File 0.5.2 - Why Should I?

"Beritahu aku tujuanmu yang sebenarnya, Lupin. Kenapa kamu mengundangku ke sini? Kenapa kamu membawaku ke kekacauan ini? Apa maumu? Kamu mau menyorotku ke publik?" Watson menatap Lupin tajam.

Lupin nyengir, melepaskan tarikan tangan Watson. "Tenang dulu dong. Jangan main marah. Nanti kamu cepat tua lho. Kita bicarakan baik-baik."

"Bicara baik-baik katamu? Di tengah keributan ini?"

Hotel yang mereka tempati sudah penuh dengan detektif, polisi, dan tim forensik. Garis kuning di mana-mana. Dan ada satu inspektur yang Watson kenal, tampak baru keluar dari TKP. Dia adalah Deon.

Watson mendengus, melepaskan pegangannya. Kenapa semuanya jadi seperti ini?

"Tidak ada jendela, lorong atau sebagainya. Juga CCTV," ucap Deon menghela napas. "Dengan kata lain ini pembunuhan ruang tertutup."

*

>37 jam sebelum insiden<

Jeremy dan Hellen membungkukkan badan. "Terima kasih atas perhatiannya, Apol."

Apol mengangkat tangan. Matanya terpicing karena sipit. "Tidak apa, tidak apa. Aku tahu pekerjaan kalian amat menyusahkan dan penting. Guru-guru pun memakluminya. Toh, ini juga demi nama baik Madoka. Kalian semangat."

Hellen mengangguk formal. "Kalau begitu kami izin pamit, Ketua Apol. Kami akan berangkat pagi ini," ucapnya keluar dari ruang konsil. Aiden dan Watson sudah menunggu mereka di luar. "Fiuh! Dia mau mengurus surat izin kita."

Jeremy merinding. "Ampun deh. Setiap masuk ke tempat ini, aku selalu mandi keringat. Hiy! Aura Apol benar-benar seperti malaikat maut!"

Watson bergumam dalam hati, menatap papan 'dewan siswa' yang tergantung di pintu. Apakah dia semenyeramkan itu? Terakhir kali Watson bertemu dengannya, dia kelihatan ramah. Ini sebuah tanda tanya. Watson menggelengkan kepala. Dia tidak perlu repot-repot menyelidiki.

"Oke, Pak Gion sudah ada di gerbang. Kita pergi sekarang juga? Mumpung sudah pukul tujuh pas," celetuk Aiden habis mengecek ponselnya. Hari ini dia memakai baret lolita berwarna hijau gelap. Dia terlihat cocok memakai itu.

"Yah lebih cepat lebih baik, kan?" Jeremy mengangguk. "Bagaimana denganmu?"

Watson hanya mengangguk, malas berbicara. Sebenarnya mood Watson lagi naik-turun.

Yah, Watson ingat dia memang bilang "terserah". Itu artinya dia menyerahkan keputusan akan menerima permohonan kasus Lupin atau tidak kepada Aiden dan yang lain. Harusnya dia tahu kalau mereka akan menerimanya.

Dia agak kesal, eh, apa nama emosi yang Watson rasakan ini? Dia tidak suka melihat reaksi Aiden. Dia lebih suka Aiden yang cerewet, bukan pendiam. Apa karena keputusan Watson hendak keluar dari klub detektif? Tahu deh.

"Apa kamu sudah baca buku terbaru Penulis Han? Di Kereta Ekspres Menuju Neraka?" celetuk satu dua murid yang berpapasan di koridor. Telinga Watson tegak mendengar percakapan mereka.

Temannya mengangguk. "Hmm! Itu dongeng yang menarik. Aku tak menyangka endingnya bakal seperti itu."

Watson mengembuskan napas panjang. Dia kalah dengan egonya. Oke, mari kita selesaikan ini. Menangkap pencuri pemburuk nama? Kenapa tidak!

Watson duduk paling belakang di mobil pribadi Aiden. Jeremy di depan di sebelah sopir (Pak Gion), lalu di tengah-tengah Aiden dan Hellen.

