File 0.6.4 - That Gloomy Detective Was Punished
"Ayo naik," perintah Deon begitu mobilnya berhenti di depan gerbang rumah Aiden.
Watson dan Jeremy bersitatap, menyunggingkan senyuman jahil. Tak disangka Deon patuh pada permintaan mereka yang terkesan tak sopan itu. Baguslah. Mereka tak perlu merepotkan Gion. Sekalian hemat bensin.
"Tidak, kamu di depan saja." Watson menggeleng saat Jeremy menyuruhnya duduk di sebelah Deon sama seperti terakhir kali kami naik ke mobil ini.
"Tidak, tidak. Kamu lebih pantas di situ." Jeremy tersenyum yang tampak menyebalkan. "Hitung-hitung biar akrab sama om polisi baik. Supaya kasus ini lancar."
Watson berdecak. Baiklah. Cuman urusan bangku, dia tidak boleh bertingkah anak-anak. Dia harus bersikap profesional.
Watson terakhir naik ke mobil. Dia melihat Deon mengeluarkan lampu sirine dan meletakkannya ke atap mobil, segera meluncur ke jalan raya.
Suasana di atas mobil agak canggung.
Kenapa? Pertanyaan bagus!
Polisi wanita yang duduk di kursi belakang kursi sopir memajukan badan, berbisik, "Deon, apa kamu tidak salah?"
"Apanya?"
"Ya itu maksudku! Apa kamu sudah mengenal anak-anak ini? Well, aku kenal sih. Secara mereka adalah kelompok detektif remaja yang sedang panas-panasnya di Moufrobi. Tapi, mengajak mereka ke lapangan itu tidak bijak untuk orang dewasa seperti kita! Perjalanan ini akan membahayakan mereka."
Oh, meremehkan rupanya.
"Shani Rosemarie, heh?" Watson menceletuk. Wanita itu tampak kaget, menoleh padanya.
"Kenapa kamu bisa tahu namaku?"
"Aku sebenarnya suka 'membaca' sama seperti yang Holmes lakukan tiap bertemu seseorang, namun tidak sering," kata Watson menyeringai datar. "Celak tebal untuk menyembunyikan keadaan matamu, mengatakan bahwa kamu baik-baik saja. Rumahmu pasti sudah sangat busuk mengingat kamu menjalani hari dengan penderitaan dicampakkan oleh kekasihmu. Makanya kamu memakai parfum ganda."
"Emm, Dan—"
"Dari mana aku tahu? Itu karena parfum di seragammu berbeda dengan bau parfum celanamu. Kamu sembarang menyemprot minyak wangi dan tergesa-gesa pergi bekerja. Kenapa kekasihmu memutus hubungan?Dia mengajakmu menikah, lalu berubah pikiran, bukan? Jari manismu belang setengah. Itu membuktikan bahwa kamu masih mencintainya dan memutuskan move on beberapa hari lalu dengan melepas cincinnya, fokus pada pekerjaanmu sebagai polisi."
"Dan—"
"Lalu mengapa aku bisa tahu namamu? Kamu lulusan Akademi Shoaliyo. Itu adalah kampus tiga terbesar di Moufrobi. Ajakan pernikahan berlangsung pada hari kelulusan dan pembatalan pernikahan pada hari reuni. Para alumni lulusan akademi itu tentu geger dan menyebar luaskan masalah privasi kalian. Kenapa aku tahu kamu lulusan sana? Dari sepatumu yang sudah berumur 5 tahun. Karena sepatu itu bukan keluaran 2021, jadi kusimpulkan itu buatan tahun 2015, yang sering dipakai mahasiswa."
"D-Dan...! Tolong direm...!"
"Terakhir, kenapa kekasihmu memilih mengakhiri hubungan kalian? Itu karena dia tidak menyukai pilihanmu mengambil jurusan kepolisian. Melihat bekas-bekas luka bakar di kedua tanganmu, kamu pasti sering mencoba memasak. Tapi pada akhirnya kamu masuk polisi dan hubungan kalian tamat. The end. Polisi akan sering bermain di luar membuat kulit mereka terbakar. Singkatnya, dia mencampakkanmu karena tidak suka gadis berkulit hitam," jelas Watson panjang lebar.
Mobil berhenti melaju. Suasana hening.
"Bagaimana? Aku benar—" Watson terkesiap. Shani menundukkan kepala. Air mukanya kosong.
Ah. Sifat nakal itu keluar lagi. Itulah alasan Dr. John tidak suka pada sifat Holmes yang satu itu. Semuanya 'dibaca'. Termasuk kehidupan pribadi seseorang membuat orang sakit hati dan tidak nyaman. Watson sudah membuat kesalahan.
Klek! Shani keluar dari mobil, pergi menjauh. Teman Deon yang lain segera mengejar, menyusul Deon, Jeremy, dan Hellen. Meninggalkan Watson yang merasa bersalah bersama Aiden di atas mobil.
