File 0.4.9 - Arrival of Magician Friend

Watson mengembuskan napas panjang. "Tak kusangka, latihan akting yang diajari oleh gadis itu berguna sekarang. Tidak sia-sia aku mempelajarinya."

Seolah baru terjadi kemarin, ingatan tentang-nya mengomel di depan Watson karena tidak pandai mengontrol ekspresi terlintas di benak. Gadis itu mengajari banyak hal pada Watson. Rasanya hendak bernostalgia.

Tetapi, tidak ada waktu untuk itu. Ini adalah akhir dari kebencian keluarga harga palu. Watson akan menyelesaikannya.

Oke, sudah cukup basa-basinya. Tangan Watson beralih mencari kontak nomor seseorang, lantas menekan tombol 'panggil'. Membutuhkan lima menit hingga panggilannya dijawab.

"Lupin, aku butuh bantuanmu."

Skip time.

>30 menit setelah klub detektif Madoka berpisah dengan Watson<

Jeremy, Hellen, dan Aiden akhirnya sampai di Panti Starnea. Tempat itu layak disebut bangkai gedung karena benar-benar sudah tidak bisa dihuni. Bahkan tulangan besi bangunan itu sudah berkarat dan bisa patah kapan saja.

Sekarang pertanyaannya, apa benar ini tempat Sherly dan gengnya mengurung anak-anak konglomerat itu? Di mana? Ruang bawah tanah? Bukankah gedung itu sudah tak nyaman? Bagaimana kalau keburu rubuh dan menimpa mereka semua?

"Apa kita harus memeriksa ke dalam?" ucap Hellen membuka suara, meneguk air ludah. "Atau kita panggil Inspektur Deon saja? Ini berbahaya menurutku. Kita butuh orang dewasa."

Alih-alih menjawab pertanyaan Hellen, Jeremy justru menoleh kepada Aiden yang sibuk sendiri. Dia mengkhawatirkan sesuatu.

"Ada apa, Aiden?"

Aiden menatap Jeremy, menundukkan kepala. "Apa Dan baik-baik saja? Aku cemas. Apa pamannya memarahinya karena tidak pulang semalam?"

Jeremy mengernyit. "Bukankah kamu sendiri yang memberitahu pamannya soal Watson akan menginap?"

"Tapi...! Aku tidak pernah melihat raut wajah Dan seperti itu!" Ini salah Aiden karena terlalu memaksa Watson pada setiap kasus yang mereka urus.

Jeremy menghela napas. "Kalau begitu kita harus cepat-cepat menyelesaikan kasus ini dan menanyakan kabarnya."

Aiden mengangguk. Wajahnya serius.

Sebelum mereka masuk ke dalam gedung, terdengar bunyi sirine ambulans. Mereka bertiga serempak menoleh ke jalan raya. Mobil itu melesat pergi ke gang yang mereka lewati. Persimpangan jalan kediaman Teavi.Apa yang terjadi? Apakah ada seseorang terluka? Tapi arah itu kan...

"Apa yang kalian lakukan di sini, Nak?" celetuk seorang nenek-nenek berambut penuh dengan uban nan memakai pakaian cerah. "Di sini tidak aman. Tidak ada yang boleh masuk ke dalam gedung itu."

Jeremy mengernyit. "Maksud Nenek?"

Beliau menunjuk sebuah spanduk. "Kalian tidak lihat itu? 'Dilarang masuk, gedung sudah terlalu tua'. Sebenarnya bangunan ini akan diruntuhkan sejak lama. Tetapi ditunda terus karena semua orang sibuk dengan Si Maniak Anak. Pergilah sebelum kalian celaka."

Maksudnya CL? batin mereka bertiga kebetulan memikirkan hal yang sama.

"Begini, Nek, apa Nenek tidak melihat ada yang keluar-masuk dari gedung ini?" Jeremy mencoba menjelaskan tujuan mereka secara singkat dan hati-hati. Dia tidak mungkin umbar rencana mereka pada orang tua berumur.

Beliau menggeleng tidak mengerti. "Tidak ada yang boleh masuk ke sini, Nak. Kecuali mereka ingin membuang nyawa dan bunuh diri. Tempat ini sama sekali tidak aman. Saran Nenek, lebih baik kalian segera pergi. Kalian tidak lihat keretakan di dinding-dinding gedung? Tidak ada siapa-siapa di dalam sana."

