File 0.6.7 - Heavy Investigation
Watson sudah menduga bahwa mereka tidak bisa leluasa bergerak ke sana-sini karena cuaca nan panas. Mereka lebih dulu kehabisan tenaga, beristirahat sekaligus mencari teduh, lantas lakukan itu delapan menit kemudian.
Tapi, mau bagaimana lagi? Listrik padam, mati total. Kecuali jika ada yang mau menyumbang untuk membeli diesel. Yah, Aiden sebenarnya sudah punya gagasan untuk membeli benda itu, namun Watson pikir itu akan merepotkan dan membuang banyak waktu. Belum lagi mengisi bensinnya atau apalah tetek-bengek lainnya.
Jadilah mereka pasrah mandi keringat di ruang klub. Rasanya seperti dalam sauna. Semuanya berhawa panas. Wahai Angin, kapan Engkau berembus? Tidakkah Engkau melihat sebuah kota kecil di bumi membutuhkanmu? Mendrama mendadak.
"Mungkin, ini bukan pembunuhan." Watson punya pendapat tak masuk akal.
Apa maksudnya? Setelah melihatnya langsung, jelas-jelas kasus ini kasus pembunuhan. Tidak ada tiga murid bunuh diri massal di pohon yang sama juga dengan cara yang sama: digantung.
"Apa mungkin aksi teror?" Hellen ikut menduga-duga.
"Kita tidak tahu pasti jenis apa kasus ini. Entahlah, aku hanya merasa bahwa ketiga murid ini tidak dibunuh cuma-cuma. Aduh, bagaimana cara mengatakannya, ya? Ini seperti kesengajaan? Bukan. Seperti bunuh diri tak langsung?" Watson menggaruk-garuk kepala, dilanda kebingungan. Dia tidak punya argumen yang membantu di kepala.
"Tapi, Dan, bukankah kamu sendiri bilang mati lampu yang terjadi adalah ulah pelaku?"
"Pokoknya, pertama, mari kita anggap ini pembunuhan berencana." Watson berkata skeptis, tidak yakin, namun dia tidak punya pilihan selain bersikap lugas. "Kita harus mencari asal-usul korban dahulu sebelum loncat ke topik berikutnya. Ini akan menjadi penyelidikan yang berat."
Watson menggulung lengan seragam sekolah sampai siku, melepaskan dasi. Jeremy dan Hellen melakukan hal yang sama. Mereka harus membuang benda-benda yang menghambat nantinya.
"Aku curiga," Hellen bergumam sembari menguncir rambut.
"Apanya?"
"Bahkan sekarang belum bulan musim panas. Apa kita akan diuji lebih berat saat liburan musim panas besok?"
"Kita pikirkan nanti-nanti."
Aiden terbelalak, memandang Watson tak percaya. "Apa, heh?"
"A-aku tidak tahu kulitmu sebersih itu."
Ya ampun. Di saat seperti ini, Aiden masih memikirkan masalah kulit? Watson hampir saja kelepasan menjitak kepala Aiden, menghela napas kasar, kemudian menatap lengan tangan yang putih bersih. Tidak normal untuk anak laki-laki. Tapi, hal itu wajar karena Watson dari New York. Luar negeri. Jelas dia merawat tubuh baik-baik.
"Tidak bisa, Dan!" Aiden menarik lengan Watson, mengeluarkan sebuah botol krim dari tas. "Kamu harus memakai tabir surya! Kulitmu bisa terbakar dan menghitam!"
Jeremy dan Hellen saling tatap. Aiden serius?
"Aiden, ini bukan waktunya mengurus hal sepele," kata Watson jengah, habis tenaga, membiarkan Aiden seenak jidat memegangi lengannya. "Ada hal penting yang harus kita lakukan. Kita tidak sedang di pantai, liburan."
Tapi, peduli amat ocehan lemah Watson. Aiden sudah asyik mengolesi krim tersebut ke tangannya.
"Eh, aku minta dong."
"Aku juga. Aku juga."
"Nih, aku bawa ganda. Kalian pakai mandiri."
Hellen dan Jeremy malah ikut-ikutan menutupi kulit mereka yang cerah, takut jadi gelap karena terik matahari. Rombongan apa ini sebenarnya? Watson hanya bisa mengembuskan napas panjang.
