File 0.3.8 - That Poor Family is Smiled
"Kamu benar." Watson berkata pelan.
"Sudah bangun?" tanya Deon menatap Watson yang menguap.
"Vio termasuk anak cerdas untuk seukurannya. Dia mampu membuat pesan tersembunyi, bahkan sampai lokasi tempat dia disekap. Sepertinya CL tidak mengganti TKP karena dia percaya tak ada yang tahu tempat Vio dikurung," jelas Watson menguap lagi. "Vio berhasil kabur satu kali darinya. Lantas dia pergi ke ruang musik dan mendapati seruling itu cocok untuk penggambaran tempat dia disekap. Akan tetapi setelah memberikannya pada Vivi, Vio pun kembali tertangkap oleh CL."
"Seruling perak itu visualisasi lokasi Vio? Bagaimana bisa? Maksudku, tidak ada yang spesial dari alat musik tiup itu." Jeremy menatap tidak mengerti. Dinilai dari segi mana pun, tidak mungkin suatu alat musik jadi penggambaran sebuah lokasi.
"Pipe," ucap Watson sepenuhnya terbangun. Jejalanan mulai bergerak setelah sepuluh menit macet.
"Apa?" Keempatnya serempak mengernyit.
"Bahasa Inggris seruling adalah flute, tetapi bisa juga diartikan pipe yang berarti pipa dalam bentuk nomina. Lihat saja rupa suling yang menyamai pipa. Rasa-rasanya CL pasti sudah memantau data korban, jadi dia tahu kegiatan apa saja yang dilakukan oleh korban. Termasuk tahu soal kontes musik itu. CL pasti mengurungnya di salah satu pipa Studio Musik. Di saluran air misalnya." Jawaban Watson mampu membuat seisi mobil terdiam cukup lama.
Aiden menatap punggung kursi yang diduduki oleh Watson (dia duduk di bagian depan). Firasatnya tidak salah. Aiden tidak salah memasukkan Watson ke dalam klubnya. Aiden tidak salah menduga kalau Watson mempunyai bakat detektif.
Jika dia memang sehebat ini, kenapa Watson bersikeras tidak ingin kembali ke dunia misteri? Watson pernah bilang dia tidak percaya pada kemampuan detektifnya sehingga dia kehilangan orangtuanya.
Banyak yang ingin Aiden ketahui tentang Watson. Tapi tidak sekarang.
Deon tersenyum miring, menarik persneling mobil dengan mantap. "Pegangan anak-anak, kita akan mengebut dengan mengambil jalan pintas."
"Hei, hei, jangan bercanda. Jalan raya licin karena air hujan. Kamu ingin membunuh kami? " Watson refleks mencengkeram handle mobil.
"Nyawa korban ada di tangan kita. Ini detik-detik terakhir."
Tak peduli keluhan dan peringatan Watson, Deon menginjak pedal gas. Mobil sedan hitam itu melesat cepat menembus jejalanan, gesit menyalip mobil-mobil yang mengganggu.
Aiden, Jeremy, dan Hellen di belakang mobil saling berpegangan sembari melafalkan doa-doa. Mata Watson berputar-putar, menutup mulut mual. Rasanya ada yang mau keluar.
Setengah jam mengebut, akhirnya mereka sampai di TKP. Sudah banyak mobil patroli dan ambulans berbaris di sana, membuat garis kuning, juga rekan-rekan Deon di Unit Penyelidik. Para penduduk yang ada tinggal di wilayah situ, berkerumun. Mulai bergosip.
Klek! Watson lebih dulu keluar dari mobil begitu transportasi berkaki empat itu berhenti berjalan. Dia berlarian kecil menjauhi orang-orang, lalu memuntahkan semua isi perutnya.
Hellen menepuk-nepuk punggung Watson, membiarkan Deon dan yang lain masuk lebih dulu ke dalam TKP (Aiden dan Jeremy tidak mabuk kendaraan). "Yosh, yosh. Tidak apa. Keluarkan saja semuanya."