Mustahil! Watson sendiri yang bilang Sherly menyekap anak-anak itu di Panti Starnea! Dan penjelasannya juga masuk akal! Tapi melihat cara bicara Nenek beruban itu, tidak ada untungnya juga beliau berbohong. Apa mungkin Watson yang berbohong di sini?

Tetapi untuk apa Watson berbohong? Tidak, yang benarnya, kenapa Watson membohongi mereka? Bukankah dia dipanggil pamannya dan menyerahkan kasus ini pada Jeremy dan yang lain?

Aiden tiba-tiba tertegun. Dia teringat perkataan Watson tadi malam. Percakapannya dengan Hellen yang didengarkan oleh Aiden secara diam-diam. Mengepalkan tangan, Aiden menggigit bibir. "Kembali ke rumah Via!"

"Eh?" Jeremy dan Hellen saling tatap.

"Dan dalam bahaya!"

Mobil ambulans tadi buktinya.

*

>10 menit sebelum Jeremy, Aiden dan Hellen mengetahui kebohongan Watson<

Tap! Tap! Tap! Watson berdiri di ruang tamu dengan wajah super datar. Dia melihat Nyonya Teavi sedang mengelap meja.

"Ah, kamu kembali lagi, Nak Watson?" ucap beliau ramah. "Apa ada yang ketinggalan-"

"Kamu tidak perlu berakting," sela Watson tanpa ekpresi. "Aku sendiri. Aku sudah menyuruh teman-temanku pergi agar bisa membereskan seorang diri karena ini menyangkut harga diriku sebagai fans Holmes. Hei kamu, temannya Sherly, Late."

Deg! Beliau tampak syok dengan perkataan Watson. "A-apa yang kamu bicarakan? T-tante sama sekali tidak paham."

Wush! Bola mata wanita itu terbelalak saat Watson menghamburkan belasan foto ke mukanya. Itu adalah foto Sherly, Renee, Arve dan Late. Dia dapat melihat aura berbeda dari Watson. Wajah datar tiada mimik, mata biru yang gelap, dan tatapan aneh yang berat membuat seluruh tubuhnya lemas.

"Detektif biasanya hanya memperhatikan hal-hal yang tidak bisa dilihat oleh orang biasa. Mereka jarang menyadari hal mencolok karena terlalu fokus pada hal kecil tersebut," gumam Watson menunjuk meja di sampingnya. "Nyonya Teavi sebenarnya kidal. Dilihat dari foto-foto yang diambil dari sudut kiri ini membuktikan bahwa dia mengambil foto dengan tangan kiri. Aku hampir saja tidak menyadari ada hal yang lebih jelas di sini karena pola pikirku sama seperti detektif-detektif yang kumaksud."

Watson mengepalkan tangan, marah sekali. "Berani sekali kamu memampang foto asli tanpa editan. Apa kamu pikir tidak ada yang sadar wajahmu dengan wajah Nyonya Teavi asli? Kamu memanfaatkan fakta bahwa detektif hanya memperhatikan hal aneh lalu duduk menemui kami dengan amat percaya diri. Kamu meremehkanku?"

Nyonya Teavi, tidak, Late tertawa terbahak-bahak. Mencoba tidak terintimidasi. "Hahaha! Hebat sekali, Watson! Kupikir kamu takkan memperhatikannya karena menurutku semua detektif itu sama. Tetapi tunggu, bukankah kamu sendiri yang bilang kamu bukan detektif? Kamu hanya fans Holmes? Kenapa kamu marah begitu?" Selagi mengulur waktu, tangan Late sudah memegang ponsel, memanggil seseorang.

"Aku marah karena aku menyukai Holmes. Kamu orang pertama yang meremehkan idolaku. Jadi, aku takkan memaafkanmu. "Akan kulempar kamu ke peti busuk bernama penjara."

