yang bisa mengatasi kasus CL.

Bip

BERITA TERKINI: Tiga hari semenjak meledaknya Stadion Terminus, empat Tim Detektif Madoka masih tidak masuk sekolah. Madoka padat oleh ratusan wartawan untuk meminta keterangan langsung. Bahkan rumah Aiden Eldwers, Hellen Stern, dan Jeremy Bari penuh oleh beritawan, jurnalis, dan koresponden! Mereka tetap tidak bisa ditemukan! Ada di mana mereka sekarang?

Bip

BERITA TERKINI: Jasa empat sekawan Klub Detektif Madoka menyulut perhatian penduduk Moufrobi. Satu dua membuat spanduk besar: "Kalian Pasti Mengalahkan Child Lover! Kami Mendukung Kalian Sepenuh Hati!". Satu dua datang ke Madoka memberikan banyak hadiah dan bunga.

Televisi dimatikan.

Sudah tiga hari berlalu sejak keberhasilan Tim Detektif Madoka menyelamatkan teman sekelas yang diculik, Roxano Romaniza. Tiga hari juga stasiun TV penuh oleh berita-berita mengenai 'Pertarungan Hidup-Mati Klub Detektif Madoka Melawan Child Lover'.

Watson sudah tamat. Walau wajahnya belum diketahui, fakta bahwa klub mempunyai empat member resmi, tidak akan membantu alasan Watson selama ini: member magang. Magang tidak mungkin nekat seperti itu.

"Para wartawan bodoh itu tidak akan menemukan kita." Aiden bersenandung, bergelung di atas kasur Watson. Dua detik kemudian, dia meringis.

"Jangan banyak bergerak dulu, Aiden. Lukamu belum sepenuhnya tertutup." Hellen memperingati. "Apa kamu tidak dengar nasehat Dokter Reed? Kamu harus beristirahat banyak."

"Maaf-maaf." Aiden cengengesan. Perban putih menggulung mata kirinya, serta kepala.

Begitulah singkat ceritanya. Watson tidak mau menafikan janji mengajak mereka bertiga ke rumahnya, jadilah mereka bersembunyi dari cipika-cipiki wartawan di rumah Watson.

Yang menyambut adalah dokter kepercayaan keluarga Dan, Reed Radley. Selain seorang psikiater, beliau juga berpengalaman di rumah operasi, menyelamatkan pasien yang bisa dihitung jari.

Beliau amat kaget melihat mereka datang dengan keadaan 'babak belur'. Watson menjelaskan singkat dan sisanya bisa ditebak sendiri. Reed lah yang merawat luka mereka berempat.

"Rumahmu amat sederhana namun nyaman." Jeremy menceletuk. Cowok berkacamata dengan rambut kelabu acak-acakan itu sedang melakukan pemanasan ringan. Agak lucu mengingat tangan kanan Jeremy patah.

"Tapi, mau sampai kapan kita bersembunyi? Sampai suasananya tenang? Firasatku mengatakan para wartawan itu tidak akan menyerah walau kita absen berminggu-minggu."

"Namanya juga wartawan. Mereka akan melakukan semuanya demi informasi. Berlomba-lomba dengan wartawan lainl merebut liputan."

"Kita akan muncul hari Senin," cetus Watson membuat Aiden, Jeremy, dan Hellen menoleh kepadanya.

"Senin?" Aiden menghitung jari. "Itu berarti dua hari lagi? Tidakkah itu terlalu cepat, Dan? Kita juga jauh dari kata baikan."

Hellen menggeleng, setuju dengan Watson. "Semakin cepat kita kembali ke sekolah, semakin bagus mengusir wartawan-wartawan menyebalkan itu. Lagi pula kita nanti ketinggalan pelajaran, Aiden."

Aiden mengangkat bahu. "Kita baru absen tiga hari, Hellen. Empat hari jika menghitung penyelidikan kasus Roxa. Kita tidak akan ketinggalan."

"Yah," Manik mata Watson beralih ke Jeremy. "Dua hari memang tidak cukup untuk memulihkan Bari. Tapi setidaknya rasa sakitnya sudah berkurang sejak hari-H."

"Aku baik-baik saja, Aiden. Tubuhku ini superkuat!" celetuk Jeremy menyebalkan. Watson memutar bola mata malas. Kambuh lagi sombongnya. "Kita harus berkunjung ke rumah sakit, menjenguk Roxa."

Watson berdiri. "Ide bagus, kita bisa pergi menjenguknya sekarang. Tidak ada waktu untuk membesuk karena minggu besok kita akan berperang dengan media massa."

"Eh? Sekarang juga? Apa kamu sudah bisa berjalan, Dan?"

"Yeah, setidaknya aku tidak berjalan pincang."

*

"Pamanmu dinas di luar kota, Wat? Rumahmu sepi sekali. Kamu tidak menyewa pembantu?" Hellen bertanya. Mereka bercakap-cakap ringan menuju selasar rumah.

"Punya kok." Watson tidak keberatan menjawab. "Hanya saja beliau datang ketika kubutuhkan. Seperti memasak makan malam."

"Hanya memasak? Mencuci, bersih-bersih rumah dan yang lain, bagaimana? Apalagi kamu punya kebun bunga. Pasti ada seseorang yang merawat bunga-bunga ini."

"Aku yang mengerjakan semuanya." Watson menjawab polos.

Bahkan Jeremy yang tidak tertarik soal bunga, menoleh ke Watson. Mereka bertiga menatap tak percaya sekaligus takjub. Apa Watson bilang tadi? Dia yang mengerjakan pekerjaan rumah tangga? Sudah begitu, anak cowok kok bermain-main dengan bunga.

"Ka-kamu yang melakukan segalanya? Kamu tidak capek atau apa kek 'gitu?"

Aiden menatap khawatir. "Dan, kamu tidak merasa kesepian?"

Watson menggeleng. "Dokter Reed dalam seminggu datang berkunjung lima kali. Lagi pula aku terlalu sibuk dan tak punya waktu mempedulikan kekosongan rumah."

"Kamu jangan begitu dong, Watson. Atau kamu mau membeli kucing? Anjing? Kelinci? Apalah yang penting bisa menjadi temanmu di rumah." Hellen menyebut apa saja yang terlintas di kepalanya.

Watson diam. Memelihara hewan? Sepertinya itu bukan ide buruk. Dia tidak pernah memikirkannya.

"Hellen benar, Dan. Atau begini saja, ulang tahunmu kapan?"

"7 desember." Gawat, Watson malah keterusan menjawab.

Aiden menepuk tangan. "Aku akan membeli kado untukmu, Dan! Hewan peliharaan! Jenisnya rahasia."

"Hadiah kok dibeberin."

"Tapi jenis hewan yang ingin kubeli, kan, tidak kusebut." Aiden mencibir.

Hellen tertarik. "7 desember, ya? Delapan bulan lagi dong?"

"Ayolah, kita tidak akan menghabiskan waktu untuk hal sepele ini, kan?" Watson mendesah panjang. Mereka tidak jadi-jadi keluar dari pekarangan rumah sebab tertahan oleh percakapan. "Kita harus menjenguk Roxa."

"Ayey, captain!"






Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top