Haruskah aku ikut kejar? Ya haruslah, bodoh! Ini salahmu tak mengerem mulutmu!
"Hufft," Aiden menghela napas. "Dan, aku tahu bakat detektifmu sangat hebat. Tapi tolong perhatikan suasananya. Kamu tak boleh membaca privasi orang lain. Apalagi topik sensitif. Minta maaf sana."
Watson mengangguk, turun dari mobil. Ini mengingatkannya masa lalu. Saat dimana dia melakukan kesalahan yang sama.
Satu di antara poin yang membuat Watson berhenti dari dunia detektif. Sifat sialan itu kadang keluar tanpa sadar. Dan saat Watson sudah selesai bicara, lawan bicaranya akan menatap benci, menampar, paling parah tersenyum seakan dia tidak bersalah.
Memang, detektif egois seperti Watson tidak akan bisa merasakan kebersamaan. Dia hanya memiliki kesendirian. Watson bukan detektif yang baik. Dia menganalisis hanya untuk kesenangan sendiri.
Watson ngos-ngosan, akhirnya sampai di depan Detektif Shani. Deon dan yang lain segera menyingkir seolah memberinya ruang untuk minta maaf. Peka, baguslah.
Ah... Betapa kejamnya kamu, Watson. Padahal kamu masih remaja, sementara dia orang dewasa. Jarak umurmu jauh. Kenapa kamu sangat kasar padanya? Apa orangtuamu tidak pernah mengajarkan etika?
"Aku minta maaf." Pada akhirnya hanya tiga kata itu yang lolos dari mulut Watson.
Apa-apaan permintaan maaf tak tulus itu? Apa Watson lupa cara meminta maaf yang baik? Dia sudah bukan anak kecil. Kenapa tidak ada emosi pada tiga kata tersebut? Apa Watson benar-benar sudah tidak memiliki sedikitpun emosi?
"Tidak apa."
Watson tersentak, menatap Shani intens. Eh? Dia bilang apa barusan?
Shani berkacak pinggang. "Aku tahu kamu tidak bermaksud menjelek-jelekiku. Aku ini juga suka Sherlock Holmes lho. Aku tahu Sherlock kadang suka ember, keceplosan bikin sakit hati. Tapi dia melakukan itu karena sudah terlanjur biasa. Begitu juga denganmu, kan? Kamu jangan terlalu memikirkannya!"
Watson bengong. Bingung menjawab.
Shani yang paham maksud ekspresi Watson, tersenyum misterius. "Yah, jika kamu masih ngotot, terpaksa aku memberi hukuman."
"Aku akan melakukannya."
"Kalau begitu, minta maaflah dengan imut." Shani tersenyum tanpa dosa.
. . . . Hah?
"Pfft!" Jeremy dan Hellen cekikikan.
"Maksudmu imut...?" Watson menelan ludah, menatap sinis dua oknum di belakang. Jangan ketawa kalian! Begitu arti mimik mukanya.
"Benar! Bertingkah cute yang sedang tren itu lho. Perlu kubelikan bando kucing?"
Mati aku. Ini melukai harga diri secara publik. Mana ada Deon lagi. Aku memang bilang akan melakukan hukuman yang dia berikan, tak kusangka hukumannya begini. Harusnya mulut ini kufilter dulu sebelum ngomong. Watson berdumal di dalam hati, kesal.
Tetapi, dia harus melakukannya. Jika bisa memaafkan perbuatannya, Watson akan melakukannya! Ini bukan apa-apa daripada hati kecil Shani yang terluka.
"Ayo, Dan, lakukan apa yang disuruh Detektif Shani." Aiden menceletuk sembari menyalakan kamera. Itu kamera dapat dari mana, woi!
"Bagikan ke grup ya, Aiden." Jeremy dan Aiden saling mengacungkan jempol.
Sialan. Tampaknya Hellen, Jeremy sama Aiden menikmati momen permintaan maaf ini. Lagi pula sekarang sudah jam berapa? Jika mereka terlalu lama di sana, keselamatan korban terancam. Baiklah, tidak ada pilihan. Ini kulakukan untuk menebus kesalahanku.
Tapi... Bagaimana cara Watson melakukannya? Minta maaf dengan imut? Tak pernah terbayangkan olehnya gaya imut kayak gimana.
"Maafkan aku," ulang Watson lebih lunak namun filter cling-cling menambah latar dan momen. Kenapa dia justru terlihat percaya diri sambil mengangkat bahu?
Hening.
"Harusnya aku tidak memintamu melakukan itu. Minta maaf yang tak berkesan sama sekali." Shani geleng-geleng kepala.
*
"Kamu baik-baik saja?"