"Lalu apa? Kamu berniat ingin melawanku seorang diri tanpa pengawalmu itu? Si Aiden?" Late terkekeh remeh. "Kami tahu semua tentangmu, Watson. Kamu tidak bisa berkelahi atau membela diri. Kamu lemah seperti kertas. Dan kamu hendak mengalahkan kami sendirian tanpa teman-temanmu? Apa kamu mau jadi pahlawan penegak keadilan?"

"Pertama, Aiden bukan pengawalku. Kedua, mereka bukan teman-temanku. Kami hanya sebatas murid yang kebetulan memasuki klub yang sama. Kenapa? Karena aku belum mengakui mereka. Ketiga, aku tidak mau jadi pahlawan atau apa pun itu. Alasan aku datang kembali ke sini tanpa mereka adalah harga diriku sebagai fans Holmes." Watson tersenyum miring. "Dan, sepertinya aku harus mengoreksi kalimatku tadi. Aku tidak datang sendirian."

Late gugup. "Apa maksud—brak!"

Belum genap Late menyudahi kalimatnya, sudah terbanting dua orang dari luar pintu yang menjaga dari tadi. Pintu tersebut patah karena dorongan yang kuat. Itu adalah Arve dan Renee!

Seseorang berambut merah masuk ke dalam, mengacak-acak rambutnya.

"Geez, didn't you know I was performing magic? You interfered at the wrong time, Watson. I hope there is an appropriate payment for this."

"Kamu melakukan pertunjukan sulap lagi? Tidak kapok-kapok semua sulapmu itu terbongkar olehku?" Watson berkacak.

"Itu dulu," ucap remaja laki-laki yang sama tinggi dengan Watson itu. Rambut merahnya terlihat menawan. "Sekarang kamu tidak bisa membongkar trikku lagi, Watson. Aku sudah belajar keras selama setahun." [Lupin Matrixcube, 16 tahun.]

"What ever you say."

Lupin beralih menatap Late yang mencemasi dua temannya. "Dia bosnya? Perempuan? Wow, how cute. Kamu tahu, At, mereka berdua lemah banget. Sekali terjang langsung pingsan. Apalagi bosnya seorang cewek."

"Bukan dia," ralat Watson menggelengkan kepala. "Kamu lihat ada papan bundar di taman? Mungkin itu adalah pintu masuk ke ruang bawah tanah rumah ini. Semua tawanan berada di dalam sana bersama bos yang sebenarnya."

Lupin menengok ke luar, memicingkan mata ke arah taman. Banyak bunga-bunga tertanam di tepi-tepi rumah tetapi terdapat lebih banyak bunga di tengah-tengah taman. "Ouh, kamu benar. Ada yang menonjol di taman. Tapi bagaimana kamu tahu itu pintu basemen? Secara itu ditutupi bunga dan rumput."

"Simpel," sahut Watson mengedikkan bahu. "Hanya tempat itu yang ditimbun oleh pot bunga. Kupikir ada sesuatu tersembunyi di sana."

Lupin tersenyum jengkel. "Seperti biasa, Detektif, otakmu memang tidak ada tandingannya."

Orang-orang akan terlihat menyeramkan jika menyeringai, namun beda dari Watson. "Tenagamu juga seperti biasa, Lu."

Late berdecih, kabur dari ruang tamu meninggalkan Arve dan Renee yang terdengar.

"Oh, dia kabur." Lupin bersiul santai. "Kejar nih? Tapi aku pantang melukai anak perempuan."

"Tidak. Tugasmu menyelamatkan sandera." Watson menggeleng. Dia menatap Arve dan Renee yang bonyok oleh Lupin. "Kamu ikat mereka. Biar aku urus sisanya. Pastikan semua sandera aman dan panggil polisi serta pihak keluarga. Semuanya ada di ponselku. Satu lagi, pemilik asli dari kediaman ini pasti juga dikurung di suatu tempat. Temukan mereka."

Lupin menarik lengan Watson sebelum dia mengejar langkah Late. "Woi woi, yakin nih kamu bisa sendiri? Dua anak ini saja menyimpan revolver. Mereka mungkin membawa benda yang lebih berbahaya. Aku tahu persis tabiatmu, At, kamu tak bisa berkelahi."

