File 0.6.2 - Aiden's House
Watson berdecak kagum melihat bangunan satu lantai namun megah, besar, rumah ala istana di komik-komik manhwa. Bahkan gerbang, err, pintu pagar ke dalam sangat besar dan tinggi. Belum lagi jika berjalan kaki akan membutuhkan waktu seperempat jam sampai ke teras rumah.
Rumah Aiden benar-benar luas, Watson tidak bercanda. Kepalanya saja sekarang berpikir, ini rumah atau istana? Apakah tak apa rakyat biasa sepertinya masuk ke wilayah ini? Watson seketika minder. Dia tak seharusnya di sini. Ini perbedaan strata.
"Emm, Aiden, sepertinya aku tidak bisa." Watson berkata pesimis, menatap rumah besar di depan, berdecak kagum sekali lagi. "Kurasa aku pulang saja. Ini bukan tempatku."
"Eits! Mau ke mana kamu, Watson?" Hellen memegang lengan pemilik nama, menyeringai. "Kita baru sampai di gerbang lho. Tak sopan pergi begitu saja tanpa menyapa tuan rumah."
"Aku mau pulang," sanggah Watson berusaha melepaskan pegangan Hellen. Mereka berdua dekat dengan Aiden, makanya sudah terbiasa. Lah Watson? Bahkan belum cukup beberapa bulan. Terlalu cepat untuk mengenal Aiden.
Terlambat. Mobil yang mereka naiki lebih dulu masuk ke perkarangan rumah. Watson merutuk diri dalam hati. Harusnya dia menolak tawaran Aiden! Mana dia sangka akhirnya begini. Rasa minder luar biasa menyelimuti sherlock pemurung itu.
Setengah jam berlalu, mereka akhirnya sampai di rumah utama. Aiden sang putri empunya kediaman melambaikan tangan pada Gion, menutup pintu mobil. Menyusul Hellen dan Jeremy. Watson kikuk mengikuti.
Buset dah. Watson berusaha menutup mulut agar tak cengo demi melihat bangunan megah di depan, berusaha datar. Hanya satu lantai tapi amat besar dan mewah. Ah, sudah berapa kali dia mengatakan itu seharian ini?
Bangunan ini memanjang ke belakang. Ada juga bangunan untuk para pelayan, berdiri sendiri. Sampai membuat rumah untuk para pembantu, Aiden sekaya apa sih? Ukh, Watson tak pantas ke sini.
Belasan maid segera berbaris di teras rumah, bersikap hormat. Watson menelan ludah. Rasanya kayak di karpet merah. Lalu, di depan pintu rumah, berdiri Kepala Pelayan.
"Ah, hari ini Nona Muda Aiden membawa teman-teman, ya?" ucapnya ramah, menatap Hellen dan Jeremy. Mereka berdua melambaikan tangan. "Sudah lama tak berjumpa."
Aiden mengangguk semangat. "Sediakan tempat yang biasa ya, Pak Dolok. Jangan lupa taruh cemilan dan game~"
Dolok membungkuk sopan, tersenyum teduh. "Segala yang Nona minta," gumamnya membuka pintu. Pelayan-pelayan lain mulai bergegas melakukan apa yang disuruh Aiden.
Geh, dia Tuan Putri benaran? Watson menelan ludah, habis, dia ulangi.
Tatapan Dolok jatuh pada Watson. Mati! Jangan-jangan dia bisa baca pikiran lagi? Terus dia tahu Watson mengumpati Nona Muda-nya?! Akh, Watson...!
Sebaliknya, Dolok justru menatap penasaran. "Apa dia teman barumu, Nona? Aku belum pernah melihatnya."
Aiden mengangguk yakin. "Il est spécial (dia orang yang spesial)."
Hah?! Apa itu barusan?
Rambut Watson rontok tegang. Hellen dan Jeremy saling tatap. Aiden bicara pakai bahasa apa? Itu bahasa Perancis, bukan? Kenapa dia mendadak mengganti bahasa? Apa dia mengatai aib Watson? Misalnya dia yang menolak titah "Tuan Putri Aiden". Makanya Aiden sampai sepede itu?!
