File 0.6.10 - Last Instructions at The School Locker

"Kenapa kamu membawanya kemari, Hellen?"

Yang dimaksud Aiden adalah Candy. Lihatlah, delapan menit berlalu semenjak dia keluar dari rumah Tix, membiarkan Watson dan Jeremy menggeledah. Justru dia disambut kedatangan Hellen bersama Candy.

"Aku juga tidak tahu." Hellen mengembuskan napas berat. "Tahu-tahu dia sudah berada di sini. Kamu mengikutiku?"

Candy refleks menggeleng. "A-aku tak sengaja mendengar alamat yang dibisikkan Dan. Aku pergi mandiri, mengambil jalan lain supaya tidak berpapasan denganmu."

Aiden melotot. "Eh, hei! Kenapa kamu ikut-ikutan memanggil 'Dan', hah!"

Aduh, ini keliru. Harusnya Hellen dan Watson memastikan bahwa tidak ada yang mendengar 'percakapan' kecil mereka berdua. Bagaimana cara mereka melanjutkan investigasi dengan satu landak betina dan satu kelinci tersesat?

Sosok Jeremy keluar dari pintu rumah. "Jadi, selain tuan rumah, pelaku juga mengincar para pembantu dan ART lainnya. Apa kamu sudah tahu motifnya, Watson?"

Menyusul Watson di belakang, mengelus dagu. "Kamu salah, Bari. Yang benarnya pelaku mengincar seisi nyawa di rumah Tiga Korban Berkacamata. Entahlah apa maksudnya melakukan itu."

"Apa mungkin untuk menutup saksi mata?"

"Masuk akal. Tetapi, pelaku tidak mungkin sampai membunuh seluruh penghuni rumah, kan? Ini jelas ada makna tersirat."

"Kasus ini semakin pelik. Aku kelaparan. Kita tidak mengisi perut kecuali es krim tadi."

Tampaknya Watson sudah di atas keseriusannya, sampai tidak memperhatikan 'pertengkaran' Aiden dan Candy. Dia melangkah lurus ke tempat Hellen berdiri, meminta hasil penyelidikan.

"Bagaimana?"

"Aku pikir aku yang lebih dulu datang. Kalian tidak jadi ke gardu listrik?" Watson menggeleng, menunjuk Jeremy. "Di sana ada 8 korban, Wat. Dua keluarga utama, sisanya sanak-saudara yang berkunjung. Mereka telah tewas. Kita terlambat."

Bahkan sampai membunuh tamu lain? Ini sangat ganjil. Watson terdiam kesekian kalinya.

"Aku juga menemukan sarung tangan bisbol di kamar korban." Candy menceletuk, ikut memberi petunjuk. "Semoga membantu."

Watson menoleh kepada Aiden yang menyumpah-nyumpah. "Aiden, beritahu aku penyelidikanmu saat aku tidur tadi."

"Tidak ada yang bisa dijadikan petunjuk, Dan. Hanya tongkat kasti dan catatan-catatan hutang." Aiden berkata pelan-berusaha menahan jengkel.

Drrt! Oh? Watson merogoh saku, mengeluarkan sebuah pager.

"Kamu masih menggunakan alat itu? Ini sudah tahun modern, Watson. Tidak ada lagi yang memakai pager sebagai komunikasi. Kamu ketinggalan zaman. Ke mana ponselmu?" Jeremy menepuk dahi. "Jangan bilang jatuh saat kamu tidur? Lagi pula, siapa yang mengirimkan pesan?"

"Inspektur Deon," kata Hellen menyumpal ledekan Jeremy. "Watson memberikan dua pager padaku, menyerahkan satu ke beliau untuk jaga-jaga komunikasi darurat."

Wajah hina Jeremy digantikan sorot kagum.

"Makanya, jangan asal menghina. Benda primitif kadang lebih berguna daripada benda elektronik." Hellen bersedekap.

Watson menatap ke depan. "Aku butuh kotak telepon untuk memeriksa isi pesan."

Candy mengangkat tangan. "Aku tahu yang paling dekat di kawasan sini."

*

[Kamu tidak bilang jika rumahmu sedang kosong, Watson. Kamu juga tidak mengatakan di mana letak basement-mu. Aku butuh waktu untuk mencarinya, ternyata tombolnya terletak pada salah satu buku di rak. Jalan menuju ruang bawah tanah. Aku tak menyangka kamu mempunyai ruang autopsi sendiri. Kami membutuhkan waktu untuk memindahkan tubuh mayat. Ini brilian sekali. Kamu tak perlu khawatir, aku tidak akan memeriksa hal lain.]