Watson melepaskan pegangan Lupin. "Dan kau tahu persis aku benci orang yang menantangku. Awalnya aku hanya diseret dalam situasi ini, aku sama sekali tidak tertarik. Tetapi mereka meremehkan idolaku. Jadi, aku takkan melepaskan mereka dan mengurus mereka dengan caraku sendiri. Kamu sudah cukup membantuku."

"Tapi, At, tetap saja aku khawatir! Kamu pikir sudah berapa tahun kita berteman." Lupin masih bersikukuh.

"Kamu urus saja yang kusuruh," seru Watson menghilang dari ruang tamu.

Lengang sejenak.

Lupin mendesah panjang. "Hadeuh! Anak itu kebiasaannya dari dulu tidak hilang-hilang."

*

Brak! Watson terkesiap melihat Sherly sedang menjambak rambut Via. "Berhenti!"

Via menoleh lemah menatap Watson. Wajahnya babak belur. Belum lagi bercak darah kering di keningnya. Mereka berempat benar-benar menyiksa Via.

Sherly melempar Via ke belakang. "Yo, Detektif-ku yang cemerlang! Sudah lama tak bertemu, eh, tidak juga. Sekitar dua hari? Apa kamu rela begadang demi mencariku? Ah, aku sungguh tersipu."

"Hentikan sekarang juga, Sherly. Sebentar lagi polisi akan datang dan mengepung tempat ini. Sudah tidak ada tempat untukmu melarikan diri. Menyerahlah dan serahkan dirimu baik-baik tanpa perlawanan!" ucap Watson setengah bersorak. Duh, dari dulu juga si Watson susah berteriak-teriak.

Sherly terpingkal, menertawakan ucapan Watson. "Polisi akan datang? Aku tidak bisa kabur lagi? Aku tidak peduli itu. Yang kupedulikan sudah datang sendiri ke sini."

Grak! Watson spontan menoleh ke belakang. Pintu masuk ke ruangan sudah ditutup oleh Late. Gadis itu menyeringai.

Yah, Watson sudah menduga ini akan terjadi. Makanya dia siap menanggung resikonya. Toh, ini bukan pertama kali Watson berduaan dengan pelaku dari sebuah kasus. Dia sudah sering berada dalam bahaya.

Sherly melangkah menghampiri Watson, memutarinya. "Kamu tahu? Sejak pertama masuk ke ruang klub, aku sudah melihat perbedaanmu dengan tiga temanmu yang lain. Aura detektifmu terasa sangat jelas dan pekat. Itulah kenapa aku tertarik—"

"Kamu sebenarnya masih menyayangi Via, kan? Kamu sudah menganggapnya seperti adikmu sendiri." Watson memotong dengan suara datar.

Sherly menaiki satu alis ke atas. "Hah? Apa yang kamu bicarakan—"

"Via mengajarkanmu tidak berbohong. Makanya kamu terlihat payah sekali saat mencoba mencari alasan karena kamu tidak bisa. Semua yang kamu lakukan adalah pelajaran dari Via. Kecuali teknik mencuri itu, kamu mempelajarinya dari orang di belakangku," papar Watson menunjuk Late.

Late tersentak kemudian tergelak. "Kenapa kamu bisa tahu?"

"Tanganmu lincah," gumam Watson mengingat-ingat. "Kamu memasukkan obat tidur di gelas jus punyaku, kan? Sayang sekali, aku membuangnya begitu keluar dari rumah. Dan aku harus berterima kasih pada Aiden karena tidak membuatku membuka mulut."

Late terkekeh mendengarnya. "Oh, jadi itu yang membuatmu meludah."

"Kalian melihat semuanya dari CCTV," ujar Watson mengusap muka. "Apakah itu kerabat keluarga Teavi atau orang lain yang berhubungan dengan pemilik rumah. Atau, untuk melihat apakah kami sudah datang atau belum. Apa aku salah?"

"Tentu saja." Sherly mengeluarkan nametag Watson, tersenyum jahil. "Karena aku sudah menunggumu."

Watson menghadap ke Sherly, menatapnya lekat. "Kenapa kamu melakukan ini? Kenapa kamu membuli temanmu sendiri? Tidak, bukan. Kamu berusaha untuk menyelamatkan Via, kan?"