Aiden terdiam, tersenyum kecil, memegang lengan Watson lembut. Sangat halus, seperti orangnya.
Tiga menit.
"Nah, sudah selesai, kan? Mari kita berangkat. Jangan membuang waktu lagi. Kalau tidak, kulempar krim itu ke wajah kalian." Watson berkata ketus, bangkit dari kursi, menatap Aiden masam. "Dan kamu, mau sampai kapan kamu memegang tanganku?"
"Mungkin bagi Aiden, lenganmu terlalu mungil dan kecil, mirip dengan boneka yang sering dipeluk Aiden di rumah, Wat," celetuk Hellen menggoda.
Wajah Aiden merona. "TIDAK!"
*
Jeremy menerima power bank yang disodori Watson. "Sepertinya kita harus menghemat baterai karena tidak tahu kapan listrik akan menyala."
"Yah, aku sudah mengisi penuh dua power bank. Serap jika terjadi sesuatu."
"Apa kamu sudah terbiasa membuat rencana di jauh-jauh hari? Inspektur Deon sangat kagum padamu. Kenapa kamu bisa secerdik itu." Jeremy berdecak.
Watson tak minat berbicara mendengar kata 'Deon', namun dia paksa menjawab. "Entah, aku sudah terbiasa. Kamu tahu, lebih mudah melakukannya daripada menjelaskan. Anggap saja begini, dalam kehidupan, manusia hanya fokus pada satu titik seraya menunggu titik selanjutnya datang dengan sendirinya. Sementara aku, tidak sabaran menembus titik-titik itu, ingin melihat apa yang terjadi."
Jeremy diam. Watson meringis, dia tahu perkataannya sangat berbelit dan sukar dimengerti.
Di sisi lain, Aiden dan Hellen terlibat 'perkelahian' yang serius. Aiden berkali-kali melotot, menyikut Hellen.
"Apa sih, Aiden? Sakit tahu!"
"Kamu ini, bicara apa kamu tadi, huh? Kamu membuatku malu tahu tidak!"
"Halah! Kalau kamu suka Watson, bilang langsung dong. Nanti muncul cewek baru, Watson-nya disambar, tahu rasa kamu. Harusnya kamu berterima kasih aku mau membantu 'pedekate'-mu ke Watson, Den, bukan malah memelototiku."
Aiden mendelik, mencubit pinggang Hellen. Gemas. "Siapa yang suka, hah! Kamu jangan asal main tuduh dong!"
"Oh? Jangan bilang kamu belum move on dari Grim? Ayolah, Aiden, dia itu pria berengsek. Kamu tidak perlu memikirkannya lagi. Jangan jadi bucin. Dia meninggalkanmu, memilih bersama orang lain. Eww! Kusumpahi masa depannya suram!"
"Lagi pula," Aiden menatap nanar punggung Watson yang sibuk berbincang dengan Jeremy.
Aiden masih ingat jelas percakapan Watson dengan teman bernama Aleena. Dia tak sengaja menguping. Aiden dan Watson sama-sama memiliki orang yang disayangi, jadi yang Hellen lakukan itu mustahil. Walau Aiden masih belum tahu mengenai perasaannya terhadap Watson. Dia tidak tahu, lebih tepatnya menolak percaya.
Hellen bergumam sendiri, menarik baju Watson dari belakang. "Hei, Wat."
"Apa?"
"Coba tersenyum. Atau bertingkah lucu. Pokoknya kamu coba out of character."
Watson menaikkan satu alis ke atas. Itu permintaan aneh. "Mengapa aku harus melakukan itu?"
"Lho, bisa jadi, kan? Keraguan dalam hati Aiden lenyap. Kamu harus tahu Watson, Aiden itu perhatian padamu. Lihat soal tabir surya tadi, itu kesempatan Aiden untuk menyentuh tanganmu." Hellen menyeringai tanpa dosa.
Blushing!
Wajah Aiden memerah, spontan memukul-mukul punggung Hellen. "A-apa yang kamu katakan, Hellen! Jangan menebar gosip!"
"Aduh, sakit, Aiden. Aku hanya bercanda."