Yah, di situ aku juga memasang CCTV mini. Akan kubocorkan kepalamu kalau kedapatan menyelidiki hal lain. Kuberi kepercayaan sudah untung, batin Watson kalem. Kontras dengan isi hatinya.

"Apa ini?" Suara Aiden meninggi, menatap Watson, meminta penjelasan. "Jadi undangan ke rumahmu untuk Inspektur Deon? Bukan untuk kami?"

Aiden jelas kecewa, juga Hellen dan Jeremy. Harusnya mereka orang pertama yang mengunjungi rumah Watson, namun kenapa harus si Deon yang mengambil start? Watson tidak adil.

Watson mendesah prihatin. Nasibnya sungguh sial. Padahal rumahnya tidak sebagus istana Aiden. "Baiklah, baiklah. Setelah kasus ini selesai, aku akan mengundang kalian. Mau menginap seminggu pun kuberi izin."

"Yeppi!" Mereka bertiga melompat gembira.

Ini sebenarnya rombongan detektif atau apa sih? Tidak mengerti lagi aku.

Sudahlah. Bisa stres Watson meladeni tiga oknum di samping, kembali fokus ke telepon. Memeriksa isi pesan berikutnya. Candy menyimak serius.

[Hasil autopsi menunjukkan bahwa fisik jasad Gadela dan Danbi cedera parah di bagian dalam. Sepertinya mereka korban dari pembulian atau kekerasan. Melihat kerangka tulang, mereka dipukul oleh benda keras. Aku tidak tahu apakah luka-luka ini adalah bentuk pertahanan diri atau hal lain, namun tugasku selesai di sini. Sisanya kuserahkan padamu. Jangan khawatir, aku memerintahkan dua rekanku menunggu di luar. Kunci rumahmu akan kukembalikan besok.]

Tangan Watson terkepal. Dia hampir dekat dengan teka-teki terakhir. Ending kasus ini sudah terlihat.

"Celeste," Watson bergumam pelan. "Maafkan aku, tapi kamu boleh pulang. Kamu sudah cukup berperan dalam kasus ini, maka aku akan memberitahu Inspektur Deon tentang konstribusimu. Biar kami yang menyelesaikan sisanya."

"Tapi..." Candy keberatan. Rasanya baru sebentar ini dia bisa 'menangani' kasus bersama Watson.

Kelereng pink seiras nama milik Candy terbelalak. Watson menepuk kepalanya tiga kali. "Kerjamu bagus. Kamu sudah selesai," katanya menoleh ke tiga teman klubnya. Ekspresi serius. "Kita pergi ke tujuan dua. Aku tak ingin mendengar keluhan lelah. Kasus ini sudah mendekati puncaknya."

Candy terdiam, tidak berniat lagi mengikuti rombongan Detektif Madoka. Dia menyentuh kepala yang ditepuk Watson, tersenyum canggung.

*

Tujuan kedua amat keliru.

Aiden dan Hellen nyaris serempak menepuk dahi. "Astaga, Watson! Kamu serius? Kupikir kita akan pergi ke rumah Gadela, atau Tix, atau Danbi, memeriksa lebih saksama. Tapi kenapa kamu memilih kembali ke sekolah sih?"

Itu benar. Tujuan kedua yang direncanakan Watson adalah sekolah, Madoka. Karena sekarang pukul enam sore, sekolah sudah nyenyat. Tidak ada lagi pelajar berkeliaran. Hanya satpam sekolah yang penuh dedikasi tinggi mengecek ke setiap titik sudut gedung, memastikan tidak ada murid nongkrong.

Watson mengangkat bahu. "Aku lapar, Aiden."

Jeremy spontan menoleh. "Kamu ini-"

"Jangan berpikir aneh-aneh. Aku juga lapar. Kalian berdua sama, kan? Stern bisa memasakkan makan malam untuk kita. Setelahnya kita bisa melanjutkan penyelidikan. Kita setengah hari menyelidiki di tengah cuaca panas dengan perut keroncongan. Aku ingin menuntut bayaran untuk kasus Maosav."

"Yeah." Aiden menatap halaman yang lengang. "Toh, ini bukan pertama kali kita bermain di sekolah di luar PBM. Guru-guru memaklumi tanggung jawab klub detektif, apalagi kita sekarang di bawah proteksi Departemen Penahanan. Klub kita independen."

Hellen mengangguk setuju. "Kita beristirahat sebentar. Mengisi perut."

Tiga lawan satu, Jeremy kalah suara. Cowok berkacamata itu mendesah panjang, akhirnya menganggukkan kepala. "Baiklah, kita makan malam di klub. Tapi kamu harus janji, Watson, Aiden, Hellen, kasus Maosav akan kita tuntaskan hari ini juga!"

