File 0.4.2 - Don't Want to Refrain Anymore
Via sudah menjelaskan situasinya pada klub detektif Madoka. Tentang tujuannya ingin menolong temannya yang dibuli oleh teman-teman sekolah karena mencoba melindungi Via.
Kasus pembulian, ya? Watson membatin setengah tidak minat. Di antara beberapa bidang kasus, Watson anti kasus kehilangan atau buli seperti sekarang. Dia juga tidak tertarik dengan kasus pencurian. Malesin rasanya.
Yah, karena sudah terlanjur menerimanya, tidak ada salahnya membantu sampai selesai. Apalagi nanti si Aiden itu pasti akan memaksa. Watson menghela napas panjang, mendapat teman sial.
"Kenapa mereka membulimu?" Aiden bertanya, mulai menginvestigasi.
Via menatap uap panas yang menguap ke udara dari cangkir teh di depannya. "Renee, Arve, dan Late, mereka bertiga adalah geng buli di sekolah kami. Zoyelcy Junior High School. Mereka bertiga telah melakukan tindakan kejam."
"Tindakan kejam?" Hellen memastikan tidak salah dengar. "Apa maksudmu?"
"Bukan hanya anak-anak dari sekolah itu, mereka juga memalak murid dari sekolah lain. Menggunakan kekerasan bahkan sampai memukuli siswa yang tidak menuruti perintah mereka dengan senjata berat. Mereka juga nekat membuat mental murid-murid yang mereka palak menjadi syok jika berani mengadu pada siapa pun."
"Meh, klise." Jeremy minum teh.
Sebuah jitakan melayang ke kepala Jeremy. Dan itu dikirim penuh kasih sayang oleh Tuan Putri Aiden.
Tidak, tunggu. Watson tersentak menyadari sesuatu. Mereka bertiga memakai senjata berat? Maksudnya sejenis pistol dan crossbow? Bukankah itu sudah kelewatan untuk sekadar kelompok pembuli? Watson harus menyelidikinya.
"Kita harus menyelidikinya!" ujar Aiden satu pemikiran dengan Watson.
Watson menatap Aiden bengong. Cewek ini bisa baca pikiran, ya?
Jeremy menepuk dahi. "Kita sudah mengambil kasus ini, Aiden. Tentu saja kita harus ke TKP untuk memeriksa."
Aiden menjulurkan lidah, mengetuk pelan kepala. "Aku tahu. Aku hanya mengulangnya supaya terlihat keren gitu. Tee he!"
"Tee he dengkulmu!"
Via terkekeh kecil melihat Aiden dan Jeremy bertengkar, kemudian terbatuk. Tenggorokannya nyeri.
"Kamu tidak apa-apa?" Watson bertanya, tak sengaja menyenggol lengan Via yang terluka. "Apa ada sesuatu di mulutmu?"
"Ah, tidak. Aku memang punya masalah sama tenggorokan. Mereka pernah menyuruhku menelan banyak pasir." Via mengusap leher yang tidak gatal. Canggung. "Ini bukan masalah besar kok."
Bukan masalah besar apanya. Pasir katanya? Dia tidak tahu apa menelan pasir dalam jumlah yang besar dapat menyebabkan penyumbatan usus? Dia ini kelewat patuh pada mereka. Watson mengembuskan kasar, setengah kesal karena mendapat klien yang polos.
"Ng?" Telinga Watson menangkap suara Via yang menggumamkan sesuatu. Kepada siapa dia berbisik?
Hellen selesai menulis sketsa kasus di papan kaca. "Singkat cerita, Untavia Teavi (klien) mempunyai teman bernama Sherly Roroly. Geng pembuli itu mulai menargetkan Via sejak Via mendapatkan beasiswa. Karena mereka selalu merundung Via, mengambil semua jajan dan memukulinya, Sherly teman sekelas Via pun tidak tahan menyaksikan temannya dibuli terus-menerus. Dan ketika dia mencoba membela temannya, mereka bertiga justru ikut menargetkan Sherly menjadi mangsa bulian."
"Meh, klise." Jeremy minum teh.