Watson mulai curiga apa yang Aiden katakan. Pasalnya, Dolok langsung tersenyum penuh arti sambil memandanginya. Duh, harusnya Watson belajar bahasa Perancis! Ini tidak, dia malah mempelajari bahasa lain (Jerman).
Dolok terkekeh. "Begitu rupanya. Silakan masuk, Nak Hellen, Nak Jeremy dan Nak Watson. Silakan menikmati waktu kalian."
Tiba giliran Watson masuk, Dolok menepuk bahunya, tersenyum teduh. " Vous avez de la chance (kamu beruntung)."
Watson mesti privat bahasa Perancis. Perlu dan harus.
*
Jika di luar rumah sudah sangat indah, maka di dalam rumah berkali-kali lebih indah. Sudahlah. Kepala Watson jadi sakit mendeskripsikan rumah Aiden saking miripnya dengan istana seorang putri. Jadi, mari kita skip saja ini.
Ruangan yang diminta oleh Aiden ternyata terletak paling belakang, ruangan bersantai khusus wilayah Aiden. Di sana juga lengkap dengan peralatan detektif. Sepertinya satu rumah sudah tahu hobi Aiden.
"Dan, kamu mengantuk?" celetuk Aiden mendapati Watson tengah terkantuk-kantuk. Hellen dan Jeremy sudah tancap gas main playstation. Sibuk mencet-mencet tombol.
"Ah, maaf." Watson mengucek kedua mata. "Aku perlu toilet."
"Itu, di sana."
Watson berjalan oleng menuju kamar mandi. Akhir-akhir ini dia sering mengantuk. Apa kadar obatnya menurun? Atau narkolepsi-nya kian parah? Watson harus pergi ke teman dokter pribadinya, Reed.
Mengeluarkan pil obat dari kantong, Watson berdecak. Apa dia juga harus meminta obat lain yang dosisnya lebih kuat, ya? Tapi nanti Beaufrot marah kalau dia ketergantungan obat penenang. Itu tidak baik.
Drrt! Drrt! Itu dari Aleena! Salah satu teman detektif Watson saat kecil dulu. Tumben dia menelepon? Jangan-jangan Lupin mencari masalah lagi. "Kenapa?" Bukan 'halo' namun malah 'kenapa'. Memang ciri khas Watson sekali. Mengherankan.
"Why is your voice so hoarse like that, Watson? Don't tell me you just woke up. Geez, your rut never change."
Watson mendengus, menyalakan mode speaker, meletakkannya di wastafel lantas memutar kran, membasuh wajah. "Sok tahu."
Perkenalkan, dia adalah Aleena Lan. Watson sempat menyinggung soal Aleena saat bersama Lupin namun dia tidak mengatakan secara detail.
Seperti yang kita ketahui, Watson mempunyai empat anggota detektif sewaktu tinggal di New York. Mereka berlima sama-sama mencintai dunia misteri dan detektif. Di antaranya; Watson Dan, Melany Cetta, Lupin Matrixcube, Aleena Lan dan Jamos Horrori.
Berbeda dengan klub detektif Madoka, mereka dulu lebih ke barbar dan hampir semua kasus berhubungan praktek halaman. Sering bermain di TKP karena angka kematian di New York sedang melambung tinggi. Untung sekarang sudah kembali stabil.
Watson masih kontakan dengan Lupin dan Aleena, namun tidak untuk Jam. Dia tidak mendengar kabarnya lagi setelah kematian Mela—dia tewas karena suatu kasus. Watson malas menceritakan hal itu, jadi kita skip.
Watson mengusap wajah, bertanya datar, "Bagaimana perkembangan hubunganmu dengan si Matrix?" Dia tahu dua temannya itu saling suka tapi canggung satu sama lain. Masa sih butuh mak comblang untuk menyatukan mereka?
"He's so hopeless. Tidak ada yang bisa kuharapkan darinya," jawab Aleena.
