File 0.6.9 - Had Become a Habit
Sebenarnya Watson masih mengantuk berat. Jika memakai algoritma, Narkolepsi yang dia idap berada di level tiga. Tapi rasa ingin 'ikut membantu' lebih besar dibanding rasa kantuk.
"Aku punya rencana," kata Watson pelan, berusaha mengambil semua nyawa yang masih loncat sana-sini di alam mimpi. Tidak ada waktu untuk tidur, Watson. Sadarkan dirimu. Menguap kecil.
Aiden buru-buru menoleh. Wajahnya yang bersungut-sungut semenjak kedatangan Candy lenyap seketika. Candy sendiri ikut berseri. Deon berkacak pinggang.
"Akhirnya kamu bangun, Dan!" seru Aiden menghampiri Watson yang perlahan duduk. "Tadi aku sempat berpikir kamu akan tidur lama, paling tidak satu jam. Syukurlah kamu sudah bangun."
Watson menguap lagi, lantas menatap Aiden tidak mengerti. Pasalnya intonasi suara Aiden seperti berbicara Watson sudah sangat lama bangun dari tidur panjangnya. Hei, memangnya Watson lagi koma, heh?
"Jadi, apa rencanamu?" Deon bertanya cepat.
Watson ingin membuka mulut, namun batal, justru melirik sinis ke Aiden. "Kamu ini, tanganku bukan bantal guling. Lepaskan."
Itu benar. Entah apa yang dipikirkan Aiden, seenak udel memegangi lengannya. Pakai wajah tanpa dosa lagi.
"Ufu~" Si jahil Hellen datang meledek. "Bukankah sudah kubilang, Wat? Aiden menganggap lenganmu itu bantal kesayangannya di rumah! Aiden tidak bisa menyangkal kali ini. Banyak saksi mata."
"Enak saja!" Aiden protes, 'membuang' tangan Watson membuat Watson melotot. Dia beranjak bangkit, menormalkan wajah yang memerah. "Ayo, Dan! Katakan rencanamu!"
"Kita akan membagi tim." Watson langsung mengatakan poin utama. "Detektif Shani tinggallah di TKP, jangan sampai polisi lain mengetahui rumah ini tempat pembunuhan. Lalu Detektif Max pergi ke lokasi forensik yang dikenal Inspektur Deon. Jika memang kalian tidak mendapat izin untuk melakukan investigasi lanjutan, yang dikatakan Celeste benar. Kita akan menyelidikinya diam-diam."
Dua pemilik nama mengangguk serius. Candy di belakang Deon tersenyum kikuk mendengar namanya disebut Watson—senang Watson tidak keberatan akan keberadaannya.
Watson bergabung ke halaman rumah. Wajah kantuknya sirna digantikan wajah serius. "Kita tidak bisa menyelidiki tanpa internet, susah menemukan informasi. Forensik sekutu pun harus segera melakukan autopsi. Oleh karena itu, aku, Stern dan Bari akan kembali sekali lagi ke gardu listrik. Semoga saja ada substitusi yang bisa membantu. Jika tidak ada lagi alternatif, terpaksa kita pergi ke rumahku. Terlalu mencolok datang ke kediaman Aiden berombongan. Rumah itu seperti istana, sangat anakronistis."
Aiden tertegun, juga Hellen dan Jeremy. Pergi ke rumah Watson? Itu jelas prospek yang menarik bagi mereka bertiga selama mengenal Watson. Tapi, tunggu, tidakkah Watson lupa menyebut nama seseorang?
Watson menoleh kepada Aiden yang bertanya-tanya mengapa Watson tidak menyinggung namanya. "Aku tahu maksud gestur tubuhmu Aiden, namun maaf, kamu di tim lain. Inspektur Deon, Celeste dan Aiden pergilah ke korban ketiga, kediaman Danbi."
Tentu Aiden tidak terima. Mana mau dia melewatkan kesempatan pergi ke rumah Watson.