Aiden mencekik Jeremy membuat cowok itu auto mokad. "Kebiasaan."
"Kalian berdua fokuslah." Watson menatap Aiden dan Jeremy tajam karena malah asyik dengan kegiatan lain.
"Masalahnya," Aiden menghela napas pendek. "Kita tidak tahu mesti memeriksa apa. Maksudku, Via mau membantu Sherly, kan? Untuk apa? Ada apa dengan Sherly sampai-sampai mendatangi kami? Apa ada masalah?"
Karena ini jelas pembulian anak remaja, harusnya Via meminta bantuan pusat siswa. Bukan malah pergi ke Madoka, menemui anggota Klub Detektif yang hanya bertugas menyelidiki sebuah kasus yang benar-benar 'kasus'. Kecuali jika ada sesuatu di kasus pembulian ini.
Mungkinkah... Watson menebak-nebak.
Via menatap ujung sepatu, lesu. "Sherly sudah dua hari tidak masuk sekolah. Mereka bertiga juga tidak datang. Aku pikir mereka menyiksa Sherly di suatu tempat."
Watson memutar bola mata bosan.
"Eh? Kenapa begitu?" tanya Aiden polos.
Via menggeleng tidak tahu. "Renee, Arve, dan Late biasanya jarang menganiaya target bulian mereka melebihi 24 jam. Mereka hanya membutuhkan 4-5 jam merundung seseorang."
"Apa si Sherly itu orang kaya?"
Via diam tidak menjawab. Watson melirik dengan satu alis naik ke atas.
Selang lima detik, barulah Via membuka mulut. "Ah, benar. Dia dari keluarga berada," ucapnya kikuk menggaruk bagian belakang leher.
Aiden dan Hellen saling tatap. "Kita harus ke Zoyelcy besok untuk memeriksa lebih lanjut" Hellen mengangguk setuju. "Aku akan mengurus surat izin."
Watson memasang muka datar andalan. Gadis ini berbohong. Apa tujuannya?
*
Malam hari, di persimpangan pusat kota, berkumpul tiga orang berjaket hitam menyatu dengan kegelapan di gang sempit. Salah satu dari mereka memegang ponsel, melihat-lihat berita terkini.
"Klub Detektif Madoka, ya? Ini menarik! Kudengar mereka bertiga berasal dari keluarga kaya raya."
"Aiden Eldwers, kan? Sepertinya akan susah nih mengingat dia pandai bela diri."
"Dan oh! Jangan lupa, mereka punya Jeremy Bari. Salah satu murid Madoka yang kuat. Jago gelut."
"Uh! Bagaimana cara kita beroperasi nih kalau keamanannya seketat ini? Mana uang untuk bulan sekarang sudah habis lagi."
"Aku sudah memperingatimu agar berhemat. Kamu sudah tahu kalau-kalau kita kesusahan menemukan target bank. Masih saja boros. Cih!"
Tap! Tap! Tap! Terdengar suara langkah kaki yang bergabung dengan mereka bertiga.
"Oh, Bos! Kamu sudah datang. Bagaimana penyelidikannya?"
Orang yang mereka panggil Bos, berhenti melangkah, menatap tajam namun datar. "Lepaskan temanku."
"Tentu saja!"
Satu dari mereka menarik seuntai rantai besi yang terikat di leher seorang gadis babak belur. Dia nyaris tak bernapas. Pakaiannya kumuh. Apa yang terjadi padanya? Mungkinkah...
Ketika si Bos hendak melepaskan rantai di lehernya, orang yang menahan gadis itu mencegat lebih dulu.
"Informasinya dulu, Bos."
Bos memutar kedua mata. "Kalian tidak percaya padaku?"
"Nyawa Via dalam bahaya lho."
"Yah, aku juga tidak peduli sih."
"Kuperhatikan tadi, mereka tidak bertiga, kan?" sahut orang yang duduk di atas tong sampah. Dia satu-satunya cowok di kelompok itu. "Hebat juga ya kita-kita bisa masuk ke Madoka dengan mudah."