Sherly semakin terbahak. Apa maksud Watson menebak Sherly ingin menyelamatkan Via? Apakah dia tidak lihat bagaimana keadaan Via sekarang? Sudah setengah hancur begitu.

"Mengaku saja," ujar Watson menghela napas pendek. "Tadinya kupikir kamu hanya batuk untuk menstabilkan suaramu. Tak kusangka yang kamu telan saat itu sebenarnya adalah anting-anting. Aku menyadarinya ketika melihat foto Tuan dan Nyonya Teavi."

Deg! Sherly refleks menatap ke depan.

"Aku melihat anting yang sama dipakai oleh Via di salah satu fotonya bersama Nyonya Teavi," lanjut Watson mengingat pengamatannya selama bersama Aiden dan yang lain. "Tetapi Via hanya memakai satu anting. Di mana anting yang satu lagi? Siapa lagi yang menyimpannya kalau bukan kau. Aku tidak akan sadar jika kamu tidak menyibak rambutmu saat mencari akal membohongi kami. Kamu hanya memakai satu anting-anting."

Late terdiam. Apa-apaan ini?

Sherly mengepalkan tangan. "Jangan sok tahu sialan—"

"Alasan sebenarnya kamu meminta tolong pada kami adalah demi menyelamatkan Via, kan? Mereka bertiga menargetkan Aiden dan tidak mau mengambil resiko lantas menjadikan Via sebagai umpan agar kamu datang ke Madoka demi mendapatkan profil Aiden dari dekat."

"Diam. Diam. Diam. DIAM! BERISIK!" pekik Sherly emosi. Sementara yang diteriaki hanya memasang wajah triplek.

Di luar gedung, terdengar suara raungan sirine mobil polisi. Late bergegas keluar meninggalkan mereka berdua untuk memeriksa.

Sherly menatap Watson bengis, menarik sebilah pisau, mengarahkannya ke depan wajah Watson. "Tahu apa kamu soal hidupku? Kamu hanya orang yang kebetulan bernasib sama denganku. Kamu kehilangan orangtuamu, kan? AKU TAHU SEMUA TENTANGMU WATSON! KITA SAMA! ORANGTUAKU KECELAKAAN SAAT MEREKA MENINGGALKANKU! KITA SAMA-SAMA TIDAK PERNAH MERASAKAN KASIH SAYANG! IRONIS BUKAN?"

"Tidak. Kamu tidak tahu apa pun tentangku. Jangan berlagak akrab. Setidaknya, walau sebentar, aku diberi kasih sayang yang cukup sebelum ajal menjemput mereka. Kamu hanya anak menyedihkan yang mengemis perhatian, merebut keluarga orang. Siapa yang mau mengadopsimu?"

Grep! Sherly mencekik Watson. Mereka berdua jatuh ke bawah dengan posisi Watson di bawah dan Sherly di atasnya, mencengkeram lehernya.

"Aku sudah melakukan yang terbaik," ucap Sherly memperkuat cengkeraman tangannya. "Membersihkan halaman, toilet, menyediakan makanan untuk anak-anak di bawah kami, kegiatan amal dan sebagainya. AKU MELAKUKAN ITU SEMUA DENGAN BAIK!"

Watson memegang tangan Sherly, mencoba melepaskan diri. Tes! Tes! Tes! Dia tersentak saat merasakan bulir air mata menetes ke pipinya.

"Lalu apa...?" isak Sherly menangis. "Aku tetap tidak mendapat orangtua. Dan kenapa justru Via yang mendapatkannya? Kenapa? Apa karena aku serakah? KENAPA HARUS DIA! KENAPA TIDAK AKU! AKU SUDAH MELAKUKAN YANG TERBAIK! KENAPA AKU TIDAK DIADOPSI!"

"Karena kamu mengharapkan hadiah."

Sherly berhenti terisak, terpaku.

"Via melakukan kegiatan itu dengan hati yang tulus karena dia menginginkan orang-orang nyaman dan bahagia. Tapi kamu? Kamu hanya mempedulikan imbalan dari hasil pekerjaanmu. Meskipun aku mendapat informasi itu dari temanmu Late, kupikir dia tidak sembarang mengarang sejarah. Apa aku salah, Via?"