Polisi sialan. Suatu hari nanti akan kubalas perbuatanmu, umpat Watson dalam hati menatap tajam Deon yang berbicara pada polisi yang menjaga TKP, meminta akses masuk ke dalam.
"Bagaimana?" Deon bertanya.
Polisi yang bertugas menggeleng. "Para detektif dari pusat Divisi Penyelidik Unit I sudah memeriksa empat kali, tidak ada tanda-tanda keberadaan korban."
"Beri perintah pada mereka, periksa semua pipa-pipa yang ada di bangunan ini."
"Dimengerti, Pak!"
Selepas kepergian polisi itu, mendekat seseorang berjaket kulit khas Amerika ke arah Deon, lagaknya seorang bos. Gerimis hujan membasahi pakaian. Tetapi para polisi rela menanggung semua itu demi penyelamatan korban.
"Wah-wah, coba lihat siapa ini." Pria itu terkekeh remeh. "Kamu mencari ulah lagi, Ernest? Padahal berkali-kali kubilang jangan melakukan sesuatu di luar tugas yang diberikan oleh organisasi, tetapi apa yang kamu lakukan sekarang? Membantu kaum jelata?"
Deon menjawab malas, "Saya hanya melakukan tugas saya sebagai seorang Inspektur. Tidak ada hal lain."
"Lalu kenapa kamu melakukan hal merepotkan seperti ini?" bisiknya mendekatkan kepala ke telinga Deon. "Kamu mau membantah titah organisasi? Jangan melakukan hal yang tidak berguna."
"Hal yang tidak berguna?" celetuk Aiden mendengar percakapan 'kecil' mereka berdua. "Maksudmu kasus Kak Isu dan Vio itu tidak ada harganya karena mereka dari kalangan miskin? Polisi macam apa menelantarkan penduduk yang sedang kesusahan?!"
Jeremy telat mencegah. Hellen menatap kaget dari jauh-masih menepuk punggung Watson. Kacau sudah.
Pria itu (Kepala Divisi Penyelidik, Raum Kaaver) tertawa geli. Dia menatap Aiden dan Deon secara bergantian. "Aku benar-benar tidak mengerti pola pikirmu, Ernest. Kamu membawa bocah-bocah itu lagi ke permainanmu? Hebat! Aku tidak sabar melihat Komisaris sendiri yang memecatmu."
Lagi? Watson berhenti muntah, menoleh ke depan. Wajahnya pucat. Dia terlihat payah sekali. Jangan-jangan kasus taman bermain Mouseele itu?
Deon menghela napas panjang, mengusap wajah yang basah oleh gerimis. "Saya akan menyelesaikan apa yang saya perbuat, Pak. Anda tidak usah khawatir. Saya bukan detektif yang buta oleh pangkat. Saya bekerja demi penduduk sipil."
Wajah Raum terlihat memerah (emosi) karena sindiran halus yang dilontarkan Deon. Dia pergi dari TKP tanpa mengatakan apa pun lagi.
Apa-apaan itu tadi? Watson mendengus masam ketika Raum melewatinya dan Hellen. Orang gendut tak berakhlak sepertinya menjadi pimpinan? Sistem hukum kota ini sudah tidak benar, mempekerjakan para koruptor.
Deon memakai sarung tangan khusus TKP, melangkahi police line. "Aku akan ikut mencari. Kalian tunggu saja di—"
"Kami akan ikut mencari!" sela Aiden bahkan sudah melangkah masuk ke garis polisi. Jeremy dan Hellen mengikuti dari belakang. "Kami akan membantu menemukan Vio!"
Hahaha. Mereka ngotot sekali—tangan Watson ditarik oleh Aiden. Mereka berempat masuk ke wilayah studio.
