File 0.4.8 - A Big House Who Deserted
Kediaman Teavi.
Watson celingak-celinguk menatap sekitar. Rumah keluarga Teavi lumayan luas dengan taman bunga di sudut-sudut halaman menghiasi. Tidak ada garasi atau tempat parkir mobil. Sejauh ini halaman rumah Via benar-benar kosong.
Selain itu, rumah ini sepi sekali. Agaknya membutuhkan dua atau tiga pelayan untuk mengurusi kebun. Apa pemilik tidak menyewanya karena berhemat atau mampu merawatnya sendiri?
"Silakan masuk." Nyonya Teavi mempersilakan mereka berempat masuk ke dalam rumah. "Duduklah. Tante akan menyiapkan minuman."
Hellen masuk lebih dulu. "Permisi..."
Jeremy yang kedua dan terjadi sedikit masalah saat giliran Aiden.
"Kamu duluan," suruh Watson sembari masih memperhatikan halaman rumah. Tidak di luar maupun dalam, rumah ini kosong. Apakah hanya Nyonya Teavi yang menghuninya? Di mana kepala keluarga? Bekerja? Yang lainnya? Duh, ribet banget.
Aiden menggeleng, justru menyuruh Watson duluan. Dia tidak mau Watson tertinggal di belakang.
"Ladies First, Aiden."
Aiden tetap menggeleng.
Watson mengalah, masuk duluan. Kenapa sih si Aiden? Mood-nya jelek? Terus kenapa Watson jadi kena imbasnya?
Mungkin dia lagi lampu merah. Watson menukar fokus, menatap foto-foto yang terpajang di dinding. Banyak foto Nyonya Teavi bersama suaminya dan Via diambil dari sudut pandang kiri.
"Tingginya sekitar... 168 senti?" gumam Jeremy mengarang asal. "Dan anak ini... Via, kan? Dia manis juga."
Watson diam menyimak.
Yang disebut-sebut keluar dari dapur dengan membawa nampan berisi empat cangkir teh. Watson bergegas duduk di samping Hellen agar gerak-geriknya tidak dicurigai.
Nyonya Teavi meletakkan satu per satu cangkir dengan tangan kanannya. Lengan bajunya kebesaran. Atau dia sudah terbiasa memakai baju longgar? Tahu deh.
Hellen menyikut lengan Jeremy. "Ayo, mulai bertanya."
"Sabar kek!" Jeremy menarik napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya perlahan. "Kami detektif dari Madoka."
"Tante tahu. Tante pernah melihat wajah kalian di TV," ucap beliau ramah. Kepalanya tertoleh ke Watson. "Kecuali dia."
Semua orang menatap Watson.
"A-ah!" Jeremy gelagapan, hampir lupa Watson duduk di sebelahnya. "Dia anak magang di klub kami! Kami membawanya karena dia bosan di klub. Mana tahu dia berguna, hahaha."
"Begitu..."
Hellen menghela napas. "Begini, Tante, maksud kedatangan kami adalah kami ingin menanyakan tentang anak anda Untavia Teavi. Keluarga ini mengadopsinya lima tahun lalu, kan?"
Watson diam dengan wajah datar.
"Via dan Lily adalah teman baik di panti. Orang-orang di sana bahkan sampai menganggap mereka berdua adalah saudara. Via dan Lily sangat dekat dan saling membantu baik dalam suka atau duka. Kami sempat ragu hendak mengadopsi mereka berdua sekaligus."
Hellen melirik Jeremy, memberi kode untuk bertanya.
"Kami tahu ini privasi dan lancang, namun apakah kami bisa tahu, alasan kenapa Tante hanya mengangkat Via seorang?" tanya Jeremy hati-hati. "Ini demi kelangsungan hidup mereka berdua. Keberadaan Via bisa dilacak jika kami tahu masalah mereka."
Beliau menghela napas panjang. "Mereka berbeda. Via mempunyai keinginan untuk berubah dengan bekerja keras, tetapi tidak untuk Lily. Kami melihat perbedaan mereka sehari-hari sebelum mengadopsi. Via melakukan ini-itu untuk mendapat kesenangan setelahnya, bekerja tanpa pamrih. Dia melakukannya karena tulus ingin menolong. Namun Lily, dia mengharapkan imbalan. Selain Via, Lily takkan berniat menolong orang lain tanpa bayaran. Itulah yang membuat kami sadar bahwa mereka memang dekat tapi tak sama. Kami merasa jahat karena memisahkan mereka berdua, makanya setiap akhir bulan kami mengunjungi panti. Akan tetapi pada bulan Mei..."
