File 0.5.4 - Luxury Hotels Without Time
Watson keluar dari apartemen, membiarkan para petugas menyelesaikan pekerjaan mereka. Kendaraan lalu-lalang di jalan raya menciptakan suara bising. Satu dua pedagang kaki lima menutup kedai karena malam menuju larut.
Dipikirkan berapa kali pun, Watson benar-benar tak paham maksud Lupin. Kenapa dia berbohong? Apa cerita tadi hanya buat-buatan? Lalu apa maksud dia sebenarnya mengundang Watson ke sana?
"Ng?" Watson tak sengaja melihat Jeremy tengah menelepon seseorang di tepi hotel. Wajahnya tampak serius. "Bari? Sedang apa dia? Bukannya dia di dalam tadi?"
"Baiklah, Pak. Kabari aku lagi jika ada berita baru. Terima kasih." Jeremy menutup telepon secara sepihak, mengembuskan napas, berbalik, dan terlonjak kaget. "WATSON! KAMU MENGEJUTKANKU!"
Watson menatap Jeremy menyelidik. "Kamu barusan berbicara dengan polisi?"
"Sok tahu." Jeremy menjawab kikuk.
"Ngomong formal begitu, sudah jelas kamu menelepon orang penting." Jeremy berdecak. Berarti tebakan Watson benar. "Jadi ada apa?"
"Bukan urusanmu."
Ingin rasanya Watson menendang bokongnya, tetapi Watson tahu Jeremy ahli gelut sedangkan dia tidak. Watson hanya bisa tertawa masam. "Mukamu sampai serius. Pasti ada sesuatu. Beritahu saja padaku."
"Aku bilang bukan urusanmu. Lagi pula tidak penting. Mending kamu fokus sama misteri di dalam hotel tanpa jam ini."
"Aku sedang memikirkannya."
Jeremy meledek demi melihat wajah Watson yang mengernyit. "Heh, apa ini? Kamu bisa mewek juga karena buntu?"
Watson sungguh ingin menendang orang itu. Apa berguru dengan Lupin sudah cukup bisa melawan pembelaan diri? Watson rasa Lupin sama kuat dengan Jeremy.
Aiden dan Hellen keluar dari lobi hotel, menegur kami berdua. "Hei, ngapain kalian malam-malam keluar? Udaranya dingin lho. Nanti kalian masuk angin lagi."
"Nothing." Jeremy menjawab malas.
Cecunguk ini. Watson manyun datar tapi hati tengah mengumpat-umpat.
"Dan, apa kamu lapar?" Aiden menceletuk, menunjuk diri dan Hellen. "Kami berdua rencana ingin mampir ke restoran yang masih buka. Paling tidak membeli kemasan mie di supermaket."
"Lho? Makanan di hotel tidak enak?"
Hellen menggeleng. "Mereka menyediakan makanan ala Spanyol. Sudah begitu stiknya tidak matang dan lobster yang masih keras. Hiy!"
"Kalian pergi saja tanpaku. Aku mau cuci rambut," imbuh Jeremy melewati Aiden dan Hellen. "Aku tidak lapar. Tapi kalau mau, titip satu susu kotak. Rasa cokelat ya. Awas salah."
"Beli sendiri sana!" Aiden menggertak dengan tangan kanan membuat Jeremy lari terbirit-birit ke dalam hotel. "Kebiasaan nyuruh-nyuruh orang."
"Sabar." Watson berkata pelan.
"Ayolah, Aiden. Perutku sudah lapar nih."
"Iya, iya. Ayo kita pergi."
Watson sekali lagi menoleh ke gedung hotel, menatap serius. Mereka bertiga menyebrangi jalan raya.
Entah apa pun yang terjadi besok malam, maka biarkan terjadi.
*
Banyak sekali toserba berceceran di distrik itu, buka 24 jam. Mereka sempat bingung hendak mengunjungi toserba yang mana.
Anehnya di sana minim restoran. Mereka tidak punya pilihan selain membeli bahan makanan dan meminjam dapur hotel. Toh, mereka kan punya koki handal. Dan semoga pihak dapur memperbolehkan Hellen memasak.
"Yang itu saja, Den." Hellen menunjuk toserba besar dengan spanduk SkyCastle52. "Lagian kita cuman perlu beli daging, daun seledri, terus blablabla."
Aiden menurut saja. Watson sih sibuk celingak-celinguk sekeliling. Ternyata masih banyak toko yang buka di wilayah ini. Apa mereka pergi terlalu jauh dari hotel?
Hanya membutuhkan dua puluh menit bagi Hellen memilih-milih bahan rempah dan beberapa bahan mentah dari refrigerator. Dia tampak seperti ibu-ibu rumah tangga.
"Hei, Aiden," Watson bergumam sambil memandang tak minat ke rak cemilan. "Ada yang ingin kutanyakan."
"Apa? Apa?" balas Aiden riang, memasukkan sebaris snack di rak ke kereta belanja. "Apa pun akan kujawab~"
Sudah kuduga, ini menggangguku. Aku harus menanyakannya. "Ini soal Bari."
Tangan Aiden yang memegang bungkus cemilan terhenti sejenak, tampak kaget dengan ucapan Watson. Jeda tiga detik Aiden kembali bergerak. "Kenapa dia?"
