File 0.6.3 - Emergency Caller
"Jangan coba-coba menghubungi kembali, Aiden!" Watson menegur saat Aiden hendak melakukan panggilan ulang. "Bisa jadi dia sedang bersembunyi. Apa yang terjadi jika saat kita meneleponnya, ponselnya berdering, dan terdengar oleh pelaku? Kita akan membahayakan nyawa korban."
Aiden menelan ludah, gemetar. Dia pasti syok oleh penelepon barusan.
Sial. Watson tidak mengerti. Dari mana dia mendapat nomor Aiden? Kalau dia ingin memanggil polisi, harusnya 911, kan? Kenapa dia malah menelepon Aiden? Apa dia kenalan Aiden? Atau dia mengambil sembarang nomor? Tapi, butuh kombinasi nomor untuk mengambil nomor ponsel seseorang dan prosesnya sangat lama. Atau mungkinkah dia salah mengira kami adalah pusat darurat, 911? Atau yang tadi itu hanya telepon iseng?
Watson rasa tidak. Didengar dari intonasi suara penelepon terdengar alami dan serak. Penelepon jelas dalam kondisi yang membutuhkan bantuan. Maka, entah siapa dia berhasil mengontak Aiden, dia dalam kondisi genting. Watson harus segera membantu.
"Apa yang harus kita lakukan, Watson?" tanya Hellen gugup.
Baiklah, apa yang harus mereka lakukan? Menelepon polisi dan menyerahkan masalah ini pada mereka? Tapi Watson curiga, polisi-polisi itu justru mempersulit keadaan dan parahnya berpangku tangan. Apalagi si Komisaris bernama Raum itu. Menurut Watson, hanya si Deon yang berguna.
Watson menatap jam, pukul empat sore lewat dua menit. Sudah delapan menit berlalu semenjak korban menelepon. Ck. Dia tak punya waktu berpikir lama.
"Dengarkan," Watson membuka diskusi. "Kita tidak bisa mengurusnya sendirian. Didengar dari telepon yang putus-putus, penelepon pasti berada di luar Moufrobi. Jika tidak salah menebak, di pendalaman yang jauh dari jaringan sinyal. Kita butuh orang dewasa pada kasus ini. Pelaku boleh jadi berbahaya untuk remaja seperti kita."
"Kita akan meminta bantuan Inspektur Deon?" simpul Jeremy.
"Bukan hanya dia." Watson tahu karena juga pernah mengalaminya. "Si Deon itu dari divisi penyelidikan regional satu, bukan? Dia pasti punya tim. Tak mungkin seorang detektif terikat sepertinya tidak mempunyai kelompok."
Jeremy tersentak, paham apa yang diincar Watson. "Wah, Watson. Otakmu sungguh licik sekali," katanya tersenyum jengkel.
"Ini demi keselamatan korban, Bari. Aku hanya bersikap kritis." Sherlock pemurung itu mengedikkan bahu, sok polos.
Jeremy menyeringai, berjabatan tangan dengan Watson, tos. "Ini yang kuinginkan sejak dulu! Keselamatan korban lebih utama tak peduli harus mengorbankan apa dan memanfaatkan siapa. Termasuk seseorang dengan derajat tinggi."
Hellen berbisik pada Aiden yang tak mengerti pembicaraan para cowok. "Eh, mereka membicarakan apa sih?"
Aiden balik berbisik, "Dan sama Jeremy mau memanfaatkan Inspektur Deon bersama teman-temannya."
"Dasar anak laki-laki."
"Ayolah kalian berdua, berhenti main-main. Kita harus bergerak."
*
Kantor Tim Penyelidikan Regional Satu.
Deon berdecak, melempar berkas-berkas tak berguna ke meja. Tidak ada satu pun yang bisa dijadikan petunjuk untuk menangkap CL. Dia benar-benar penghapus jejak yang andal. Bagaimana bisa dia mengamankan keberadaannya sepandai ini?
CL selalu beraksi tak menentu, bisa malam bisa siang. Bisa juga pagi dan tengah malam. Dan kenapa setiap dia beraksi, selalu tidak ada CCTV? Apa dia semacam hacker dan merusak semua CCTV di wilayah setempat?
"Sudahlah, Ernest," celetuk Max. "Kamu sudah tiga hari memeriksa semua dokumen-dokumen itu. Tidak makan dan tidak minum. Hanya mengonsumsi kafein. Aku tahu kamu sangat risau, namun kamu harus memperhatikan kesehatanmu juga."
"Bagaimana jika kamu ambruk saat kita menerima kasus baru?" imbuh Shani menambahi. Secara Deon adalah ketua tim.
Deon mengibaskan tangan, menghiraukan perhatian-perhatian kecil rekan-rekannya, fokus memeriksa biografi. "Kalian lanjuti saja tugas kalian. Aku bisa mengurus diri," ucapnya meneguk isi cangkir. Lagi-lagi kopi.
Shani bersungut-sungut, duduk di kursi. "Si Deon itu tidak sayang badan."
"Biarkan saja," cetus detektif lain, sibuk mengetik di komputer. Tatapan wajahnya menunjukkan kepribadian yang kuat. "Ya rugi kan dia, bukan kita."
"Seela, kamu tidak boleh ketus begitu dong. Sesekali lunak kek sama Ernest," omel Shani berkacak pinggang.
"Buat apa lunak kalau orangnya tidak mau dengar?" [Seela Samanthoa, 28 tahun, Detektif Divisi Investigasi.]
Dring! Berhenti sejenak dari catatan di tangan, kepala Deon menoleh ke benda petak eletronik di atas meja. Berdering. Tanda ada telepon masuk. Begitu dia melihat nomor si pemanggil, seulas senyuman 'penuh harapan' langsung terukir di wajahnya nan sayu.
