File 0.4.4 - Who is The Real Client?
ZOYELCY JUNIOR HIGH SCHOOL
"Maaf? Bisa tolong Anda katakan lagi?" ulang Jeremy setengah tak percaya.
Saat ini keempat anggota klub detektif Madoka berada di Zoyelcy, TKP kasus Via. Jeremy bertanya pada guru wali kelas Via perihal masalah Via dan Sherly (dibuli). Akan tetapi, mereka mendapat jawaban di luar dugaan.
"Tidak ada murid bernama Untavia Teavi di sini. Juga Renee, Late, dan Arve." Ghani Gaaran, selaku wali kelas, mengulang perkataannya lebih jelas. "Tampaknya kalian salah sekolah."
Watson bergumam. Bagaimana bisa tidak ada Via di sini? Bukankah Tia sendiri yang mengatakan dia sekolah di Zoyelcy? Lantas apa-apaan ini. Dia salah menyebut alamat?
Watson sudah menduga, ada yang salah dengan kasus ini. Via bukan klien biasa, dia menyimpan sebuah rahasia. Via menipu mereka semua. Syukurlah Watson tidak terlalu menaruh kepercayaan pada Via.
Jeremy membungkukkan badan, mengucapkan terima kasih pada Ghani. Mereka beranjak keluar dari sekolah tersebut, tidak mau mengganggu PBM. Percuma mereka datang ke sana. Membuang-buang waktu.
"Apa kita coba telepon Via saja?"
Jeremy memutar bola mata malas. "Setelah melihat ini, kamu masih mempercayainya? Aku berani bertaruh dia mengganti nomor ponsel atau pergi jauh. Mereka mempermainkan kita. Menyebalkan!"
Aiden berdecak kesal. Mood-nya jelek. "Kalau ujung-ujungnya Via menipu kita, buat apa dia repot-repot mendatangi Madoka? Bagaimana dengan Sherly?"
Jeremy menggeleng tidak tahu.
"Dan, bagaimana menurutmu?" Aiden menoleh kepada Watson yang malah asyik dengan dunianya sendiri.
"Coba kita lihat." Watson mengusap-usap dagu. Mulai berpikir. Jika mereka bukan murid Zoyelcy, siapa mereka sebenarnya? Padahal Via jelas-jelas memakai seragam sekolah ini. Apa itu baju pinjaman atau curian? Hmm, membingungkan.
Apa benar Via dibuli ? Tidak, tidak. Via bersekongkol melakukan pembulian itu. Mungkin saja Sherly menjadi target serta sandera mereka saat ini. Lalu kenapa dia tampil di depan klub detektif Madoka dengan keadaan babak belur? Apa dia mau mencari perhatian atau membuat mereka percaya akan kebenaran keluhannya?
Tak sengaja Watson menyentuh seragam sekolah."Ng?" Watson meraba-raba dada, menyadari ada yang hilang. "Lho? Di mana nametag-ku?"
Ketinggalan di rumah? Tidak. Watson tidak pernah melakukan hal ceroboh sepele. Watson termasuk murid teladan dan disiplin, tidak mau dicap buruk oleh para guru. Ke mana perginya papan namanya?
"Hei, Dan! Tolong jangan abaikan kami sesekali bisa tidak?" Aiden bersedekap tangan, menatap Watson tajam. Bisa-bisanya Watson tak peduli setelah ditipu oleh klien mereka sendiri.
Watson tidak menjawab, sibuk memperhatikan lantai. Mungkin jatuh. Dia harus buru-buru menemukannya sebelum pergi dari Zoyelcy.
Tiba-tiba Watson tertegun, berhenti membungkuk. Tapi kan cara pemakaian nametag susah. Tidak mungkin jatuh begitu saja, batinnya menghela napas kasar. Hari ini kesialan menimpanya secara beruntun.
"Mencari apa kamu?"
"Ah, tidak. Nametag-ku hilang."
Hellen tersentak melihat noda bedak di lengan kemeja putih yang dikenakan Watson. "Apa tuh warna ungu di bajumu?"
"Eh? Di mana?"
"Di lengan sebelah kanan."
Oh, benar. Ada noda berwarna ungu kehitaman serta pink tercetak di sana. Bertambah lagi kesialan hari ini. Noda itu kelihatannya mesti diberi pemutih supaya bisa hilang. Dari mana noda itu berasal? Kenapa bisa lengket di baju Watson?
Seingat Watson, kemarin dia langsung pulang ke rumah tanpa melakukan apa pun di luar. Cat-cat dinding di rumah Watson tidak ada yang basah. Kenapa Watson baru tahu soal noda itu? Ini menyebalkan!
Grep! Aiden tanpa peringatan mendadak mendekati Watson, memegangi lengannya. "Apa ini? Kamu diam-diam ternyata nakal juga ya, Dan," ucapnya menggoda.
Watson menaikkan satu alis ke atas, bingung. Dia menepis tangan Aiden. "Apa sih? Aku anak baik-baik."
"Ini buktinya! Ini pasti make up wanita." Aiden menunjuk-nunjuk lengan kemeja Watson dengan mata kesal. "Cih, kupikir kamu jomblo seperti kami. Sia-sia aku perhatian."