Aneh. Kenapa cara bicara Aiden tiba-tiba berubah? Apa hal ini sangat sensitif? "Apa kamu tahu sesuatu tentangnya? Aku pikir Bari menyembunyikan sesuatu tapi aku tidak tahu apa."
Aiden menatap Watson sebentar, kemudian mendorong kereta belanja, melengos pergi. "Tidak ada apa-apa dengannya kok. Dan terlalu berpikir banyak."
"Aku yakin sesuatu telah terjadi padanya."
"Dan," Aiden berhenti melangkah. Dia menatap Watson serius. "Ada sesuatu yang tidak harus kamu ketahui. Itu akan merugikan. Lebih baik kamu harus menunggu sampai Jeremy yang memberitahumu sendiri."
Setelah mengatakan deretan kalimat serius tersebut, Aiden menyusul Hellen ke meja kasir, meninggalkan Watson yang hanyut dalam pikiran. Diam.
Rupanya yang belum percaya bukan hanya Watson, ya. Ironis. Watson masih belum mengakui mereka, mereka pun juga begitu. Bukankah ini setimpal?
"Dan, ngapain kamu? Buruan sini."
Watson berjalan dengan langkah kosong. Dia tidak boleh komplain soal mereka yang menutupi masalah mereka. Toh, Watson memang orang baru di antara anggota klub detektif Madoka, kan? Jadi dia tak punya hak mengganggu privasi mereka bertiga.
Karena Watson hanya orang asing.
Ketika keluar dari pintu swalayan, Aiden bertabrakan dengan seorang nenek-nenek yang hendak masuk ke dalam. Semua isi kantong Aiden berserakan di tanah.
"Ah, apa Nenek baik-baik sana?"
Nenek itu menggeleng, menepuk bahu Aiden. "Tidak apa, Nak. Salah Nenek tidak lihat-lihat dulu sebelum masuk."
Saling memaafkan sebentar, Nenek itu akhirnya berdiri dan beranjak ke pintu supermaket. Hellen jongkok membantu Aiden mengemas barang belanjaan yang jatuh berceceran.
"Ada apa sih, Den? Gagal fokus begitu."
Watson memegang tangan Si Nenek Tua ketika beliau melewatinya karena Watson berdiri di belakang Aiden dan Hellen.
"Kenapa, Nak?" Beliau bertanya.
Aiden dan Hellen menoleh.
"Kamu mencuri dompet temanku. Kembalikan." Watson berkata datar sambil menunjuk saku nenek tersebut. Dasar pencuri awam. Trik yang dia gunakan sudah sangat pasaran.
Mendengar itu, Aiden refleks meraba-raba saku. "Eh? Dompetku hilang!"
Hellen cengo, berkedip bingung. "Sejak kapan dia mengambilnya?"
Nenek itu menyeringai, lantas mendorong Watson. Naas! Watson sudah mengira dia akan mendorongnya dan kabur. Maka Watson menyambut tangannya sebelum jatuh berdebam ke aspal.
"Kamu tak apa-apa?" Hellen menghampiri.
"Hm." Watson mengangguk. Hellen manyun. Bagaimana mungkin dia mengacungkan jempol dengan wajah datar dan lengan yang berdarah? Mungkin itu maksud ekspresinya. Bisa ditebak.
Aiden bangkit, menatap murka. "Sialan. Berani sekali kamu main-main denganku," ucapnya geram. Memasang kuda-kuda.
Si Nenek palsu melayangkan pukulan. Aiden menangkap tangannya, berputar, melakukan teknik membanting. Tubuh si nenek terangkat dan jatuh ke depan. Aduh! Itu pasti sakit sekali! Sepertinya Aiden sudah tahu nenek itu bukan nenek asli dan tak segan-segan melukainya.
Takut, beliau pun tertatih-tatih melarikan diri. Watson yakin tangan kanannya pasti terkilir dipelintir oleh Aiden. Belum punggungnya yang mencium tanah.
Gila. Aiden memang pandai berkelahi, ucap Watson dalam hati menelan ludah.
Aiden tergesa-gesa ke arah Watson dan Hellen. "Dan, kamu tidak apa-apa? Bagaimana lenganmu? Terluka? Aish! Kamu perlu ke rumah sakit!" tuturnya hiperbola.
Watson memberikan dompetnya kembali.
Aiden terbelalak, juga Hellen. "Ba-bagaimana kamu mendapatkannya?"
"Aku punya cara sendiri," katanya malas, berdiri seraya menepuk-nepuk celana yang kotor karena debu di aspal.
"Kamu yakin tidak apa?"
"Iya, Aiden." Watson mendesah panjang.
Skip time.
Di salah satu gang gelap, terduduk seseorang sambil mengurut lengan kanan yang patah. Wajahnya meringis tapi terlihat menikmati.
"Ah, astaga. Si detektif itu tidak pernah berubah. Kenapa dia bisa tahu, ya? Padahal aku cuman mau meletakkan pelacak. Lalu si anak cewek itu sepertinya berbahaya."
Sosok misterius itu menyeringai.
"Besok akan seru nih. Lol."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top