Bos mengangguk. "Mereka punya rekan yang jeli. Namanya Watson Dan," ucapnya mengeluarkan sebuah nametag.
"Jadi? Siapa target kita?"
Bos tersenyum miring. "Tentu dia. Para pengganggu harus dilenyapkan."
*
"Aku pulang." Watson membuka pintu rumah, melepas sepatu dan menyeret kaki ogah-ogahan ke ruang tamu.
"Yo, selamat datang di rumah, Watson."
Ng? Suara ini? Macam pernah dengar. Watson merasa tak asing dengan suara sapaan yang familiar itu. Apa pamannya belum pulang? Lantas siapa yang membalas sahutan Watson?
TREK, bunyi cangkir beradu dengan nampan bergema. Watson melotot melihat sosok yang duduk santai di sofa tanpa dosa.
"Kamu!" Semua orang takkan tahu kalau itu adalah seruan. Habisnya Watson terlalu datar berseru seakan tidak punya tenaga.
Deon melambaikan tangan, tersenyum lebar. "Kamu sudah pulang, Watson? Ayo duduk di sini. Minum teh bersamaku."
Terakhir kali Deon datang di depan gerbang rumah Watson, memaksanya untuk bekerja sama. Sekarang Deon dengan lancangnya masuk ke dalam. Dia pikir dia seorang tamu yang diundang secara resmi apa?! Ini pelanggaran privasi orang lain!
Baru saja Watson ingin menerjang kepala si Deon dengan ala Bruce Lee, pamannya turun dari lantai atas. Wajahnya terlihat serius. "Duduklah," suruh beliau.
Sebenarnya Watson masih panas hati kenapa Deon ada di rumahnya. Apalagi pamannya tidak marah dengan kehadiran seorang polisi. Apa terjadi sesuatu? Firasat Watson tidak enak.
Watson duduk di sofa dengan bersungut-sungut, menatap masam. Mood-nya jelek. Berdecak kesal. Aduh, Watson benar-benar ingin teriak kayak Tarzan saking emosinya.
"Putri bungsu CEO tempat Paman bekerja saat ini diculik." Beaufort memulai percakapan dengan to the point.
Jangan-jangan...! Watson tersentak.
"Kamu benar," cetus Deon membaca air muka Watson. "Itu ulah Child Lover."
Tidak mungkin! Bukankah CL sudah mengumumkan bahwa targetnya kali ini anak laki-laki? Rasanya mustahil dia bersikap tidak konsisten setelah pengumuman besar-besaran seperti itu! Watson menelan ludah.
"Namanya adalah Ernest Deon, Ketua Tim Unit Penyelidik. Dia mendapat tugas ini karena Kepolisian Moufrobi punya koneksi tertentu dengan CEO." Beaufort menjelaskan pendek yang rasanya itu tak berguna bagi Watson sebab mereka sudah saling mengenal.
"La-lalu kenapa Paman mengundangnya ke sini?" tanya Watson gelagapan. Sialan! Dia jadi tidak bisa fokus!
"Paman ingin kamu menemukan Putri CEO bersama Inspektur Deon."
"Eh?"
Apa Watson tidak salah dengar? Beaufort menyuruhnya berurusan dengan seseorang berprofesi polisi yang amat beliau benci? Dan lagi, bukankah Beaufort sendiri melarang Watson menyentuh dunia detektif? Yah, walau Watson tidak mengindahkan larangan itu, tetap saja dia takut ketahuan bahwa dia diam-diam sudah terlalu ikut campur terhadap masalah besar Kota Moufrobi; Child Lover.
Beaufort menatap Watson. "Kali ini, kamu kuizinkan bermain dengan hobi lamamu. Gunakan bakatmu untuk menolong orang yang butuh bantuan. Kamu punya bakat itu, Watson. Bakat fetektif. Jangan lupa untuk menyelidiki apa yang ingin kamu ketahui mengenai insiden tiga tahun yang lalu."
Watson tidak tahu harus senang atau apa. Tetapi ada perasaan lega di hatinya.
Dia "bebas" sekarang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top