Via beranjak bangkit. Kakinya diborgol oleh rantai. Air matanya berderai. "Itu benar, Lily! Semua yang dikatakannya benar! Apa kamu tidak tahu seberapa kesepiannya diriku saat aku dan kamu dipisahkan? Apa kamu tidak tahu seberapa putus asanya aku saat mereka menolak mengadopsimu? Aku memaksa keluarga baruku untuk mengangkatmu juga! Aku bahkan mengancam menolak ajuan adopsi!"

"BERISIK! TIDAK ADA YANG MENGAJAKMU BICARA!" Sherly mengangkat pisaunya tinggi-tinggi. "Aku pikir kita sama, namun tidak ya? Kalau begitu aku tidak membutuhkanmu."

Watson mengapai apa pun yang bisa dia jadikan senjata. Sayangnya tidak ada benda di sekitar Watson.

Via menahan tangan Sherly yang hendak mengayunkan pisaunya pada Watson. "Jangan lakukan ini, Lily, kumohon! Aku tahu masih ada Lily yang kukenal di dalam sana! Jika tidak, kamu takkan menyelamatkanku malam itu!"

"Oh, Bos! Kamu sudah datang. Bagaimana penyelidikannya?" seru Late riang, melambaikan tangan.

"Lepaskan dia."

"Okey!" Renee menarik seuntai rantai besi yang terikat di leher seorang gadis ber-nametag Untavia. Dia nyaris tak bernapas. Pakaiannya kumuh.

Sherly mengepalkan tangan. "Kalian terlalu berlebihan. Kita sudah tidak membutuhkannya. Lepaskan saja dia—"

"Informasinya dulu, Bos."

"Kalian tidak percaya padaku?"

"Tentu kami percaya, ya, kan, guys?" ucap Renee mewakili Arve dan Late. "Tapi tidak ada jaminan kamu berbohong lho."

"Nyawa Via dalam bahaya."

Sherly mematikan hatinya. "Yah, aku juga tidak peduli sih."

"Kuperhatikan tadi, mereka tidak bertiga, kan?" sahut Arve yang duduk di atas tong sampah. "Hebat juga ya kita-kita bisa masuk ke Madoka dengan mudah."

Sherly mengangguk cepat. Hatinya separuh cemas terhadap kondisi Via yang terluka. "Mereka punya rekan yang jeli. Namanya Watson Dan," ucapnya mengeluarkan sebuah papan nama.

"Jadi? Siapa target kita?" ucap Arve, Renee dan Late bersamaan menatap benda tersebut. Melangkah lebih dulu. "Watson Dan? Nama yang unik."

Di luar pengetahuan mereka bertiga, Sherly tiba-tiba membungkuk dan memuntahkan sebuah anting-anting berlian. Dia berbisik pada Via, "Bodoh. Sudah kubilang, jangan berkeliaran. Kamu beruntung mereka tidak melihat antingku ini. Jika tidak, mereka akan tahu kita lebih dari orang kenalan dan bisa membunuhmu!" Sementara tangannya melepaskan rantai yang mengikat Via. "Tentu aja dia (Watson). Kita harus melenyapkan orang yang mengganggu."

"Sekarang pergilah dan jangan pernah bertemu denganku lagi."

"Kamu takkan menyelamatkanku malam itu!" Via berseru sekali lagi.

"BERISIK!" Sherly mendorong Via ke samping. "Orang beruntung sepertimu lebih baik mati saja! Kamu mendapatkan keluarga idaman yang kuinginkan selama ini secara instan! Kamu merebut milikku!"

"Instan katamu? Jangan mengatakan omong kosong," sela Watson di tengah-tengah kehabisan napas. Meski sudah di dalam keadaan tersudut, mukanya tetap datar. "Kamu pikir orang-orang ber-uang itu mendapat kekayaan begitu saja tanpa usaha dan kerja keras? Kamu pikir mereka bisa menjadi kaya tanpa proses? Kamu pikir hidup ini jackpot?. Itulah yang membuatmu tidak diadopsi. Kamu tidak melihat jerih payah dari usaha seseorang. Kau tidak mengoreksi diri."