"Ya~"

Kabar baiknya, listrik sudah kembali menyala. Petugas gardu di pos yang tim detektif Madoka temui tadi siang cekatan memanggil bantuan untuk segera mengganti kabel-kabel yang rusak. Kota Moufrobi bagai bintang-gemintang jika dilihat dari langit.

Aiden menggeliat, melemaskan tangan. Udara AC memenuhi ruangan. Terasa sejuk dan lembab. "Akhirnya bisa bernapas lagi."

Jeremy keluar dari kamar mandi kecil klub, habis mencuci rambut. Dipanggang setengah hari di luar bukanlah pengalaman yang menarik. Rambut menjadi bau. Untung mereka memakai tabir surya.

Hellen merinai. Tangannya lincah memotong-motong bahan masakan, menyiapkan macam-macam bumbu, nyala api, dan segala tetek bengek memasak. Aroma lezat tercium hidung.

Sedangkan Watson sibuk mencatat di papan kaca. Tangannya sama lincahnya dengan Hellen. Dia sedang menulis hal-hal penting untuk langkah berikutnya.

Lima belas menit berlalu sibuk. Keempat penghuni klub detektif Madoka sibuk dengan kegiatan masing-masing, sampai Hellen siap memasak makan malam. Waktunya makan.

"Tapi, ya," Watson menatap suap daging di mangkok. "Kuah sup ini benar-benar enak sekali. Selain jadi dokter dewasa nanti, kamu harus buka restoran, Stern. Aku akan jadi pelanggan tetap."

Hellen terkekeh. "Gratis untukmu, Watson. Juga Aiden dan Jeremy. Kita ini tim pembasmi penjahat Moufrobi!"

Ruang klub dipenuhi tawa kecil, kecuali Watson pastinya. Dia hanya manggut-manggut tak jelas.

Ujung mata Jeremy menatap papan kaca, menceletuk, "265199? Kamu yang menulisnya, Wat? Itu kode apa?"

"Eh, lho, bukannya itu nomor loker Roxa?"

"Brilian, Stern. Kamu masih mengingatnya." Watson selesai menghabiskan isi mangkok. "Yang kutahu Madoka memiliki murid sekitar 5000-6000, termasuk para guru, kepala sekolah, komite, penjaga gerbang dan pengurus sekolah lainnya. Angka 26 merujuk pada ke seluruh total kelas. Itulah hitungan nomor loker siswa-siswi."

"Lalu? Apa hubungannya dengan Roxa?"

"Tahan pertanyaanmu, Aiden, ceritakan padaku bagaimana karakteristik si Roxa itu. Jika dugaanku benar, maka rencanaku akan bekerja. Dialah kepingan terakhir puzzle Maosav. Kita bisa menemukan lokasi Roxa."

Aiden, Jeremy dan Hellen sontak meletakkan sendok. "Benarkah?! Ba-bagaimana kamu menyambilkan kasus Roxa dan-"

"Kubilang tahan pertanyaan kalian."

Mereka bertiga menelan ludah, mengikuti perintah Watson.

"Roxa adalah anak olimpiade, Watson. Dia murid yang pintar dan menyukai bisbol. Roxa bahkan mengikuti turnamen bisbol wanita mewakili Madoka, memenangkannya. Setengah murid angkatan satu menyukai Roxa. Dia juga tidak sombong dan jemawa. Tapi hanya satu kekurangan Roxa: dia berasal dari keluarga miskin."

Raut wajah mereka bertiga berubah murung. Watson bergumam sendiri, mendapatkan secarik petunjuk. "Lalu?"

"Roxa selalu datang penuh baret lebam di sekujur tubuh, Dan." Aiden menyambung cerita. "Diduga keluarga Roxa menyiksanya untuk terus mengikuti perlombaan nasional, terus mencari uang dengan kepintarannya. Uang-uang itu digunakan membeli barang-barang mahal, bukan untuk rumah tangga. Roxa amat menderita karenanya."

Keterlaluan sekali. Uap panas dari cangkir teh di depan Watson menguap ke atas.

"Dan! Jika kamu benar-benar tahu di mana Roxa sekarang, kita harus cepat menyelamatkannya! Sudah cukup kemalangan Roxa. Aku ingin gadis itu tetap hidup."

Watson menatap Aiden. Jeremy dan Hellen bahkan sudah bangkit dari kursi, menatapnya serius. "Makanya aku bertanya tentangnya," gumam sherlock pemurung itu membersihkan isi gelas. "Selamat. Berkat cerita pendek barusan, aku tahu di mana lokasi Roxa. Serta penjelasan kematian Gadela, Tix dan Danbi."

Wajah tiga teman klubnya bersinar.

"Sudah pukul setengah delapan, ayo bergegas. Kita mampir ke loker Roxa dulu."

*

Pukul 19.43 malam.