"Apa yang terjadi?"
"Panti itu ditutup."
Tidak bisa. Watson masih tidak bisa. Petunjuknya terlalu sedikit. Dia tidak bisa membuat 'rancangan'. Apakah dia harus bertanya? Watson mengulum bibir.
"Apa Tante pernah melihat Sherly, maksudku Lily berteman dengan tiga orang?" celetuk Aiden tiba-tiba seolah membaca arti mimik wajah Watson. Hari ini dia melepas rambutnya (alias tidak memakai apa pun) karena mereka menginap di sekolah. Aiden tidak mungkin memakai ikat rambut yang sama.
Biasanya Aiden akan bertanya pada Watson dulu supaya dia bisa mewakilkan pertanyaan Watson. Tetapi berbeda untuk sekarang.
Benar juga. Hari ini Aiden seperti menghindariku. Ada apa dengannya? Watson menatap pemilik nama lamat-lamat. Yah, Watson tidak peduli sih.
Nyonya Teavi menggeleng. "Setelah penutupan panti, tidak ada kabar tentang semua penghuni di sana. Mereka menyebar, satu dua pindah ke luar negeri. Via memaksa mencari tahu riwayat hidup Lily, namun sia-sia. Tidak ada kabar tentang Lily. Kemungkinan Lily pindah ke kota lain."
Tidak, bukan begitu. Lily masih menetap di sini dengan nama yang berbeda yaitu Sherly Roroly. Watson menyesap teh panas yang disuguhi oleh Tante Teavi. Jadi begitu rupanya. Masalahnya ada pada penggantian nama. Yang tercantum di panti adalah nama Lily bukan Sherly. Makanya mereka tidak bisa menemukan biodata Sherly karena dia memakai nama lain. Ini semakin rumit saja.
Ng? Tunggu. Watson teringat sesuatu saat Sherly datang ke klub. Waktu itu, walau kelihatan menebak, Sherly bilang Via dari keluarga berada.
Watson beralih menatap sekeliling. Hal pertama yang dia lihat, perabotan rumah di kediaman ini tergolong tingkat atas. Ada TV besar di ruang tamu berlabel tak murahan. Akuarium besar, vas oriental, juga lukisan langka jarang diperjualbelikan. Itu berarti penghuni di kediaman rumah ini membelinya lewat pelelangan.
Apa benar Sherly hanya sekadar menebaknya waktu itu? Atau dia benar-benar tahu tetapi dia bertingkah tidak tahu karena takut dicurigai? Apa dia tahu Watson... Ah, ini amat memusingkan. Watson memijat kepala.
Jeremy izin pamit, membungkukkan badan hormat. Nyonya Teavi berharap mereka bisa menemukan Via, amat berharap. Jeremy hanya mengatakan, "Kami akan berusaha." Kemudian rombongan klub detektif Madoka itu berlalu.
"Ngapain kamu?" Jeremy bertanya ketus melihat Watson sedang meludah.
Sial. Apa yang harus kulakukan? Tidak ada kemungkinan si Trio menyekap anak-anak kaya itu di bangkai panti. Watson mengeluh, mengelap mulut yang belepotan. Dia tak sengaja menatap tiang listrik di wilayah sana. Ada CCTV menggantung di tiang tersebut.
Mereka biasanya memerlukan waktu 4-5 jam untuk merundung orang.
Di bawah pohon sebelah klub kita ada jejak kaki sepatu pentofel untuk cewek.
Watson memukul bahu Hellen lima kali.
"Hei, sakit tahu!" bentak Hellen kesal.
"Coba cari tradisi Zoyelcy. Cepat!" Watson menyuruh setengah berseru. Hellen dan Jeremy sempat saling tatap sebentar, lalu buru-buru mengeluarkan ponsel dari saku. Tatapan Watson masih tertuju pada CCTV.