Sherly menyeringai lebar. "Orang yang akan mati tidak perlu repot-repot menceramahiku. Semoga kita bertemu di neraka nanti."

Tunggu. Jika Watson mati, itu berarti Watson bisa bertemu dengan orangtuanya, kan? Daripada bunuh diri yang menghasilkan dosa, lebih baik orang lain yang mengambil nyawanya.

Watson melepaskan pegangan pada kedua lengan Sherly yang mencekik lehernya, berkata tanpa ekspresi, "Kalau begitu lakukanlah dengan cepat. Aku tidak akan melawanmu, justru aku berterima kasih karena sudah membunuhku."

Sherly menyeringai. "Wah, sepertinya kamu sudah menyerah berjuang sendirian. Baiklah jika itu maumu. MATILAH!"

"Tidak! Hentikan!"

Tiga detik sebelum pisau Sherly menusuk leher Watson, terdengar suara seruan kencang beriringan dengan pintu didobrak.

Watson tersentak.

Tubuh Sherly terbanting ke belakang. Hellen bergegas membantu Watson yang terbatuk-batuk. "Watson! Kamu baik-baik saja? Astaga, lehermu berdarah!"

Watson tertegun. Dia jadi lupa kondisinya sejenak karena bayangan yang melewatinya. Apa itu barusan? Angin? batinnya kikuk menoleh ke samping, lantas melongo mendapati Aiden sedang menghajar Sherly.

Bugh! Satu pukulan.

"Aku tidak peduli kalau aku yang disakiti."

Bugh! Dua pukulan.

"Aku tidak peduli jika aku yang terluka."

Hellen dan Watson beranjak bangkit.

Bugh! Tiga pukulan.

"Tapi tolong... Jangan Dan..." gumam Aiden kesal. Tangannya yang terkepal, bergetar. "Prinsip keluarga Eldwers: selalu melindungi orang-orang tersayang. Kamu melakukan kesalahan besar.

Watson terdiam. "Aiden..."

Hellen berlarian kecil, menghentikan pukulan Aiden, menjauhi gadis itu dari Sherly. "Sudah cukup, Aiden! Kamu bisa membunuhnya!"

"Lepaskan aku! Biarkan aku memukulinya sampai mati! Dia patut menerimanya!"

"AKU BILANG CUKUP! KAMU INI KENAPA?!" bentak Hellen tinggi. "Kamu ingin jadi pembunuh, hah?! Sejak kapan aku menyukaimu bermain kekerasan begini?"

"Aku bilang aku mau menghabisinya. Kamu tidak dengar? Lepaskan aku!"

"Sadarlah, Aiden! Masalah tidak akan selesai kalau kamu main tangan!"

"Aku bilang lepaskan!"

"Sudah cukup. Apa yang kamu lakukan, Aiden?" kata Watson berdiri di depan mereka berdua. "Kamu terlihat menyedihkan. Hentikan itu."

Aiden bangkit dan PLAK! Hellen ingin mencegah, namun dia telat. Itu tamparan yang cukup keras.

"Kenapa kamu berbicara seperti itu...?"

Keheningan menyambut sesudahnya.

Kasus itu ditutup pukul tujuh malam. Semua tawanan dipulangkan ke rumahnya masing-masing juga uang-uang hasil perasan. Pihak keluarga berterima kasih pada anggota klub Madoka, terutama keluarga Teavi yang disekap. Via harus menginap seminggu di rumah sakit. Tidak ada luka berat yang diterima oleh tawanan.

Renee, Arve, Late dan Sherly akan diberi hukuman yang pantas karena sudah merisak murid-murid. Mereka di-drop out dari Zoyelcy.

Sekarang, Kepolisian Moufrobi menaruh perhatian serta harapan berlebihan pada klub detektif Madoka untuk menangkap CL. Mereka bahkan bisa menangkap pelaku kasus kebencian Keluarga kaya. Departemen Penahanan memberi asuransi dan perlindungan penuh pada anggota klub. Nama klub detektif Madoka menjadi sorotan utama Kota Moufrobi.

Case closed.

Tetapi esoknya, terjadi masalah serius.

"Aku keluar dari klub detektif." Watson berkata datar, menyerahkan surat tanda berhenti pada guru yang bersangkutan.



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top