File 0.4.1 - The Pathetic Client
Watson meng-scroll layar ponsel.
Child Lover mempunyai 46 kasus. Melecehkan anak gadis 26 dan anak lelaki 19. Sekarang CL sedang mencari mangsa untuk mengenapkan rekor 19 kasus pelecehan anak laki-laki. Dimohon bagi penduduk setempat agar memperhatikan anak-anak anda supaya tidak disandera oleh Child Lover.
"I-ini sungguhan?" gumamnya menelan ludah. Awal-awalnya Watson mengira CL masih golongan penjahat ikan teri yang hanya baru menculik belasan anak, tapi apa-apa ini? Jumlahnya mencapai puluhan!
Apa yang dilakukan CL dengan 46 anak-anak? Dia punya senafsu sebesar itu? Watson mual. Benar-benar menjijikkan.
Menghela napas panjang, Watson mematikan ponsel. "Bagaimana cara aku menangkapnya? Ini seperti menangkap seorang pencuri yang tidak meninggalkan jejak. Aku tidak bisa apa-apa jika tidak ada petunjuk."
Watson memperhatikan tangannya yang terbalut perban. Dia berhasil menyelamatkan Vio. Dia berhasil memecahkan satu kasus setelah memutuskan berhenti dari dunia detektif.
"Apa yang telah kulakukan? Kenapa aku kembali ke jalan ini?" gumamnya menghempaskan badan ke kasur empuk. Matanya menerawang ke kanopi kamar.
Tidak ada gunanya lagi membenci detektif. Seharusnya sekarang Watson mulai menelusuri jejak pelaku yang membom Taman Pockleland. Dia tidak boleh labil.
"Kalian jangan khawatir, Ma, Pa. Aku sudah percaya tentang bakatku ini. Aku pasti akan menemukan orang yang melakukan perbuatan itu pada kalian."
*
Halaman sekolah penuh dengan mobil wartawan. Watson nyaris tertangkap salah satu beritawan yang berdesakan di lobi masuk Madoka. Dia cekatan bersembunyi di balik tembok pagar.
"Ya ampun! Apa kau serius? Kenapa lebih banyak daripada waktu itu?" sungut Watson mengintip dengan hati-hati.
Tunggu dulu. Watson ingat kemarin ada satu sampai lima orang wartawan di Studio Musik. Jangan-jangan di antara mereka ada yang mengambil gambarnya?! Kalau mereka mengunggahnya ke internet, habis riwayatku! Watson mulai panikan. Dia lupa kalau Deon berjanji akan mengamankan identitasnya.
"Pagi, Dan!"
Watson terperanjat kaget karena disapa terlalu tiba-tiba. Dia kira ada seorang wartawan menghampirinya dari belakang atau siapa lah. "Kamu mengejutkanku..."
Seolah terbiasa melakukannya, Watson menatap rambut Aiden. Kali ini Aiden memakai mode space buns middle, membiarkan sedikit rambut tergerai ke bawah di setiap bulatan. Lantas Aiden memakai pin bunga berwarna biru di poni bagian kiri.
"Kamu benar-benar hobi menata rambut," celetuk Watson tanpa sadar. Hah?! Apa yang baru saja dia katakan? Tidak, tidak. Itu tidak termasuk pujian, kan?
"Yeah. Dia juga hobi menghias rambut orang," sahut sosok lain bergabung dengan Watson dan Aiden.
"Stern?" Watson melotot ketika melihat rambut Hellen dikuncir dua dengan mainan bunga abu-abu sebagai pengikatnya.
Aiden mengeluarkan kaleng spray dan sisir, menyengir lebar, memasang kuda-kuda. "Hohoho! Apa kamu juga mau kuhias, Dan? Aku membawa beberapa karet nih. Mungkin kamu bisa jadi cantik kalau dipoles dikit."
Watson refleks mengangkat kedua tangan ke atas. "Tidak, terima kasih. Aku bukan cowok seperti itu."