"Ng?" Sebelum mobil itu beranjak dari halaman sekolah, mata Watson tak sengaja melirik gedung ruang konsil. Tampak sosok Apol tengah tersenyum ke arahnya.

Orang aneh.

*

Selamat datang di Distrik Uinate!

Watson menatap pemandangan di depannya tak minat. Berbeda dengan Aiden dan yang lain. Mereka berseru antusias seperti diajak ke pantai.

Banyak gedung-gedung pencakar langit sejauh mata memandang. Suara kendaraan yang bising, pedagang kaki lima, juga anak-anak jalanan. Watson juga melihat beberapa baliho. Polusi menumpuk di udara membuat sesak.

Lupin sudah mengirim alamat yang harus mereka tuju lewat email. Harusnya mereka berangkat menaiki kereta, namun Aiden menyarankan lebih cepat pakai mobil.

Mobil yang mereka naiki berhenti di arena taman bermain. Spanduk Uinate Free Zone berdiri gagah dengan dua mainan badut. Di sana sudah menunggu Lupin bersama teman sekolahnya.

Tunggu, apa? Taman bermain?

Wahana rollercoaster tengah beroperasi, mengangkut sepuluh penumpang. Suara teriakan mereka mengumandang di langit-langit. Adapun suara-suara dari aksi pesulap, terompet dan seruan anak-anak.

Lupin melambaikan tangan. "Watson! Sini! Sini! Di sini!" serunya memanggil. Ketiga temannya ikut menoleh kepada mereka.

"Wah, lihat mereka. Bukankah mereka detektif yang terkenal di kota sebelah?"

"Ya ampun! Itu benar-benar anggota klub detektif Madoka! Aku fans mereka!"

"Sedang apa mereka kemari? Mungkinkah CL pindah ke Distrik Uinate? Atau mereka datang karena permohonan kasus?"

Tak cukup lima menit mereka tiba di lapangan taman bermain, hampir separuh pengunjung tempat itu langsung 'menyerbu' mereka. Oh, tentu saja Watson tidak termasuk. Mereka kan tidak tahu siapa Watson.

Jadi saat mereka fokus pada Aiden, Jeremy dan Hellen, Watson terbawa arus kerumunan dan terlempar keluar. Ke tempat Lupin berada.

Lupin menyengir. "Kalian amat terkenal—"

Bugh!

Sebuah pukulan mendarat di pipi Lupin.

"Apa maksudnya ini? Kamu tidak bilang tempat pertemuannya di taman bermain. Kamu memalsukan alamatnya? Kamu mengubah alamatnya? Kamu membohongiku?" kata Watson marah menatap Lupin tak percaya. "Kamu lupa, aku sangat membenci tempat ini? Kenapa kamu malah membawaku ke tempat yang paling ingin kuhindari?"

Lupin tidak menghindar juga tidak membalas. Dia tahu kesalahannya. "Silakan marah sepuasnya, silakan pukuli aku sesuka hatimu. Ini kulakukan demi kebaikanmu, At. Kamu takkan sembuh dari traumamu itu jika kamu terus menghindar."

Bugh! Lupin jatuh tersungkur. Walau Watson memang tidak pintar berkelahi, pukulannya tidak cukup lemah untuk seukuran laki-laki.

Lupin menyeka sudut bibir. "Sadarkan dirimu, At. Mau sampai kapan kamu melarikan diri? Trauma itu dihadapi bukan dihindari! Kamu pikir kamu bisa sembuh karena terus-terusan berlari tanpa henti? Yang ada kamu akan makin melekat pada penjara masa lalu. Traumamu akan menjadi hantu. Aku hanya membantumu!"

"Berisik. Jangan sok bijak, jangan mengguruiku." Watson berlalu dari hadapan Lupin, lari ke luar zona taman bermain. Dia tidak bisa di sana. Dia tidak bisa berada di tempat itu lama-lama. Memori ledakan di tengah-tengah taman menghantui kepalanya.

"Tunggu, At!"

