File 0.6.11 - As a Result of Forgetting One Sign

Tim detektif Madoka sampai ke Stadion  Terminus, lapangan pertandingan bisbol yang hampir sama luasnya dengan sepak bola. Mereka berempat memanjati pagar belakang untuk masuk ke auditorium, melangkah hati-hati. Mereka harus cepat. Selain ketahuan oleh patroli malam, mereka akan diusir sebelum sempat menemukan Roxa.

"Apa kamu punya detail lokasinya, Wat?" seru Jeremy tersengal. Butuh sepuluh menit melewati aula dan sampai ke halaman luas stadion, lapangan pertandingan. "Kita tidak bisa menyusuri seluruh studio ini, terlalu banyak membuang waktu."

Itulah yang Watson pikirkan di perjalanan menuju Stadion Terminus, mencari interpolasi terbaru di mana persis pelaku menyekap Roxa. Luas tanah halaman itu nyaris tiga ribu hektar. Roxa bisa tersembunyi di mana saja.

"Apa boleh buat?" Watson menyerah, mengembuskan napas berat. "Kita berpencar. Bari dan Aiden telusuri bangku-bangku penonton, ikuti kontur. Aku akan mencari di ruang penyiaran, serta ruang produksi. Stern pergilah ke gudang penyimpanan properti atau tempat interval. Segera telepon satu sama lain jika menemukan sesuatu yang ganjil."

"Siap!"

Pencarian dimulai. Watson sungguh bijak menyuruh Jeremy dan Aiden bekerja sama menelusuri jutaan bangku penonton karena jika dipilih satu dari mereka, sisanya takkan sanggup menyelidiki per bangku.

Aiden memulai penggeledahan dari bangku timur dan Jeremy barat. Mempereteli kursi-kursi, mana tahu ada 'ruangan' di bawah bangku. Mereka berdua gesit menjengkal bangku penonton, awas memeriksa.

Di sisi lain, Watson sampai di stadio penyiaran. Gelap menyergap. Watson harus pandai-pandai meniti jalan supaya tidak terbentur oleh properti di ruangan itu. Dia bisa melihat Jeremy dan Aiden dari jauh.

Selama penyelidikan, tiap petunjuk walau berskala kecil, amat berguna untuk kepentingan kasus ini. Apa ada yang tertinggal oleh Watson? Apa ada petunjuk lainnya yang luput oleh insting Watson?

Sebuah petunjuk yang bisa dijadikan lokasi penyekapan Roxa. Entah rupanya benda, ide, atau hanya kalimat angin lalu.

Hellen juga sibuk dengan kegiatannya, mencari ke seluk-beluk ruangan, memastikan tidak ada ruang rahasia tersembunyi. Dia mengetuk-ngetuk dinding, belajar pengalaman kasus di Distrik Uinate.

Dua jam berlalu, tidak ada kemajuan. Mereka berempat masih berkutat pada pencarian yang bisa dikatakan nol persentase menemukan lokasi Roxa. Watson bahkan sudah istirahat dua kali, kelelahan.

Satu jam lagi berlalu dengan kejam. Stamina mereka terkuras. Tetapi mereka tetap tidak menyerah, melanjutkan pencarian. Lolongan hewan malam dari arah hutan menemani empat detektif remaja yang sibuk menggeledah stadion Terminus.

Hingga dua jam lagi tandas, pukul satu malam. Dini hari. Watson menyuruh menghentikan pencarian yang tak berujung, kembali berkumpul ke halaman. Dia menghidupkan lampu ted stadion.

Aiden mengacak rambut kesal. "Ini takkan ada habisnya! Apanya yang mau menemukan Roxa, kita bahkan tidak ada petunjuk!"

"Atau kita lanjut besok? Ini sudah jam satu, sudah larut." Hellen memberi usul yang langsung ditolak tegas oleh Jeremy.

"Tidak bisa, Hellen! Bukankah kita sudah berjanji tadi akan menemukan Roxa hari ini juga? Tidak ada waktu lagi menunda-nunda. Roxa, entah di mana dia, membutuhkan bantuan kita."

Watson tidak berkomentar, membiarkan suara mereka bertiga menjuru seantero stadio, fokus menerawang ke langit malam berawan. Fisik Watson lelah, namun dia tidak mengantuk karena sudah tidur (walau cuman belasan menit). Itu pun karena Narkolepsi-nya kambuh.