Aiden justru tidak mendengar penolakan Watson, mendekat ke arahnya. "Ayolah, cuman kasih ponytail sedikit..."
"Sudah kubilang aku tidak mau." Watson mundur ke belakang. Kenapa sih nasib Watson separah ini? Bertemu dengan gadis pemaksa seperti Aiden adalah sebuah kemalangan.
Aiden memegangi tangan Watson. "Ayo!"
"Kamu tidak dengar? Aku tidak mau!" tukas Watson menepis tangan Aiden.
Hellen terkekeh. "Kalian lama-lama serasi."
"Kamu jangan ikut-ikutan deh, Stern," balas Watson membuang muka ke samping. Dia mengira Hellen akan membelanya, namun malah ikut mengompor.
"Tanganmu sudah tak apa, Dan?" tanya Aiden memperhatikan kedua tangan Watson yang terbalut perban. "Apa perlu diperiksa ke dokter? Nanti infeksi."
"Ini cuman luka gores. Kamu berlebihan."
"Ngomong-ngomong, ngapain kamu berdiri di sini? Tidak masuk ke dalam?"
"Bagaimana cara masuk kalau banyak mata di mana-mana," jawab Watson mendengus.
Aiden menongolkan sedikit kepala dari tembok. "Ah, banyak reporter."
Apa pun yang terjadi, Watson tidak boleh sampai tertangkap kamera. Karena bisa jadi kemarin ada yang mengambil gambarnya. Dia harus menunggu wartawan-wartawan itu pergi dari sekolah kalau masih mau menyembunyikan identitasnya.
"Wah, sepertinya kalian dalam masalah."
Baik Watson, Aiden maupun Hellen, sama-sama menoleh ke sumber suara.
"Ketua Apol?"
Apol, ketua konsil Madoka. Tingginya sekitar 164 senti. Berkulit sawo matang, mata sipit nan terpicing, warna rambut hitam kecokelatan.
Watson mengernyit, memandangi Apol dari atas sampai bawah, menemukan satu keanehan. Kenapa dia berpeluh begitu? Dia berlarian ke sini?
Aiden segera berdiri di depan Watson. "Ah, terima kasih atas niat Ketua Apol, tetapi kami baik-baik saja kok. Kami bisa masuk kok," ucapnya tersenyum simpul lantas menarik lengan Watson ke halaman sekolah. Hellen berjalan menyejajari langkah Aiden di sebelah.
"Tunggu, Aiden! Ada wartawan—" Watson mengurung protesnya demi melihat perubahan wajah Aiden dan Hellen. Pertama kalinya Watson melihat ekpresi Aiden seperti itu.
Watson menelan ludah. Aiden marah? batinnya menoleh ke belakang. Apol tersenyum misterius, menatap punggung mereka bertiga.
Apa-apaan suasana tegang ini?
*
"Eh, hei, boleh aku bertanya sesuatu?"
Jeremy menggeleng, fokus membaca surat permohonan. "Aku sibuk."
Bats! Watson menyambar kertas yang dipegang Jeremy dengan wajah datar—wajah tanpa dosa.
Jeremy melotot. "Kenapa sih?!"
"Ini tentang ketua konsil kita," ucap Watson membuat Jeremy mengomel. "Kurasa Aiden dan Stern punya kesan buruk pada Ketua Apol. Tadi kami tak sengaja berpapasan di luar gerbang—"
"Kamu jauhi dia," sela Jeremy singkat.
"What?"
"Kamu belum dengar tentang Dewan Siswa? Mereka itu serigala berbulu domba," ujar Jeremy serius. "Di luar mereka terlihat ramah untuk pencitraan murid-murid, bagai mutiara Madoka. Di dalam mereka amat busuk. Jika mereka tertarik pada seorang murid, mereka takkan melepaskan targetnya sampai mereka berhasil mengendalikan murid itu."
"Apa Hellen dan Stern pernah dibegitukan oleh mereka?"