Aiden menoleh kepada Watson, gelagapan. "K-k-kamu jangan dengerin Hellen, Dan. Dia itu suka ngomong tidak jelas—"
Watson ikutan ngeblush meski dalam wajah datar.
Aiden dan Hellem terdiam. Suasana hening dan canggung seketika.
I-imut!!!! Suara hati Aiden dan Hellen.
"Hei-hei, kalian bertiga, kita sudah sampai di kediaman keluarga Gadela. Mau sampai kapan berdiri di situ? Kalian masih bisa bercanda di tengah-tengah terik begini?" Untunglah Jeremy segera 'menyelamatkan' suasana.
Watson berdeham, pandai mengendalikan emosi. Dia mendugas ke arah Jeremy. Aiden sekali lagi melotot pada Hellen, bilang berhenti bercanda. Hellen hanya cengengesan. Seru menggoda Aiden.
Baru dua langkah memasuki halaman rumah Gadela, Watson menarik lengan Aiden, menyuruhnya berhenti dan mundur ke belakang.
"Ada apa, Watson?" Satu tim dengan Watson dalam menangani beberapa kasus telah membuat Jeremy dan Hellen hafal tabiat cowok itu jika menemukan sebuah keanehan.
"Bari, pecahkan kaca itu." Watson memberi perintah sekaligus menunjuk sebuah serpihan kaca di antara tiang jemur.
Jeremy tanpa banyak tanda langsung mengambil kerikil di tanah dan PRANK! Pernik kaca itu berderai ke bawah.
"Kita tidak terlambat datang kali ini," gumam Watson bergegas memasuki halaman, menatap kepingan kaca yang pecah. "Bau minyak tanah mengelilingi rumah. Sepertinya pelaku didesak oleh waktu sampai-sampai menggunakan panas mentari dan kaca ini untuk membakar rumah korban."
"Tidak, Dan..." Aiden berkata pelan. "Kita sudah terlambat."
"Ng? Apa maksud—" Kalimat Watson menghilang di udara demi melihat bercak darah di (balik) pintu menyerupai coretan.
Aiden, Hellen dan Jeremy terpaku di tempat. Kaki mereka gemetaran. Lagi-lagi mereka telat mencegah kematian. Dalang pembunuhan Tiga Korban Berkacamata bergerak cepat, membunuh semua keluarga korban.
"Ini amat kompleks."
Watson berdecak kesal. Dia tidak mengerti motif pelaku sama sekali. Kenapa pelaku harus membantai keluarga korban? Apa salah satu keluarga korban merupakan saksi mata? Lalu dia membungkamnya sebelum ketahuan? Itu pemikiran polos.
Jeremy memasang sarung tangan karet, perlahan membuka pintu. Keluarga kediaman Gadela sederhana. Satu ayah, satu ibu, dan dua adik (laki-laki dan perempuan). Mereka berempat tewas di ruang keluarga, berjejeran. Bau darah pekat membuat anggota detektif Madoka refleks menutup hidung.
"Mereka semua sudah meninggal," kata Hellen menghela napas pendek, selesai memeriksa keadaan tubuh korban. "Sekitar 8 jam lalu."
"Itu berarti pelaku menyerang jam 6 pagi."
Manik Watson mulai menyapu pandangan. Seperti ada kaset yang bisa melihat masa lalu di kepalanya, rekaman kegiatan keluarga Gadela sebelum diserang pelaku, mulai bergerak.
"Melakukan kehidupan prasaja, Ibu Gadela pagi-pagi menyapu halaman dibantu oleh anak kedua (adik perempuan korban) menjemur pakaian. Ayah Gadela duduk di teras sembari meminum kopi dan baca koran pagi. Tak lupa anak bungsu masih tertidur di ruang keluarga dengan TV yang menampilkan kartu kesukaannya."
"Tapi," Aiden mengelus dagu. "Apakah tidak terlalu pagi untuk membaca koran? Maklumnya para Ayah melakukan itu sekitar jam 7-8."
"Mungkin Ayah Gadela hendak pergi bekerja? Mungkin saja beliau tipe pekerja rajin dan ingin pergi ke perusahaannya dengan cepat." Hellen mengedikkan bahu.