Ke mana mereka harus mencari di bangunan seluas ini? Apa tidak ada sesuatu, kecil pun tidak malasah, petunjuk yang bisa menentukan titik kehidupan di ribuan titik pada studio ini?

"Apa yang harus kita lakukan, Dan?" Suara Aiden membuyar lamunan. "Kamu benar-benar tidak punya analisis?"

"Itu sudah pertanyaan kesembilan, Aiden. Aku tidak tahu." Watson menggeleng, menghela napas panjang. "Andai kita punya pendekatan yang benar."

"Aku tahu!" Jeremy berseru pelan. "Jangan-jangan dia disembunyikan di bawah bangku yang tertulis di tiket?! Masuk akal kan? Pelaku menggunakan teka-teki dengan landasan nomor loker Roxa. Nah, bisa jadi teka-teki lokasi penyekapan ada di salah satu nomor bangku empat tiket yang dipesan korban."

Sebenarnya itu amat keliru, namun Jeremy menyebut poin yang tak bisa dibantah. Mau tak mau Watson bangkit dari posisi rebahan di rumput, disusul Aiden dan Hellen. Mereka kembali mendapatkan peluang.

"Mereka memesan bangku yang berjejeran, Dan," kata Aiden menatap foto di layar ponsel. "17471 nomor Gadela. 17472 nomor Tix. 17473 nomor tiker Danbi, dan 17474 nomor Roxa."

Nihil. Tidak ada apa-apa di daftar bangku tersebut. Jeremy mengeluh tertahan, mencari sekali lagi. Tetap tidak ada hasil.

"Jika Roxa menyukai bisbol, dia seharusnya duduk di barisan depan. Bukan begitu? Saat drama kesukaanku tampil, aku akan duduk paling dekat dengan TV. Antusias." Aiden menceletuk, mencari alternatif lain. "Tapi nomor-nomor ini jauh dari depan. Sepertinya pelaku menyembunyikan Roxa di bangku lain."

Aiden tidak tahu celetukannya menekan tombol di kepala Watson. Itulah yang dia butuhkan, hanya sederet kalimat angin lalu.

"Itu dia, Aiden!" kata Watson semangat. Yah, kontras dengan wajah datarnya. "Kita kembali berpencar. Periksa seluruh bangku barisan depan. Posisi sempurna untuk melihat pertandingan dari jarak dekat."

Lupakan nomor bangku di tiket, Jeremy mendapat semangat pencarian baru. Mereka berempat pindah ke arah berbeda. Menggeledah bangku-bangku di barisan pertama. Waktu terus berjalan cepat. Awan bergeser, memberi kesempatan untuk bulan menyinari bumi.

Satu jam lagi, pukul dua pagi.

"Tidak ada!" Hellen berseru gemas. Besok pagi-pagi, jika mereka tetap tidak bisa menemukan lokasi Roxa, mereka akan ditindak disiplin karena memporak porandakan bangku penonton stadion.

"Jumlah bangku hampir memakan 50.000  buah, dan kita hanya berempat. Butuh waktu tiga hari untuk memeriksa seluruh bangku. Kalau benar deduksi kita mengenai pelaku menyembunyikan tubuh Roxa di salah satu bangku, dia bisa duluan kehabisan napas." Jeremy mengusap wajah. Ini masalah serius.

"Kita kena batunya, ya." Watson menatap sekeliling. "Ini bagai mencari jarum di tumpukan jerami..." Tiba-tiba dia tersentak, menyadari sesuatu. Dia menoleh ke Jeremy. 50 ribu buah bangku?

Menangkap gestur tubuh Watson, Aiden bertanya cepat, "Kenapa, Dan?! Kamu tahu sesuatu? Beritahu kami! Kita tidak punya banyak waktu! Kita tidak tahu persis berapa hari Roxa disekap."

"Ini teka-teki sederhana yang kita perumit semenjak masuk ke stadion ini." Watson mendesah kasar. "Pelaku tidak mengubah rancangan teka-tekinya, konsisten pada nomor keberuntungan."

"Apa maksudmu?"