Teman Lupin yang cowok bersedekap. "Dia temanmu si Watson Dan itu, kan? Kupikir dia terlihat kuat. Tapi apa-apaan ini? Ekspetasiku runtuh seketika. Dia bayi yang cengeng." [Asteria Rox, 15 tahun.]

"Rox, jangan begitu. Kamu dengar cerita Matrix, kan? Dia pobia taman bermain," celetuk temannya yang lain. "Kamu juga salah, Matrix. Yang namanya pobia tuh harus diobati secara perlahan. Jika kamu langsung melepaskan sumbu bom dengan paksa tanpa kelembutan, bom itu akan meledak." [Faenon Isla, 16 tahun.]

Lupin menggaruk kepala. "Taman bermain ini luas. Ayo bantu aku cari dia sebelum ceweknya ngamuk. Untunglah mereka masih dikerumuni."

Rox menaikkan satu alis ke atas. "Wow, dia sudah punya pacar?"

"Tentu saja."

*

Watson berhenti berlari, terengah-engah. Dia sudah berlari lima menit tapi ujung taman bermain ini belum juga tampak. Yang ada Watson berputar-putar dan kembali di tempat sama.

Berdiri seorang diri di tengah-tengah taman bermain. Orang-orang lalu lalang di sekitarnya. Teriakan-teriakan dari pengunjung di wahana. Dan balon anak kecil yang terlepas ke udara.

Ingatan kedua orangtuanya berdiri sembari melambaikan tangan, memanggil namanya, lantas hilang ditelan api.

Ngiing!

Watson memegang kepala, terduduk di tengah-tengah arena bermain seperti orang paranoid. Ingatan-ingatan itu mengganggu kepala Watson membuat kepalanya menjadi sakit.

"Kenapa... Kenapa memori itu tidak bisa hilang? Kenapa dia selalu mengangguku? Enyahlah dari kepalaku!"

Menangis? Tidak, Watson tidak akan melakukannya. Dia sebenarnya bukan takut atau pobia pada taman bermain. Watson hanya tak ingin mengingat bayangan kelam kedua orangtuanya hangus oleh api. Itu mengerikan.

Menangis? Tidak, Watson sudah tidak punya emosi untuk melakukannya. Dia hanya memiliki emosi marah, kehilangan emosi sedih.

"Dan." Aiden memanggil.

"Kamu, ya?" 

"Kamu menghilang, aku khawatir. Yang lain juga mencemaskanmu."

Watson berdiri, wajahnya tetap datar. "Maaf, aku agak emosional. Aku tak memprediksikan bahwa alamatnya di tempat yang kubenci—"

Aiden menggenggam tangan Watson. "Sesulit itukah mengakuiku, Hellen dan Jeremy? Apa kamu tidak mempercayai kami? Jangan samakan aku dengan temanmu. Aku adalah aku. Aku adalah Aiden. Aku punya cara sendiri untuk peduli padamu. Kumohon, aku tidak ingin kamu terus menghindar dan tidak menganggap dirimu bukan bagian kami."

"Sejauh mana kamu menguping..." Watson mengantuk. Narkolepsi-nya kambuh.

*

Hotel Hondlon, setengah sembilan malam.

"Padahal kalian teman masa kecil, kenapa kamu justru membawanya ke tempat yang dia takuti? Harusnya kamu paling tahu tentang Watson! Apa kamu benar-benar temannya?" bentak Jeremy marah.

Lupin menghela napas pendek, tidak bisa mengelak. Itu memang salahnya. "Maaf," hanya itu yang bisa Lupin ucapkan.

Faenon yang tidak terima Jeremy menyudutkan Lupin, turun tangan. "Permisi, aku tidak ingin ikut campur karena tidak tertarik. Tapi yang dilakukan Matrix adalah demi kebaikan teman kalian sendiri. Mungkin caranya salah dan terbilang kasar, namun sepertinya Lupin harus bersikap begitu dikarenakan sifat batu seseorang."

"Bagaimana cara Watson melawan traumanya jika kalian terlalu terburu-buru?" cetus Hellen ikut andil. "Yang ada dia akan makin terjebak di masa lalunya."