"Tidak mau," kata Aiden tegas. "Aku akan ikut denganmu. Suruh saja Jeremy bersama Inspektur Deon. Atau Hellen mungkin."
Jeremy mendelik. "Enak saja! Watson sendiri yang membagi tim, Aiden. Sportif sedikit dong! Watson-mu tidak akan hilang walau terpisah beberapa jam. Kamu ini terlalu hiperbolis."
Aiden merona, menjambak rambut Jeremy. "Apa kamu bilang, hah! Sini kutonjok sampai babak belur!"
Watson menghela napas jengah. Kenapa mereka bertingkah anak-anak begini di TKP? Dasar tidak tahu malu. Pura-pura tidak lihat deh. Watson membuang muka, seolah menganggap kedua insan itu bukan siapa-siapa.
"Ngomong-ngomong..."
Watson menatap Deon. "Apa?"
"Bukankah seharusnya kita ke rumah Tix, korban kedua? Kenapa kamu menyuruh pergi ke kediaman korban ketiga? Pelaku jelas hendak memburu keluarga Tix, sampai ke terakhir, keluarga Danbi."
Ah, pertanyaan itu rupanya. Watson mengembuskan napas perlahan. "Aku juga belum tahu. Keterbatasan informasi membuat kasus ini buntu. Aku hanya mengikuti instingku, ada sesuatu tersembunyi pada tiga murid ini. Entah mereka berteman atau memiliki hubungan apalah. Aku belum mengetahui motif pelaku."
"Psikopat tidak butuh motif untuk membunuh, Watson. Mereka gila." Deon menggeleng.
"Kita tidak bisa langsung menyimpulkan pelaku seorang psikopat, Inspektur." Watson ikut menggeleng. "Lagian aneh seorang psikopat membunuh seperti itu. Jauh dari kelumrahan untuk seseorang yang kehilangan sisi manusiawi."
Deon terdiam. Benar juga.
"Ini hanya pendapat pribadiku. Percayalah, aku menganggap kasus ini adalah kasus pembunuhan berencana. Sengaja atau tidak itulah yang sedang kupikirkan. Tapi aku belum punya bukti kuat untuk memperlihatkannya, jadi beri aku waktu."
Deon tersenyum kecil membuat Watson berhenti mengoceh, menatap datar. "Apa?"
"Jangan pedulikan aku." Deon melambaikan tangan. "Tidak kusangka kita bisa berbicara lunak begini dengan catatan pertemuan yang sangat kasar. Waktu amat ajaib mampu merubah hubungan dan perilaku seseorang."
Watson tidak menjawab, membiarkan Deon dengan kata-kata sentimentalnya.
"Pokoknya aku ikut denganmu, Dan!" Di sisi lain, tampaknya Aiden dan Jeremy sudah berhenti berdebat, melangkah geram ke tempat Watson. "Aku tak peduli, aku tetap akan ikut meski kamu mengusir!"
Watson manyun. Masih belum mengerti juga gadis ini?
"Kamu tidak bisa menyuruhku pergi dengan tim lain, Dan," Aiden mendekat ke Watson, mendekatkan kepala. Membisikkan sesuatu. Ekspresinya terlihat seperti setan berhasil menggoda manusia. "Semua foto masih berada di tanganku. Kamu lupa?"
Watson makin manyun. "Kamu serius mengancamku dengan itu?"
Aiden nyengir lebar, seakan mengancam adalah prestasi yang patut dibanggakan.
Tidak ada pilihan lain. Aiden kalau memang sudah keras kepala sulit mencari cara untuk membuatnya paham. Watson juga ingin meminta penyelidikan Aiden selama dia tidur. Keputusan sudah bulat.
"Baiklah." Watson menoleh ke Hellen, "Maaf, Stern, tapi—"
"Tidak apa." Hellen lebih dulu menjawab, menatap Aiden menggoda. "Aku tahu Nona Muda Aiden tidak mau dipisahkan dari pangerannya. Biarkan hambamu yang rendah hati ini mengalah."