"Yeah," Jeremy mendesah panjang. "Kamu tahu sendiri setiap anggota di klub ini punya bakatnya masing-masing. Misalnya kamu punya analisa mengagumkan seperti detektif profesional. Hellen yang bisa menganalisis kesehatan, Aiden yang mampu menyimpulkan sesuatu dengan cepat dan aku sebagai otot kalian bertiga. Yah, aku juga kadang-kadang berpikir sih."
Watson menggeleng. "Aku bukan detektif. Hipotesaku tidak sejitu itu," tolaknya datar. "Aku hanya bermain-main."
"Kamu detektif, sudah ada bukti. Jangan mengelak lagi. Kalau kamu memang bermain-main, kamu tidak akan sudi melukai kedua tanganmu."
Skakmat. Tanda jengkel tercetak di kening Watson, tersenyum kesal. "Kamu menjengkelkan."
KLEK, pintu klub terbuka. Aiden dan Hellen bergabung ke dalam dengan membawa banyak snack ringan dan minuman kaleng. Mereka sepertinya menerima banyak kado dari fans.
"Kalian boros," cetus Watson menatap makanan-makanan ringan di atas meja tak minat. Bahkan ada kue cokelat dan puding di sana. Tidakkah mereka berdua terlalu membuang-buang uang?
Aiden menghempaskan badan ke kursi. "Bukan kami. Para wartawan di luar yang memberikannya. Masa, ya, anak-anak dari sekolah lain juga berbondong-bondong memberi kita hadiah."
Mereka seperti nyamuk, batin Watson mencomot salah satu wafer.
"Kamu berbicara tidak suka tapi kamu makan juga pemberian mereka." Jeremy menatap Watson sinis, tidak mengerti sifat Watson yang kadang kekanakan.
"Selagi ada rezeki ngapain disia-siain."
"Tapi mereka benar-benar berharap besar pada kita agar bisa menangkap CL." Perkataan Hellen mengheningkan seisi ruangan. "Para orangtua pasti tidak tahan lagi mencari anak mereka yang hilang ke mana-mana. Kita harus melakukan sesuatu."
Aiden menoleh ke Watson, hendak bertanya tapi Watson lebih dulu menggeleng—paham arti mimik wajah Aiden. "Jangan terlalu bergantung padaku. Aku masih baru di kota ini, tidak tahu apa-apa."
"Bagaimana kalau kita mulai mengupas kasus-kasus CL? Mana tahu kita bisa mendapat petunjuk," usul Aiden setelah menjitak kepala Watson. Salahku apa, demikian wajah Watson saat ini.
Jeremy mengambil tumpukan berkas yang tersimpan di dalam lemari, meletakkannya di atas meja rapat. Watson masih duduk menikmati makanan-makanan pemberian fans mereka.
"Child Lover menyukai anak-anak berkulit putih. Incarannya murid dari Dorias, Tesca, Aundene School dan Royal School. Dia selalu memilih-milih gender korban, dimulai dari putri dan berakhir dengan putra. CL juga memiliki ciri khas. Dia akan memutilasi tubuh korban dan memberi surat peringatan jika dia tidak membedah badan korban. Bangsat banget ya dia?"
Oh jadi itu maksud kartu poker kemarin. Dia penjahat kelamin yang gila, batin Watson menatap langit-langit ruangan.
Aiden membuang lembaran kertas tentang CL, merungut kesal. "Ini cuman data kasusnya! Tidak ada yang bisa kita jadikan petunjuk di sini."
"Eh, aku penasaran suatu hal." Watson menceletuk, membuka bungkus kue cokelat. "CL itu pria atau wanita?"
Jeremy melotot. "Ku itu bodoh ya?! Sudah jelas dia itu ... dia ...."
Ruangan klub hening.
"Dia pria atau wanita?" ucap Jeremy, Aiden dan Hellen serempak, berkeringat dingin.
