File 0.6.5 - Don't Change The Title
Watson menelan ludah, mematung dingin memandangi pohon beringin yang menjulang di depan. Matahari telah terbenam saat atensinya fokus pada pemandangan mengerikan.
"T-tiga korban sekaligus? Dan mereka semua memakai kacamata. Tidak salah lagi, ini pembunuhan berantai."
Berjinjit untuk merasakan suhu tubuh korban, Watson mengernyit. "Gadis ini baru tewas lima menit yang lalu. Sial. Andai kami tidak main-main tadi, kami pasti punya kesempatan."
Watson mengeluarkan ponsel dengan wajah datar. Sudah kuduga, tidak ada sinyal di sini. Satu di antara mayat di pohon adalah orang yang menelepon Aiden. Dia harus memberi tanda pada Deon untuk mengamankan TKP.
Tetapi, bagaimana caranya?
"Aku tahu hal ini akan terjadi, saat dimana kamu akan berpisah dari rombongan. Aku mengenali sifat ambisius." Seseorang yang tak diduga muncul dari balik batang pohon. Dia Max, rekan Deon. "Aku sengaja diam dari tadi untuk terus memperhatikan gelagatmu."
Bukan. Watson bukan ambisius. Dia hanya malas bekerja sama, beramai-ramai. Dia tidak mau mempercayai orang lain. Watson suka sendirian. Ciri khas anak penyendiri dan pendiam. Bisa terlibat dengan Aiden dan yang lain sudah sebuah keajaiban.
"Kenapa kamu diam? Kamu ingin 'membacaku' juga seperti yang kamu lakukan pada Shani?"
"...."
"Ayolah, aku tahu kamu bisa berbicara. Kamu tidak mendadak kehilangan kemampuan berbicara, kan?" sarkasnya.
Orang seperti Max, abaikan saja. Watson malas berurusan dengan orang sok dekat sok akrab dengannya.
"Ayo baca juga diriku. Aku ingin tahu opini orang lain tentangku. Dan mari kita lihat, apakah tepat atau omong kosong. Tapi melihat kesensitifan Shani, kurasa bakat 'melihat' yang kamu miliki itu bukan main-main, heh?"
Watson menatap dingin. "Jika kamu punya waktu untuk mengoceh tak perlu, kenapa tidak kamu panggil Inspektur Deon dan Detektif Shani? Korban harus segera diturunkan ke bawah."
"Dia akan segera datang. Jangan khawatir." Max tersenyum misterius. "Mungkin sekitar 2 menit lagi?"
Watson berhenti berhadapan dengan Max, lebih memilih memandangi tiga mayat di pohon. Wajahnya datar. "Orang lain akan berpikir kamu mencurigakan dan berniat jahat, padahal kamu polisi. Tapi kamu hanya mengujiku, kan?"
"Apa maksudmu?"
"Setahuku sebuah tim penyelidikan memiliki banyak anggota. Sebagian di jambar, bertugas untuk memeriksa riwayat korban dan mengikuti jejak dari pelaku dari cctv-cctv yang ada. Sisanya ke TKP bersama ketua tim, yaitu Inspektur Deon. Tentu saja kalian mempunyai kerja sama yang kuat agar bisa menangkap pelaku. Aku tak heran kamu bilang begitu karena kalian boleh jadi punya rencana sendiri. Bisa saja Deon atau kamu sudah mengetahui aku akan berpisah dari rombongan. Salah satu dari kalian memberi perintah supaya hanya berjalan sekitar lima belas atau dua puluhan senti dari tempat ini, dan kembali."
Gasp! Max membeku di tempat. Semak belukar di belakang mereka tersibak, menampilkan sosok Deon dan rekannya yang lain. Tetapi bukan Shani.
"Logika yang brilian, Watson. Kamu benar. Anggap saja aku hafal tabiatmu. Instingku langsung merasakan bahwa kamu akan memisah," ucap Deon bersedekap santai.
"Di mana Aiden dan yang lain? Kamu menyuruh Detektif Shani membawa mereka kembali ke bawah? Ke mobil?"