Aiden menyeringai, mengacungkan jempol.
"Anu," Candy berkata pelan. "Apa aku boleh membantu?"
Watson menatap Candy lama, mengangguk. "Tapi jangan jauh-jauh dari Inspektur Deon. Utamakan keselamatan."
"Te-terima kasih!"
Aiden harusnya sudah cemberut, berdecak tak terima, namun entahlah. Kali ini dia malah bersenandung ria. Dia tak peduli karena hatinya sedang senang, bisa satu tim dengan si sherlock pemurung.
Dia telah 'menang'.
*
Ini aneh. Sangat aneh.
Begitulah kira-kira isi pikiran Watson dua puluh menit meninggalkan TKP. Aiden tak henti-hentinya menebar wajah seri, tersenyum tak jelas pada Watson. Apa dia kerasukan roh?
"Apa kamu punya deduksi lain?" Untunglah Jeremy ada di sini. Setidaknya ada yang bisa diajak mengobrol dengan waras.
"Maksudmu?"
"Kembali ke gardu induk, mencari cara untuk menyalakan listrik. Kamu pikir aku tidak tahu kamu mempunyai siasat tertentu? Melihat kerusakan pada kabel-kabel, butuh waktu untuk menggantinya dengan yang baru. Kamu menemukan hal ganjil di tempat itu, ya?"
Watson mengangguk. "Aku rasa kita tidak menyelidiki dengan teliti. Pasti ada yang tertinggal."
"Aku tidak mengerti. Jelaskan lebih spesifik, Watson. Aku tidak terima penjelasan pendek."
Akhirnya Aiden berhenti bersenandung, ikut memperhatikan percakapan. Suasana di sekitar mereka bertiga berubah serius. Bola raksasa di angkasa seperti malas mengurangi cuaca panas.
"Baiklah." Watson berdeham pelan. "Jika kamu tidak sabaran ke mana arah kasus ini, maka kita harus menukar tujuan. Bagaimana cara aku menjelaskannya pada kalian yang aku sendiri masih belum tahu?"
"Eh? Ke mana?"
"Kita punya dua tujuan. Pertama, kita harus ke rumah Tix. Dua puluh menit sudah cukup mengantar Stern ke kediaman Danbi. Aku diam-diam menyuruhnya mengamati TKP kedua, juga memberi pesan agar menyusul kita ke rumah Tix. Kita berempat akan kembali berkumpul di titik itu."
"Kita pergi sekarang?"
Bahkan Aiden sampai melotot pada Jeremy. "Ya ampun! Kamu serius, Jer? Pertanyaan apa itu? Tentu kita pergi sekarang!"
Lupakan tujuan ke gardu listrik. Mereka bertiga mengganti haluan, rumah korban kedua, Tix. Sejujurnya itulah alasan kedua Watson meminta agar kembali ke gardu. Rute jalan ke sana memotong jarak menuju kediaman Tix.
Jeremy bergumam sendiri. Si Watson ini, dia selalu punya rencana cadangan setelah merancang rencana emas. Jeremy yakin sekali bahwa Watson menyiapkan sesuatu. Entahlah apa itu.
Hanya membutuhkan sepuluh menit untuk sampai ke bangunan rumah dengan nama 'Gudrun'. Meskipun rumah itu tidak setaipan istana Aiden, namun sudah cukup menjadi bukti bahwa Tix berasal dari keluarga kaya.
"Apa sebenarnya rencanamu, Watson?" Jeremy bertanya untuk ke sekian kalinya. Watson jelas-jelas merencanakan sesuatu dan disembunyikan dari mereka. "Apa mungkin kamu tadi hanya berpura-pura tidur? Memikirkan rencana matang-matang?"
"Aku tidak pernah berbohong soal Narkolepsi-ku, Bari. Aku juga tidak pernah bisa mengendalikannya." Watson tersinggung. "Aku hanya bisa bilang, sekali dayung dua-tiga pulau terlewati. Satu nyawa tak berdosa akan tertolong hari ini. Selebihnya lihat saja nanti. Kita harus cepat."