Jadi selama ini kasus Child Lover yang terkenal di Kota Moufrobi belum diketahui gender penjahatnya? Apa dia selihai itu menyembunyikan identitasnya? Watson harus segera bergerak—dia pikir CL bergender pria mengingat kalimat pertama Jeremy mengenai CL yang juga mengincar anak laki-laki.
"Dia nafsu dengan laki-laki, berarti dia seorang wanita dong?" ucap Aiden melontarkan pendapatnya.
"Tidak, tidak. Dia juga nafsu sama anak perempuan!" Hellen menggeleng.
"Aku bertaruh, CL adalah pria! Masuk akal karena dia nafsu putra-putri. Lagian seorang pedofil tidak mementingkan gender mangsanya." Jeremy berkata lugas.
"Baik, kita anggap CL adalah laki-laki." Watson akhirnya pindah dari posisi nyaman duduk-duduk sambil makan cemilan. "Masalahnya sekarang, bagaimana cara kita menemukannya? Maksudku, ini jelas bukan kasus pembunuhan. Ini kasus penculikan massal dimana kita tidak bisa mendapatkan petunjuk semudah kasus pembunuhan. Dan lagi, sepertinya CL itu cukup pintar dalam melarikan diri."
Lagi-lagi penghuni klub hening. Mereka tidak mempunyai petunjuk sama sekali.
Klek! Pintu klub terbuka. Watson dan yang lain menoleh serentak. Kali ini menampilkan satu sosok perempuan beramput abu-abu panjang. Dia mengenakan seragam sekolah lain, berlengan panjang dan memakai celana training (olahraga). Sepertinya dia berlarian ke Madoka.
"Pe-permisi, apakah kalian membuka slot klien?" katanya patah-patah.
Aiden dan Hellen saling tatap.
Jeremy mewakili ketiga temannya. "Maaf, kami sudah menerima banyak surat permohonan. Kami belum bisa menampung klien baru."
Dia mendesah lemah. "A-ah begitu. Maaf saya menganggu..."
"Tunggu," tegur Watson menahan gadis itu menutup pintu. "Apa ada orang yang mengganggumu?"
"Apa maksudmu?" Jeremy mengernyit.
"Dia memakai rok, tetapi celana training sebagai bawahannya. Bukankah itu aneh? Biasanya gadis-gadis seusia kita cukup memakai kaus kaki panjang menutupi seluruh kaki. Tetapi dia malah memakai celana. Seperti dia sengaja memakainya untuk menutupi sesuatu. Juga, rambut panjang sepinggang itu tidak cocok dilepas. Terbukti dari keringat di keningnya yang menunjukkan dia kepanasan. Ada sesuatu di lehermu, kan, sampai kamu menggerai rambutmu?" jelas Watson panjang lebar dengan suara datar.
Untuk ketiga kalinya, ruangan klub hening seperti kuburan.
Gawat. Aku melakukannya lagi. Watson menelan ludah, baru sadar bahwa dia melakukan kebiasaannya lagi; mengkritik sesuatu jika matanya menemukan kejanggalan. Sialan!
"Kamu benar." Gadis itu tersenyum, mengangkat rambutnya ke atas. Ada banyak luka lebam di sana. Aiden, Jeremy, dan Hellen terperangah. Apa yang terjadi padanya?
Watson beralih menatap tumpukan surat permohonan di lemari. Rata-rata kumpulan surat itu membahas permintaan penyelesaian kasus yang sama; penculikan. Tidak ada kasus lain membuat Watson jenuh.
"Baiklah, aku akan menerima permohonan kasusmu," sahut Aiden membaca pikiran Watson.
"B-benarkah? Terima kasih! Aku sungguh berterima kasih!" serunya semangat membungkukkan badan.
Jeremy menghela napas panjang. Dia tidak bisa apa-apa jika Aiden sudah memutuskan menerima gadis di depan mereka menjadi klien. "Jadi, apa keluhanmu sampai membuatmu mendatangi kami dengan keadaan seperti itu?"
Gadis itu, Untavia, menatap anggota klub bentar. "Aku ingin membantu temanku."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top