Watson dan Jeremy saling tatap. Gadis ini sedang membicarakan apa?
Hellen menempeleng kepala Aiden sebelum dia kembali berceloteh tanpa rasa malu, menarik Aiden ke belakang, lantas berbisik, "Kamu ini bicara apa di depan laki-laki!"
Aiden membuang muka, mengelus kepala berkat ulah Hellen. Bersungut-sungut. "Aku hanya menyampaikan isi kepalaku saja! Salahnya terang-terangan seperti itu. Kalau sudah punya pacar ya... diam-diam kek."
Hellen mendesah tak percaya. "Jangan bilang... Kamu sedang cemburu, Aiden?"
Terbelalak dituduh demikian, Aiden spontan memutar kepala. "Apa? Kamu bercanda? Aku cemburu? Tidak. Mungkin. Aku. Cemburu. Lagian cemburu itu berlaku pada seseorang yang punya perasaan suka," katanya menekankan setiap kalimat.
"Itu terjadi sekarang," celetuk Hellen tersenyum jahil. Dia menyikut lengan Aiden, melirik Watson lewat ujung mata. "Aish kamu ini, boleh juga tipemu. Bilang kek dari kemarin-kemarin."
"Hei, jangan langsung menyimpulkan, Hellen!" sanggah Aiden menggeram. Pandangannya berubah ke arah Watson. "Siapa yang suka sama siapa..."
Angin sepoi-sepoi mengembus rambut Watson. Bayangan Watson tersenyum terlintas di benak Aiden.
Badumb! Badumb!
Merasa diperhatikan, Watson menoleh.
Aiden refleks memutar kepala ke samping, menutup muka yang memerah. Jantungnya berdetak kencang. Astaga! Apa-apaan aku ini? Sadarkan dirimu, Aiden! Lihat betapa memalukan dirimu!
Kalimat Hellen berputar-putar di kepala Aiden bagai kaset rusak. Kamu cemburu? Kamu cemburu? Kamu cemburu?
"Tidak!" seru Aiden entah pada siapa.
Watson mengernyit melihat Aiden yang berseru-seru pada langit. Kenapa dia?
"Jangan hiraukan dia. Biasa, kumat." Jeremy menopang kepala dengan tangan. "Sekarang bagaimana? Kembali ke klub dan menyelidiki kasus lain? Kalau dia berbohong memberitahu identitasnya, berarti permohonan kasusnya juga palsu."
"Entahlah." Watson menghela napas panjang. "Walau dia berbohong, ada yang menggangguku sejak tadi."
"Apa itu?"
"Kalimat-kalimatnya. Dia berbicara seolah tahu tentang para pembuli itu. Kalau dia hanya sekadar berbohong, dia tidak perlu datang ke kita dan menceritakan itu semua, kan? Via sama saja membongkar rahasia mereka." Watson berasumsi Via bukan sekadar berbohong.
"Lalu bagaimana?" balas Jeremy mendesah. "Kita tidak punya petunjuk atau hal-hal yang berhubungan dengan mereka. Via pun sekarang sudah menghilang. Kita tidak bisa sembarang menyelidiki tanpa akses."
Watson menganggukkan kepala. "Kamu benar. Kurasa kita harus kembali dan mencoba menggarap kasus Via lebih teliti," ucapnya menunjuk noda di lengan. "Aku harus pulang membersihkan ini..."
"Tenggorokanmu tidak apa?"
"Ah, iya. Aku hanya disuruh makan pasir."
Mungkinkah di saat aku menyenggol lengannya? Di saat itu dia mencuri nametag-ku? Dia sengaja batuk? batin Watson tersentak. Jeremy dan yang lain sudah lima langkah di depan. "Itu berarti mereka mengincarku?"
"Renee, Arve dan Late biasanya jarang menganiaya target bulian mereka melebihi 24 jam. Mereka hanya membutuhkan 4-5 jam merundung seseorang."
"Benar, Sherly dari keluarga berada."
Aiden berhenti melangkah, menoleh ke belakang. "Ada apa, Dan?"
Jeremy dan Hellen ikut menghentikan langkahnya.
"Ikut aku." Dua kata tegas yang membuat ketiga teman klubnya mengangguk patuh. Jika Watson serius seperti itu, artinya dia mendapatkan sesuatu. Mereka bertiga kembali masuk ke dalam sekolah, berlarian kecil menyusuri koridor.
Grak! Watson membuka pintu cukup keras. Beruntung Ghani belum pergi dari ruangan tersebut. Beliau tampak menyusun beberapa dokumen pelajaran, menoleh ke pintu yang ternganga.
"Kalian datang lagi?"
"Kali ini kami hendak menanyakan sesuatu lain," ujar Watson serius.
Jeremy, Aiden dan Hellen bersitatap. Apa yang ingin ditanyakan Watson? Ghani sudah dua kali mengatakan bahwa klien mereka tidak bersekolah di sini. Tidak ada yang dapat dijadikan petunjuk.
Menghela napas pelan, Watson melanjutkan perkataannya. "Apa ada murid bernama Sherly Roroly di sini?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top