Faenon terkekeh. "Jangan mengajariku. Aku ahli psikolog. Cita-citaku menjadi seorang psikiater. Dan mungkin saja, aku akan jadi psikiater teman kalian."

"Apa katamu?!" Hellen menahan gerakan Jeremy, menggelengkan kepala.

"Isla..." Lupin mendesah. "Berhenti."

"Why?" Faenon melipat tangan ke dada. "Lagi pula aku benar, kan? Melihat kepribadian anak ini cenderung melarikan diri tanpa mencoba, aku yakin seratus persen dia takkan pernah melawan ketakutannya itu. Dia takkan pernah keluar dari belenggu masa lalunya. Aku salah menyuruhmu menggunakan kelembutan."

"Lalu apa? Kalian akan menggunakan kekerasan untuk membuat Watson terbebas dari masalahnya? Kamu serius akan menjadi psikiater?" Hellen maju selangkah ke depan Faenon. "Kelembutan, kesabaran, adalah poin-poin yang dimiliki psikiater. Jika dia tidak bisa sabar dalam menghadapi pasien gangguan jiwa, dia akan berhenti. Jika dia tidak memiliki hati yang tulus dalam merawat pasien, maka dia gagal menjadi psikiater. Catat itu."

Faenon mengepalkan tangan. "Kalian pikir kalian siapa? Matrix lebih dulu mengenalnya. Jangan sok tahu. Kalian itu masih baru. Bahkan dia belum mengakui kalian temannya."

"Isla!" Lupin memegang tangan Faenon, menatap kesal. "Kubilang sudah cukup."

Faenon menepis tangan Lupin. "Harusnya kamu mempersalahkan ini, Matrix. Kamu mau sahabatmu dicuri? Oh, atau kalian cuman sekadar reuni teman sekelas biasa? Aku masih ingat keantusiasanmu saat membicarakannya!"

"Sudah kubilang berhenti!"

"Keluar."

Satu kata mengintimidasi itu menggetarkan ruangan. Semua pasang mata menoleh ke oknum yang menyampaikan kata tersebut.

"Kalian berisik, Dan bisa bangun. Jadi keluar." Aiden mengulang perkataannya lebih jelas.

Jeremy tersenyum. "Dengan senang hati, Tuan Putri. Kami dalam perintah Anda."

Hellen mengangguk setuju. "Perutku menangis dari tadi minta diisi."

"Bareng yuk."

"Tidak mau."

"Hellen jahat!"

Rox pihak netral, mundur ke belakang, mengekori langkah Jeremy dan Hellen. "Aku ikut dong, guys."

"Siapa kamu, hah? Minggir!"

Kini, tinggallah Aiden, Lupin dan Faenon di dalam kamar.

"Kalian tidak mau keluar?"

Faenon mengangguk. "Ya, tentu aku akan keluar. Aku juga tidak mau berada di sini. Sepertinya kamu sangat peduli pada orang yang sama sekali tidak menganggap keberadaanmu. Kamu sudah buta oleh rasa ingin tahumu."

"ISLA!"

Aiden menghela napas pendek, menatap Faenon datar. "Aku sadar, aku hanya orang baru di hidup Dan. Orang yang tidak penting. Orang yang memaksanya kembali ke hobinya. Yang bukan siapa-siapa tapi main masuk ke privasinya," katanya pelan. "Tetapi aku melakukan itu bukan karena penasaran. Aku melakukannya dengan tulus. Hatiku yang membuatku melangkah untuk membantu Dan mengangkat bebannya."

"Suatu hari nanti, kamu akan menyesal."

"Tidak, tidak sedikitpun. Karena itu adalah Dan, aku mau melakukannya."

Lupin tertegun. Aiden mengatakan kalimat yang sama dengan seseorang.

Because it's Watson, i want to do it.

Terkekeh dalam hati, Lupin beralih menatap Watson yang tertidur. Kamu benar-benar beruntung. Aku iri padamu.






Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top