Watson menatap Aiden sinis. "Kamu sering mengutil barang, ya?"

"Enak saja! Aku bukan pencuri!"

"Tapi kamu bisa membuka loker ini dengan jepitan." Padahal Watson sendiri juga menguasai teknik itu. Suka saja melihat wajah cemberut Aiden.

"Sudah terbuka, Wat. Sekarang apa?"

Itu hanya loker murid perempuan biasa. Buku-buku pelajaran tertata rapi, baju olahraga, sepatu, pemukul kasti, selembar foto dan sebuah tiket. Selebihnya pigura kecil, lalu beberapa medali.

Aiden, Jeremy dan Hellen tersentak kaget. Itu foto Roxa bersama tiga korban berkacamata di Hutan Maosav!

"Apa maksudnya ini, Watson? Mereka berteman?"

"Begitulah." Watson menghela napas panjang. "Ini teka-teki sederhana."

"Korban pertama, Gadela. Melihat foto-foto yang dipotret Aiden, dia juga murid teladan seperti Roxa. Aiden menemukan catatan hutang di laci kamar orangtua korban. 250 dolar, sangat banyak. Sama halnya dengan kemalangan Roxa, Gadela juga disiksa orangtuanya untuk mencari uang. Aiden melihat beberapa jenis pentungan di kamar Gadela, itu mungkin senjata tumpul yang digunakan Sang Ibu untuk memukuli punggung putrinya sendiri. Ingat jumlah nyawa yang tewas di TKP itu? Empat orang. Lalu, kalau kita tambahkan dengan Gadela, jumlahnya lima jiwa.

"Berbeda dengan Tix, sudah pintar, kaya lagi. Itulah alasan aku meng-skip penyelidikan kediaman korban kedua, lebih menyuruh Inspektur Deon bersama Stern pergi ke TKP ketiga. Tidak ada masalah di keluarga Tix. Lantas, mengapa mereka terbunuh? Mengapa pelaku membunuh mereka? Karena hubungan Tix dengan Roxa sudah menjadi alasan pelaku membantai seisi rumah itu, juga menggenapkan teka-tekinya. Jumlah korban di rumah kedua 18 orang, ditambah Tix, berarti 19 korban jiwa.

"Terakhir, Danbi. Inspektur Deon mengatakan hasil autopsi menemukan cedera internal di tubuh mayat. Aku kurang tahu hal ini sebab Stern juga tidak punya banyak waktu melihat-lihat TKP. Menurut pengamatan Stern, ada 8 korban di situ. Kita hitung lagi dengan cara yang sama dengan menambahkan Danbi. Totalnya 9 korban jiwa."

Aiden menelan ludah, berpikir cepat. "5.19.9. Nomor absen Roxa adalah 26."

"Mungkinkah...?!" Jeremy dan Hellen menutup mulut. Kaget.

"Ya," Watson mengangguk. "Teka-teki pembunuhan Tiga Korban Berkacamata adalah berdasarkan dari nomor loker Roxa, 265199. Pemukul kasti di rumah Gadela. Topi pemain yang kutemukan di kamar Tix. Kemudian petunjuk dari Candy, sarung tangan bisbol di ruangan Danbi. Dan coba kita gabungkan dengan olahraga favorit Roxa, olahraga bisbol."

"Mereka...Entah apa yang terjadi di masa lalu mereka berempat, mereka menjadi sahabat karib karena beban hidup, bertemu di stadion pertandingan bisbol. Memulai pertemanan di sana." Watson mengambil tiket di loker Roxa. "Mungkin ini adalah tiket menonton pertandingan yang dipesan Roxa untuk ditonton bersama."

"Kamu benar." Aiden memeriksa foto di ponsel. Ada tiket yang sama di masing-masing tas korban. "Persahabatan yang sungguh celaka."

Jeremy membungkuk, menepuk-nepuk pundak Aiden. Menghibur.

"Ngomong-ngomong soal autopsi." Hellen bersedekap. "Bagaimana caranya Inspektur Deon membawa tubuh tiga korban dari kamar mayat?"

"Mudah, Stern. Inspektur Deon jelas detektif berpengalaman. Aku tidak tahu cara dia membawa tubuh-tubuh tersebut, namun tampaknya dia mencurinya. Detektif yang satu itu akan melakukan segala cara meski dilarang atasan."

"Mencuri? Tak adakah kalimat yang bagus daripada itu?" Hellen memanyunkan bibir.

"Pokoknya kita harus lekas pergi."

"Ke mana? Di mana Roxa sekarang? Gadela, Tix dan Danbi akan sedih sekali kalau Roxa sampai kehilangan nyawa juga."

Watson berseru mantap, "Stadion Bisbol!"






Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top