"Begitu-begitu Matrix sejati lho."
"Tapi dia sangat tidak peka, Watson. Aku jengkel dia masih bisa tersenyum saat aku sudah memberi kode agar tidak berdekatan dengan perempuan lain. Lalu kamu, bisakah kamu berhenti berbicara tanpa emosi begitu? Aku merinding nih."
"Dia hanya tidak tahu kamu cemburu, Aleena. Lalu bukankah aku berbicara seperti biasa?" Lantas Watson harus sorak-sorak tak jelas supaya terdengar 'tak datar'? Percuma. Watson sudah terbiasa.
"Cemburu? Aku? Kamu pasti bercanda." Aleena terkekeh tak percaya. "That's impossible!"
"Oh, yeah. Aku masih menyimpan rekaman pernyataan cintamu lho," kata Watson santai mengelap tangan. "How would Matrix react if he heard it, huh? It's so embracing, isn't?"
"TIDAK, WATSON! JANGAN!"
Watson tertawa datar. "Kidding." Sudah lama tak bercanda seperti ini. Menjahili seseorang yang sedang kasmaran memang seru.
"By the way, ....?"
Tawa Watson menghilang. Ah, Aleena melemparkan pertanyaan yang sensitif. Dari sekian pertanyaan 'kabar', kenapa dia harus menanyakan ini? Dasar.
"Why you ask?" balasnya datar tanpa ekspresi. Mood Watson runtuh.
"...." Aleena berkata.
"Aku bilang tidak ya tidak." Watson sedikit membentak. "Sungguh Aleena, kamu menanyakannya itu? Mela tewas karenaku. Berani sekali kamu menanyakan soal hatiku. Tapi baiklah, akan kujawab. Aku sudah melupakannya, oke? Aku sudah baik-baik saja sekarang. Cukup hatiku sedih kehilangan orangtuaku, tidak perlu ditambahi gadis itu."
"Jangan menganggap remeh kematian Mela. Aku tahu kamu dan Jam paling terpuruk tentang kabar duka itu. Jam menghilang, putus kontak dengan kita setelah insiden tersebut. Dia bahkan tidak datang ke pemakaman Mela dan orangtuamu. Aku tahu kamu sangat sedih mengira Mela tewas karenamu. Dan aku hanya ingin bilang, itu bukanlah kesalahanmu."
Watson berdecak jengkel. "Aku akan menutup telepon. Terima kasih sudah menelepon, Aleena. Sampai jumpa," ucapnya final hendak mematikan sambungan.
"Kamu harus pastikan kalau kamu benar-benar merelakan kematian Mela, At. Ini demi kebaikanmu. Dan... kamu bisa mulai merelakan perasaanmu padanya. Aku sangat mengkhawatirkanmu. Mela juga takkan suka kamu seperti ini. Pasti ada orang yang lebih sedih melihatmu begitu menyedihkan."
"Terserah."
Watson mematikan panggilan sepihak, bertepatan dengan terdengarnya suara telepon berdering dari luar kamar mandi. Aiden, Hellen, dan Jeremy tengah menatap ponsel Aiden. Watson segera bergabung bersama mereka. "Ada apa?"
"Ada yang memanggil Aiden," gumam Hellen panik bercampur serius.
"What?" Watson menaikkan satu alis ke atas.
"Diam dulu!" Aiden ber-sst, menerima panggilan asing yang kembali berdering. Mereka menyimak seksama. "Halo?"
"TOLONG ... AKU! DIA ... INGIN ... MEMBUNUHKU! DIA MENGEJARKU...! DIA ... MENGEJARKU! DIA MEMBAWA PISAU! WAJAHNYA MENGERIKAN! Aku tidak mau mati... hiks... tolong... siapa pun di sana... Polisi... 911... Tolong selamatkan aku..."
Telepon mati.
Watson mengusap wajah. Sepertinya ini akan jadi kasus baru bagi klub detektif Madoka. Tiada istirahat untuk mereka.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top