"Isi koran," kata Watson serius, menatap seonggok kertas yang penuh berita terkini, di samping jasad Ayah Gadela. "Ingat ada banyak polisi datang ke Hutan Maosav? Pasti salah satunya ada wartawan yang meliput berita ini ke rakyat untuk membuat plakat memperhatikan kepulangan anak-anak tercinta. Ini bukan perbuatan Child Lover, melainkan orang yang suka membunuh. Ayah Gadela panik tentang itu langsung mengira alasan Gadela terlambat pulang karena telah mengalami insiden tersebut."
"Dan di saat itulah, pelaku menyerang mereka. Begitu?" simpul Jeremy berhenti mengotak-atik tubuh mayat. "Pelaku memanfaatkan kepanikan dan ketakutan keluarga kecil ini akan putri sulung. Lantas, dia tergesa-gesa kabur sebab tahu bahwa kita ada di belakangnya."
"Senjata pembunuhan?" Watson bertanya.
"4 pisau buah. Yang mengherankan, mereka berempat sama-sama menusuk leher." Jeremy membuka sarung tangan. "Aiden, kamu jangan masuk. Aku tahu kamu sensitif sama bagian leher."
Aiden kikuk.
"Sebentar, 4 pisau buah?" ulang Watson mengernyit. "Maksudmu pelaku membunuh korban dengan senjata yang berbeda?"
"Apakah itu aneh? Mungkin dia ingin membuat polisi kesusahan mencari jejak."
Sama-sama menusuk leher. Mengapa pelaku melakukan hal itu? Dia bisa langsung menghabisi keluarga korban dengan satu pisau. Kenapa harus empat? Mata Watson terbuka-tertutup. Otaknya berpikir keras. Apa benar dugaanku bahwa ini bukan semata-mata pembunuhan berantai? Tapi dengan semua petunjuk yang kami dapatkan, kenapa?
"Dan, apa yang harus kita lakukan sekarang?" Kembali ke pertanyaan andalan, Aiden berdiri di dekat Watson. Juga Hellen dan Jeremy. Menunggu tindakan selanjutnya.
Menghela napas singkat, Watson bersedekap. "Pertama-tama, satu dari kita akan tetap berada di sini. Panggil... Ukh, mati lampu. Tak ada jaringan."
"Aku sepertinya mengerti kenapa pelaku merusak tenaga listrik." Hellen menceletuk.
"Kenapa?"
"Dia ingin penyelidikan kita berjalan lamban. Bukankah selama ini kita terbantu karena bisa menyelidiki latar belakang korban dengan internet? Dia mematikan sumber tempat informasi. Sungguh cerdik."
Terdiam.
"Brilian, Stern!" Watson menepuk kepala Hellen. "Sekarang kita tahu alasan pelaku melakukan perbuatan konyol itu. Dia menghambat penyelidikan kita. Membuat kita jauh tertinggal di belakang. Sial."
Aiden cemberut, menggelembungkan pipi.
"Lalu bagaimana sekarang?"
"Tidak ada pilihan lain, kita akan melakukannya dengan manual. Walau melelahkan, kita tidak boleh menyerah. Pelaku mungkin sudah siap-siap membunuh keluarga korban kedua, Tix." Watson menoleh kepada Aiden yang masih ngambek. "Aiden, kamu tinggal di sini. Jaga TKP. Sementara kamu Stern, pergi ke kantor polisi. Cari Deon dan—"
"Tunggu!" Aiden menyela. "Kenapa harus aku yang tinggal?"
"Karena aku percaya kamu pasti bisa menemukan sesuatu di rumah ini. Seperti petunjuk tersembunyi mungkin? Setelah polisi datang, kalian berdua kembali bergabung ... pada kami..."
Jeremy mengerjap mendengar suara Watson yang melemah. Terputus-putus. "Ada apa?"
"Kenapa, Watson?"
Aiden berhenti mengomel.
Watson menatap tangan. Pandangannya memburam. "Aku mengantuk—bruk!"
"Hei! Hei! Hei! Watson!" Jeremy dan Hellen segera menampung Watson sebelum tubuh cowok itu rubuh ke tanah. Mereka sama-sama mengaduh. "Aduh, bagaimana ini?"
Watson tidur di saat yang tidak tepat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top