"265199," cetus Watson menghela napas berat. "Sampai akhir permainan, pelaku tetap menggunakan nomor loker Roxa. Karena jumlah bangku hanya 50 ribu, kita hilangkan angka 26."

Tanpa perlu disuruh, Aiden dan Hellen segera meluncur ke nomor bangku 5199. Itu berada di sentral, tengah-tengah. Watson dan Jeremy menyusul dengan langkah lunglai. Sekujur tubuh letih.

Mereka hampir tujuh jam berada di stadion bisbol, memeriksa sana-sini. Siapa yang tidak capek? Apalagi tubuh mereka berempat masih dalam masa pertumbuhan.

"Tapi, Wat, tidakkah kita melupakan sesuatu?" gumam Jeremy menuruni anak tangga. Aiden dan Hellen sudah sampai ke bangku yang dicari-cari enam jam terakhir.

"Apanya?" Watson menoleh ke belakang.

"Soal penelepon darurat yang meminta pertolongan pada kita. Aku salut padamu bisa merangkai kasus Roxa, yang notabenenya tercatat kasus Child Lover, jauh dari motif pelaku Hutan Maosav. Tapi, bukankah itu artinya penelepon asing juga memiliki hubungan dengan kasus ini?"

Watson terdiam. Benar juga, dia tidak berpikir panjang soal itu.

Langkah Jeremy terhenti. Wajahnya pucat. "Bagaimana jika kita keliru menebak pelaku? Bagaimana jika ini semua perangkap Child Lover? Pelakunya adalah CL?"

Aku benar-benar lupa masalah penelepon darurat! Mungkinkah alasan pelaku sebenarnya bukanlah sekadar membunuh keluarga Tiga Korban Berkacamata?! Watson mengatupkan rahang. Dia ceroboh.

Di bawah, dari bagian dalam bangku, terdengar suara minta tolong.

"TOLONG ... AKU! DIA ... INGIN ... MEMBUNUHKU! DIA MENGEJARKU...! DIA ... MENGEJARKU! DIA MEMBAWA PISAU! WAJAHNYA MENGERIKAN! Aku tidak mau mati... tolong... siapa pun di sana... Polisi... 911.... Tolong selamatkan aku..."

Aiden dan Hellen di depan bangku saling tatap. Watson dan Jeremy terpisah lima langkah dari bangku tersebut. Mungkinkah alasan CL sebenarnya adalah memancing detektif Madoka ke tempat korban?

"Aiden! Menjauh dari sana!"

Terlambat.

DUAR!!! Ledakan besar terjadi di Stadion Terminus. Berguncang hebat.

*

Ruang Produksi.

"Hehehe." Dari dalam ruang penyiaran yang diperiksa Watson, keluar satu sosok dari lemari. Terkekeh kecil, namun lama-kelamaan menjadi panjang dan besar. Cahaya bulan membuat siluet bekas baret di pipi. "Hehehe, AHAHAHAHAHA!"

Api membumbung tinggi di halaman stadion, menuju langit, membuat bumi terang di kawasan Terminus. Tiang lampu ambrol. Satu dua penduduk mulai keluar dari rumah, bangun dari tidur, melotot melihat ledakan di stadion bisbol.

Sosok di ruang penyiaran masih tertawa terbahak-bahak. Suara tawanya menyeramkan. Bangku-bangku penonton di halaman terpelanting ke mana-mana. Sungguh daya ledak yang hebat.

"Itulah akibat dari mencuri permen-permenku yang berharga," gumamnya tak jelas. "Aku bersusah payah mendapatkan permen manis, dan kalian seenaknya mengambil milikku!"

Sosok itu mengamuk sendiri, menghancurkan properti-properti di ruangan, meracau. Marah, tertawa, terkekeh, sampai kembali terbahak. Sudah tidak waras.

"Tapi, tapi, tapi aku tidak perlu risau lagi. Aku tidak perlu sedih lagi permenku dicuri." Dia berbicara seperti anak kecil yang tidak akan mengulangi kenakalannya. "Habisnya... KALIAN SUDAH BERAKHIR! HAHAHA!"

Dua menit tertawa, sosok itu melengos pergi meninggalkan Stadion Terminus, tak peduli api yang semakin besar di halaman, membangkar ratusan bangku.

Misinya menyingkirkan Tim Detektif Madoka telah tercapai.








Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top