"Kenapa?" Watson membalas tak acuh, sibuk memperhatikan jejalanan yang lengang. Mereka hampir tiba di wilayah Hutan Maosav.
"Entahlah. Semua orang pasti langsung tahu kau badmood." Deon membelokkan setir mobil ke kanan. "Mungkin karena mimik mukamu terlalu menunjukkan suasana hatimu?"
"Maksudmu muka datar ini? Gurauanmu tidak lucu, Inspektur."
"Kamu harus semangat untuk kasus ini."
"Kenapa aku harus?"
"Karena mungkin ini kasus pertamamu dengan para polisi setelah sekian lama?" Deon tersenyum licik. Si tengil ini sengaja benar memancing pembicaraan.
"Mati sana ke liang lahat."
"Ah, kita sampai."
Mobil yang mereka naiki berhenti, parkir di celah-celah batang pohon cemara yang tersusun rapat. Mereka pun turun seraya mengambil senter di bagasi. Sekitar mulai gelap. Mereka tiba pukul setengah enam.
Dingin. Berkabut. Hutan ini cocok untuk mereka yang suka berkeliaran di alam bebas, pergi berkemah. Watson tidak bawa jaket.
Sebuah mantel besar langsung menyelimuti kepala Watson. Punya siapa...?
"Pakailah."
Watson menatap Deon skeptis. Dia sedang mencari perhatian atau apa?
"Aku tidak sekejam itu membiarkan bocah remaja kedinginan," katanya memimpin jalan. Gayanya yang sok keren itu membuat kesan Watson padanya makin jelek. Kamu tidak keren sama sekali! Camkan itu!
Aiden beringsut ke samping Watson. "Kan tadi sudah kubilang, bawa jaketku saja. Kamu tidak mau. Samaku jangan sungkan-sungkan."
"Sudahlah, itu tidak penting."
"Semua yang berhubungan denganmu penting tahu." Aiden merungut.
Watson mengernyit, memalingkan kepala. "Hah? Apa yang kamu katakan, Aiden—" Eh, lho? Kenapa dia blushing?
"Hei, kalian berdua, cepatlah! Nanti ketinggalan! Semakin tenggelam matahari, kabutnya semakin tebal lho!" Jeremy berseru di depan sana.
"Aku tahu. Ayo, Aiden."
"D-Dan jalan duluan saja!"
"Tidak bisa. Nanti kamu tertinggal. Makin gawat kalau kamu tersesat di hutan luas ini. Aku akan menjagamu di belakang."
"Menjaga?" Aiden gregetan. "Aaaaa!!! Dan tidak peka!!"
"Tunggu! Jangan jauh-jauh dariku..."
Watson menoleh. Barusan telinganya menangkap suara kretekan ranting. Apa ada orang selain mereka? Atau jangan-jangan pelaku sudah mengetahui kedatangan mereka?
Untunglah Aiden berlari ke arah Deon yang lain. Biarkan mereka pergi jauh dulu baru Watson menyusul. Dia mesti memeriksa asal suara ini. Penasaran, begitulah.
Dari awal Watson sudah merasa ada yang aneh dengan si penelepon darurat. Di luar cara dia mendapatkan nomor Aiden, Watson lebih penasaran mengapa dia melakukan itu. Apa benar dia dalam bahaya? Lantas kenapa tidak memanggil pusat bantuan? Mengapa dia melakukan kombinasi nomor? Kenapa bisa ratusan nomor dan nomor Aiden yang terpanggil? Pasti ada sesuatu.
Lagi-lagi kamu bermain sendiri, Watson.
"Enyahlah dari pikiranku, Mela. Aku tak punya waktu mendengar nasehatmu. Kamu ingin aku ke psikiater untuk menghapus bayang-bayangmu?" Watson bermonolog.
Kembalilah ke Aiden dan yang lain. Mereka akan khawatir kalau kamu bertindak gegabah.
"Justru karena itu aku harus melakukannya."
Kamu bisa dalam bahaya, Watson.
"Diam. Kamu berisik." Watson menyingkap semak belukar setinggi badan, menilik sekeliling. Ada gunanya juga benda tukik yang dia pinjam dari Aiden.
Ng? Watson membungkuk, merasakan sesuatu terpijak. "Kacamata? Di tempat seperti ini? Apa punya korban?" Rahangnya mengeras. Sudah Watson duga, mereka terlambat. Pelaku sudah menemukan posisi korban dan menyeretnya—
Tes! Setetes air jatuh.
"Hujan?" Watson mengelap bulir air kental yang jatuh ke pipi, mengendus, mengerutkan kening. "Bukan. Ini darah."
Perlahan, Watson pun mendongak. Seketika mematung diam.
Terdapat tiga mayat siswi tergantung di pohon beringin besar di tengah hutan aneh. Ludah mereka keluar. Air mata merembes. Rok mereka basah oleh pipis karena rasa takut akan kematian.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top