"Sesuai perkataanmu." Deon melewati Watson seraya memasang sarung tangan hitam. "Tidak ada sinyal di sini. Kita butuh seseorang menjauh dari hutan untuk mencari sinyal agar kami bisa melapor pada rekan-rekan kami di bangsal dan memanggil forensik."
Watson tidak tahu, namun, tiba-tiba saja dia marah tanpa sebab. Tentu dia takkan memakai wajah selain datar. Mungkin alisnya sedikit berkerut. "Ironis," gumamnya dongkol. "Pada akhirnya kamu repot-repot ke Madoka hanya untuk bekerja sama denganku. Kamu pikir aku tidak tahu saat insiden taman bermain Mouseele? Kamu tampak kecewa karena aku tidak datang. Apa kamu meremehkan kemampuan mereka? Dan hanya tertarik padaku? Tidak lah ya. Kamu bukan Child Lover."
"Untuk yang satu itu, aku tidak mengerti maksudmu."
"Aiden, Stern, dan Bari, adalah detektif yang hebat. Aku sendiri tak yakin bisa mengatasi kasus-kasus di Moufrobi seorang diri walau sudah berpengalaman. Meski mereka konyol, kekanakan, bodoh dan bertingkah sesuka hati saja, aku bisa melihat keseriusan mereka dalam menjalani kasus."
"Itu gagasan hampa yang pernah kudengar. Kamu tidak bersungguh-sungguh mengatakannya. Bukankah kamu tidak mengakui mereka bertiga sebagai tim atau temanmu? Kamu tidak percaya pada mereka. Kamu tidak mempercayai timmu. Aku bisa membaca ekspresimu, Watson. Kamu mengikuti mereka hanya karena terpaksa."
"...."
Yah, sewaktu kecil, Watson juga dipaksa oleh Mela untuk masuk ke permainan detektif-detektifan. Tapi, waktu lah yang berkuasa. Dugaan tak jelas dipatahkan. Paksaan berubah syukur. Kekesalan berubah nyaman.
Mungkin ini adalah kehidupan Watson yang kedua dalam dunia misteri. Tuhan pasti menginginkannya mencari penjahat kejam dengan tim berbeda namun memiliki tujuan yang sama. Dia memberi Watson kesempatan untuk mencari tahu siapa pembunuh orangtuanya dengan tim yang berbeda.
Tidak, bukan berbeda. Pasti ada alasan mengapa Watson harus bertemu Aiden dan yang lain di Kota Moufrobi ini.
"Aku sudah nyaman dengan mereka." Kalimat itu lepas dari mulut Watson yang masih menerawang. "Mereka adalah tim baruku. Aku percaya pada mereka."
"Jangan munafik."
"Aku tidak munafik. Waktu mempunyai kekuatan ajaib untuk hal seperti ini." Watson menatap Deon datar namun terlihat menantang. "Jadi, kuharap kamu jangan meremehkan mereka. Karena mereka adalah timku. Jika kamu meledek atau tidak percaya pada kemampuan deduksi mereka, maka kamu juga tidak percaya padaku. Habisnya masih ada sedikit dari diriku yang pesimis terhadap setiap analisisku."
Deon berdeham pelan. Kalah debat. "Baiklah, baiklah. Aku kalah. Kalian dengar semuanya, kan? Dia sudah mengakui kalian lho. Jadi, berhenti canggung dan bersikap tak nyaman begitu. Kalian tim sekarang."
"Kalian?" Watson mengernyit.
"DAN!!!!" Suara Aiden menusuk pendengaran. Baru Watson hendak menoleh, Aiden sudah memeluknya. Berbunga-bunga seperti Aiden pertama kali mereka bertemu. "Akhirnya kamu nyaman dengan kami! Akhirnya kamu menganggap kami temanmu! Aku senang sekali! Ya kan, guys?"
Jeremy mengusap mata yang memanas. "Berandal sialan. 'Gitu dong dari kemarin-kemarin. Kan kami jadi bersalah mengasingkanmu padahal kita satu klub."
"Ayo kita bersama-sama menangkap Child Lover dan para penjahat di Moufrobi!" ujar Hellen over semangat. "Kita adalah Detektif Madoka!"
Tidak. Judul tidak boleh diganggu.