Deon menerima panggilan tersebut. "Halo?"
Terdengar suara gaduh di seberang sana. "Pak, eh salah, Inspektur! Ada penelepon dalam bahaya! Cepatlah datang kemari! Jauh di hutan! Tapi kami tahu tempatnya! Gunakan fasilitas kalian!"
Dahi Deon mengernyit. "Ada apa di sana? Tolong jelaskan padaku dengan tenang. Aku tidak bisa mendengar kalian."
Shani dan Max bersitatap. Seela berhenti mengetik di keyboard, menyimak.
"Berikan ponsel itu padaku. Sudah kubilang aku saja. Kamu belum bisa mengatasi kepanikanmu, Stern." Suara asing yang familiar bagi Deon membuatnya tersenyum simpul sekali lagi. "Halo, Inspektur."
"Selamat siang, Watson Dan. Sepertinya kamu sangat membutuhkan bantuan sampai meneleponku."
"Ya," jawab Watson sekenanya.
"Katakan padaku, apa yang terjadi?"
"Kami sedang bermain lalu sekitar jam 16.12 tiba-tiba ada telepon asing yang meminta tolong. Dia sepertinya melakukan kombinasi nomor dan mendapat nomor Aiden. Dia salah memanggil nomor darurat, bukan 911 melainkan nomor Aiden. Cukup aneh bisa berpotensi jebakan, tapi aku berpikir rasional merujuk suara penelepon begitu nyata. Menurut perhitungan, korban berada jauh di luar Moufrobi. Kami sudah melakukan tinjauan dasar barusan; hutan yang paling dekat dengan Moufrobi hanyalah Hutan Maosav. Karena boleh jadi berbahaya, aku kira aku butuh bantuanmu. Begitulah. Jadi bagaimana? Mau nolong tidak?"
Deon tersenyum jengkel. Seorang remaja baru saja berbicara formal dengannya tanpa sopan santun sedikit pun. Tapi bagaimanapun, dia menghadapi bocah menyebalkan yang berguna. Amat berguna malahan.
Tidak ada pilihan lain. Deon mengatakan apa yang dikatakan pelapor pada rekan-rekannya.
"Oh, jangan lupa bawa temanmu, Inspektur. Suaramu terdengar parau. Kamu kelelahan lembur, bukan? Aku khawatir Inspektur malah jadi beban nanti. Kurasa mobilmu cukup empat orang."
Telepon dimatikan sepihak.
Deon tergelak. Anak ini berani sekali meremehkanku. Lihat begitu kita bertemu nanti, geramnya dalam hati menelan bulat-bulat rasa kesal.
"Kita dapat tugas," kata Deon pada seluruh penghuni divisi penyelidikan regional satu. "Empat di bangsal, mencari dan melaporkan. Empat bersamaku di lapangan. Bergerak sekarang!"
"SIAP!" seru mereka serempak.
*
"Oke, dia setuju." Watson berkata datar, menyeringai licik. Memanfaatkan profesi Deon, ukh senangnya selangit. Rasakan itu karena sudah macam-macam dengan Watson!
Set! Watson terlonjak melihat Aiden membawa kotak besar penuh senjata, menjatuhkannya ke lantai. "Apa yang kamu bawa, Aiden? Benda-benda apa ini?" decaknya mengambil satu senjata. "Sebuah garpu?"
"Ini kumpulan senjata, Dan. Ada yang kubeli, ada yang kupinjam, ada juga yang kucuri." Aiden berkata, sibuk mengusai isi kotak. "Kita butuh senjata untuk perlindungan diri. Dan, ayo, cari senjata yang kamu suka."
Lupakan soal senjata, barusan Aiden bilang dia mencuri? Anak orang sekaya dia? Apa yang dia curi dan dari siapa? Polisi?
Hellen membawa senjata pistol cabai. Dia juga memakai baju pelindung di balik seragamnya. Tak lupa Aiden menyandeng pistol besar. Watson segera menimpuk kepalanya. "Buat apa kamu bawa pistol, hah? Kamu pergi berburu?"
Aiden menyengir. "Isi pelurunya kelereng kok, Dan. Jangan marah dong. Mana bisa aku main pistol, eh, mana mau aku bawa pistol. Itu kan di luar kemampuanku."
"Anak terlatih sepertimu tidak pandai menembak, jelas banget bohongnya."
"Dan pilih satu dong! Nanti siapa yang akan melindungimu?"
Watson mengambil benda pipih seperti tukik korek. Ditekannya tombolnya, ada cahaya keluar dari ujung tukik. "Aku pilih ini. Kita juga butuh senter."
"Hah?! Apa sih yang kamu pilih! Sini kubantu pilihkan-woah!" Kaki Aiden tersangkut ujung kotak. Tubuhnya oleng hendak menimpa Watson. Hei! Jangan timpa aku! Aku belum tahu berat badanmu!
Untunglah Jeremy cekatan menolong Aiden. Dia mendengus. "Berhentilah bermain-main, Aiden. Kita berangkat sekarang."
Aiden bersungut-sungut. "Iya, iya. Thanks."
Watson menatap ukiran di dekat batang tukik. Ada tulisan 'Eldwers' di sana. Apakah tidak apa dia memakai benda ini? Sepertinya benda ini penting sekali.
"Dan!" Aiden berseru. "Tunggu apalagi? Ayo kemari! Kita berangkat."
Watson mengangguk, memasukkan benda itu ke saku. Lupakan masalah lain, lupakan tentang rencana lain. Ada satu hal yang harus mereka selesaikan. Watson harap kasus satu ini tak memakan banyak waktu dan tenaga.
Hutan Maosav. Kami datang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top