Rumah besar itu sepi. Halamannya terpangkas rapi. Bunga warna-warni menghiasi jalan setapak menuju tiang rumah. Kalau saja situasinya lebih baik, pemandangan di sini lumayan indah untuk cuci mata.
Mata Jeremy membulat tak percaya. Aiden berbinar-binar kaget. Rahang Watson mengeras, mendecih. Mereka baru saja membuka pintu rumah yang ternyata tidak terkunci.
"A-apa yang terjadi di sini?"
Ini pembantaian besar-besaran. Lima belas pembantu, termasuk koki, sopir dan tukang kebun, tubuh mereka sudah tergeletak tak berdaya di ruang depan. Hanya genangan darah sejauh mata memandang. Yang paling menonjol, ada 15 pisau dapur menancap di leher korban masing-masing.
Watson menelan ludah. Hal di depannya sangat di luar perkiraan. Bagaimana mungkin pelaku membunuh seisi rumah?
Aiden menutup mulut. Tubuhnya bergetar. Pisau, leher, darah. Walau Aiden berkali-kali melihat luka mayat, dia tetap tidak bisa menahan ngeri jika penyebab kematian adalah leher. Apalagi secara terang-terangan begini. Rasanya Aiden hendak menangis.
"Jangan lihat lebih lama, Aiden!" seru Watson secepat mungkin pindah ke belakang Aiden, menutup mata gadis itu menggunakan kedua tangan. "Kamu akan mual dan ngilu. Bari, segera periksa lantai dua! Cari orangtua Tix!"
"Y-ya." Hanya Jeremy yang bisa diandalkan di sini. Dia bergegas melenting menaiki anak tangan. Lampu kristal di langit-langit atap terlihat bergoyang akan jatuh.
Parah sekali. Apa dia sungguhan psikopat? Ini rumit. Watson membatin, tangannya masih menutupi mata Aiden.
Semakin lama dia tinggal di Moufrobi, semakin kenyang Watson oleh kasus. Tiap mendapat kasus, mereka seakan rapat siskamling. Termin satu mudah dilewati, juga termin dua. Termin tiga mulai sukar ditangani, begitu seterusnya. Belum selesai kasus Si Maniak Anak, muncul lagi masalah baru. Kenapa potensi kriminal kota kecil ini melonjak?
Pemandangan di depan memang mengenaskan dan jauh dari sifat kemanusiaan, namun Watson harus bersikap rasional dan tegas. Apa pun yang terjadi dia harus konsisten pada rencana.
Jemari Aiden menyentuh tangan Watson, melepaskannya.
"Aiden?"
Wajah gadis penghias rambut itu kosong. "Aku tidak apa-apa, Dan. Berkatmu aku tidak gemetaran lagi."
"Sungguh? Wajahmu masih pucat."
"Sebagai gantinya..." Aiden bergeser ke samping, memeluk lengan Watson. Tersenyum teduh. "Sehari ini saja, ya?"
Watson terdiam. Perbuatan Aiden sama persis seperti yang dilakukan Mela di masa lalu, saat dia takut ke rumah hantu. Mela juga memasang wajah memelas terbaik supaya Watson luluh, membiarkan lengannya dipeluk. Dia mendesah panjang.
"Terserah saja."
Jeremy akhirnya selesai memeriksa kamar utama tuan rumah, berseru, "Ada tiga korban di sini, Watson! Suami-istri dan satu anak kecil usia tujuh tahun."
"Itu berarti mereka keluarga Tix, tidak salah lagi. Total korban 18, ya?" Watson mengembuskan napas. Sampai tega membunuh anak kecil, sungguh biadab sekali. Semangat Watson ditelan simpati.
Sebentar, 18 orang?
Aiden dan Jeremy tersentak melihat Watson tersenyum miring.
Dia sudah menemukan jawabannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top