Sorot mata Watson berubah tajam. Sialan. Deon mengelabuinya. Dugaan Watson benar-benar meleset kali ini. Dia tidak menyuruh Shani untuk turun ke kaki hutan bersama Aiden dan yang lain. Dia ingin memperbaiki hubungan canggung antar anggota klub detektif Madoka.
Deon menyeringai licik. "Kamu tak perlu berterima kasih. Anggap saja balas budi telah berkata tak sopan pada orang dewasa saat menelepon."
"Kamu sungguh polisi berengsek. Aku jadi makin membencimu," kata Watson datar. Ketenangannya memakan rasa malu dan marah bulat-bulat.
"Baiklah, berhenti main-mainnya. Mari kita lanjut menyelidiki korban."
*
Kata Deon, tim forensik membutuhkan 25 menit datang ke Hutan Maosav. Watson akan menggunakan waktu sempit ini untuk menyelidiki karena dia berfirasat para forensik tidak akan memberi mereka berempat kesempatan untuk memeriksa korban.
"Korban pertama bernama Gadela Ganez, 17 tahun tahun dari Tasva Senior High School. Kedua Tix Gudrun. 15 tahun, berasal dari sekolah perempuan Mendkon. Terakhir, Danbi Damaris, dari Veritiluz. Berusia 15 tahun. Gadela yang tertua dari tiga korban."
Aneh. Kenapa pelaku meninggalkan kartu pelajar korban? Apa dia benar-benar mencari masalah dengan kepolisian? Kekanakan sekali. Sudah begitu nama mereka susah-susah!
"Waktu kalian tinggal 10 menit lagi," seru Deon sibuk memantau kaki hutan, jaga-jaga mobil forensik sudah datang. "Ini kasus yang besar. Akan jadi masalah jika Pak Kepala mengetahui campur tangan kalian."
Rencananya begini, 25 menit sebelum kedatangan forensik, Deon memberi waktu untuk Watson dkk agar menyelidiki asal-usul tiga korban. Setelah selesai, Shani akan mengantar mereka kembali ke Moufrobi, membiarkan mereka menganalisis lebih detail tanpa ketahuan.
Yah, rencana itu sangat aman mengingat musuh mereka seorang pembunuh berantai. Wajah mereka berempat tidak boleh terekspos sampai pelaku ditemukan.
"Bagaimana?" Hellen bertanya.
Aiden mengangguk mantap. "Semua barang di dalam tas korban sudah kupotret. Kita bisa pergi sekarang."
Jeremy mengangkat bokong. "Kami sudah selesai, Inspektur. "
Deon menoleh ke Watson. "Kira-kira berapa hari penyelidikan kalian?"
"Tergantung tugas sekolah. Kamu jangan lupa, di luar pekerjaan ini kami remaja kelas satu yang masih dimarahi guru jika tidak mengerjakan PR. Paling tidak beri kami 4 hari. Sementara itu, Inspektur harus mengawasi wilayah Maosav. Aku curiga dalang gila itu akan membunuh lagi."
"Baiklah, 4 hari. Kami juga akan melakukan tinjauan resmi." Lampu mobil forensik sudah tampak. Juga mobil ambulans serta bantuan dari pusat penahanan. "Shani, antar mereka di jalan yang jarang dilewati oleh petugas daerah. Pastikan tidak ada yang tahu ada orang lain di TKP selain kita. Ini demi kebaikan semua."
"Baik, Inspektur. Saya mengerti."
Aiden, Hellen, dan Jeremy buru-buru mengikuti langkah Shani. Mereka pergi dari TKP dengan kilat. Giliran Watson.
"Ah, benar juga." Dia berhenti melangkah. "Kusarankan kamu harus perhatikan mobilmu."
"Apa maksudmu?"
"Siapa tahu, ada seseorang licik yang hendak menutup atau mengambil alih kasus ini dengan melacakmu. Kamu tidak ingin kematian mereka bertiga ditutup begitu saja kan. Tidak adil. Aku pun tidak ingin repot. Sampai jumpa empat hari lagi." Watson melambaikan tangan.
Member klub detektif Madoka menghilang di antara lebatnya pepohonan hutan.
Deon berkacak pinggang, berdecak pelan. "Apa anak itu selalu terbiasa memikirkan dua-tiga langkah ke depan?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top