Aneh. Watson menatap tiang-tiang lain. Kenapa hanya tiang itu yang ada CCTV sementara tiang lain tidak? Juga, posisi CCTV itu hanya mengarah pada rumah Via. Tukang eletronik waktu memasangnya ngelindur, ya?
Aiden tidak bersuara. Dia lebih fokus memperhatikan Watson tak peduli ke arah mana Watson memandang. Pikirannya hanya tentang Watson, sama sekali tidak memikirkan alur kasus. Aiden tidak fokus pada kasus.
Watson tersentak, menoleh kepada Aiden. Gadis itu secepat kilat memalingkan wajah. Sebuah tanda tanya besar melekat di kepala Watson. Barusan Aiden sedang melihatnya, kan?
Makin hari makin misterius saja. Watson merinding pucat. Tetapi dia harus berterima kasih nanti.
"Zoyelcy adalah sekolah menengah sederhana yang menerima segala jalur pendidikan," ucap Hellen membaca halaman tentang Zoyelcy sesuai permintaan Watson. "Sekolah ini menampung—"
"Aku tidak tanya sejarahnya," sela Watson menggelengkan kepala. "Pakaian. Bacakan aturan pakaian di sekolah itu."
"Oh," Hellen meng-scroll layar ponsel. "Murid perempuan diwajibkan memakai rok di atas lutut, tak boleh lebih. Lalu harus mengenakan kaus kaki panjang yang menutupi seluruh kaki dan memakai sepatu pentofel shoes uniform s-01. Wajib."
Begitu. Begitu ya. Watson melirik jam tangan. Mereka berempat memang dari Zoyelcy. Dan jika dia tak salah menghitung, jarak tempuh Zoyelcy ke kediaman Teavi memakan waktu 4-5 jam. Inilah yang dimaksud Sherly sebenarnya.
"Woi Watson, kenapa wajahmu makin datar begitu? Kesurupan?" Jeremy melambai-lambaikan tangan ke wajah sherlock pemurung itu.
"Aku tahu di mana tempatnya."
DEG! Jeremy dan Hellen tertegun. "Apa?! Secepat ini?! Di mana?!"
Watson menoleh pada Aiden. Dia memang aneh hari ini! Biasanya yang paling antusias jika Watson menemukan pemecahan kasus, namun kenapa dia diam dari tadi? Aiden hanya memperhatikan Watson sejak pagi.
Ini membuat Watson semakin merinding. Apa dia melakukan sesuatu yang membuat Aiden marah? Atau karena Watson meludah di tempat orang lain? Tetapi yang tadi itu Watson tidak meludah kok.
"Di mana tempatnya, Watson?" tanya Jeremy dan Hellen sekali lagi.
"Panti Starnea," kata Watson mantap. "Mereka mengurung anak-anak konglomerat itu di sana, termasuk Via."
"Kalau begitu kita harus ke sana sekarang juga! Kita tidak boleh membuang-buang waktu lagi." Jeremy dan Hellen (Aiden menyusul) sudah berlari lebih dulu, tetapi Watson tidak bergerak dari tempatnya. "Lho? Ngapain kamu astaga! Kita dikejar waktu, Watson!"
Watson menurunkan tangannya yang memegang ponsel. Ekspresinya suram.
"Ada apa?" Hellen bertanya.
"Kalian pergilah dulu," gumam Watson membelakangi mereka bertiga, menggenggam erat ponsel.
"Hah? Kenapa tiba-tiba kamu—"
"Pamanku menelepon."
Dua kata itu berhasil membuat Jeremy, Aiden dan Hellen diam. Ah, sepertinya ini masalah pribadi. Mereka dengar hubungan Watson dengan pamannya kurang baik. Lebih baik mereka tidak usah ikut campur.
Jeremy menghela napas berat. Setidaknya mereka sudah tahu lokasi TKP. "Baiklah. Kami akan menghubungimu setelah semua ini selesai. Urus masalahmu dengan baik, Watson. Sampai jumpa besok!"
Hellen melambaikan tangan. Aiden menatap Watson khawatir sebelum akhirnya dia mengikuti langkah Hellen dan Jeremy.
Watson berdiri di jalan raya dengan tatapan kosong. Sendirian.
"Bercanda." Dia memejamkan sebelah mata sambil mencibir datar.
Tidak ada panggilan masuk dari ponselnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top