*
Studio Musik Pusat Kota, pukul 17.12
Satu setengah jam berlalu cepat, namun Vio masih belum ditemukan. Klub detektif Madoka sudah mondar-mandir memeriksa ulang setiap pipa-pipa yang terhubung dengan bangunan, tetapi nihil.
Hujan sudah berhenti, tapi langit mendung masih belum berniat pindah. Di luar TKP semakin banyak warga sekitar berkumpul, bertanya apa yang terjadi. Sesekali hendak menerobos masuk.
"Sial! Di mana CL menyembunyikannya?! Di polong pipa mana Vio berada?!" seru Aiden frustasi. Diantara mereka berempat, Aiden lah yang paling bekerja keras memeriksa semua pipa di bangunan itu. Rambut kesayangannya basah oleh air hujan.
"Gedung studio ini lumayan luas. Kita tidak tahu ada berapa selang pipa terpasang." Hellen merapikan anak rambut yang mengganggu. Rasanya lemas membiarkan rambut panjangnya tetap tergerai. Hellen jadi tidak bisa bergerak sesuka hati.
"Ng? Kalian melihat Watson?" Jeremy malah bertanya lain, tidak melihat sosok yang dia cari di mana-mana.
"Bukannya tadi dia di belakangmu, Jer?"
Jeremy menggeleng tidak tahu. "Dia menghilang begitu aku tenggelam dengan aktivitasku."
Tidak ada yang sadar kalau Watson keluar dari zona TKP. Cowok itu memasuki salah satu toko. Seragam sekolah yang dia kenakan sedikit basah oleh gerimis hujan.
Watson membuka pintu toko. Decit pelan terdengar. "Permisi..."
Dari dalam, keluar sosok pria setengah umur memakai celemek kuning tengah mengelap tangan. "Ah, iya? Ada yang bisa saya bantu? Kamu kehujanan? Biar saya ambilkan handuk. Nanti kamu demam."
Watson menolak halus. "Saya hanya ingin menanyakan sesuatu, Tuan."
"Apa itu?" balasnya ramah.
"Pipa ukuran paling besar di bangunan itu," Watson menunjuk studio musik yang berdiri tepat di seberang toko. "Ada di mana ya?"
"Ah, Studio Musik." Pria setengah umur itu menepuk tangan. "Setahu saya, pipa terbesar ada di saluran pembuangan bawah tanah. Saluran itu tersambung ke waduk. Sepertinya terjadi sesuatu di sana sampai-sampai ada mobil polisi. Padahal daerah ini anti kecelakaan. Ada apa?"
"Terima kasih, Tuan!" seru Watson melangkah pergi.
Sesuai dugaan Watson. Ukuran pipa-pipa di studio itu beragam. Pemilik, bukan, Ketua Kontruksi yang mendesign bangunan itu pasti membeda-bedakan pipa saluran setiap ruangan. Ada yang 2.1/2 Inci, ada yang 2 x 1 Inci, dan lain-lain. Tapi yang paling besar adalah...
Watson sampai ke TKP, masuk ke dalam lagi-lagi di luar penglihatan orang. Watson melangkah cepat ke Ruang Serba Guna. Dia harus segera menyelesaikan kasus ini sebelum dia 'tertidur' lagi.
Perkataan penjaga toko tadi benar, pipa-pipa saluran studio terhubung ke waduk yang tak jauh di belakang TKP. Kabur buruk, airnya tak jernih, keruh malahan. Volumenya juga tinggi sampai menutupi setengah batas papan pengukur ketinggian.
"Ini parah. Kalau volume airnya setinggi itu, maka Vio..." Watson menggigit bibir demi melihat arus waduk yang keras.
"Tolong..." Sayup-sayup telinga Watson mendengar suara lirihan seseorang. Asalnya dari bawah pijakannya, tepat di dekat polong saluran yang sudah setengah terbenam oleh air.
Tak peduli dengan derasnya air, Watson melepas kemeja seragam sekolahnya, langsung meloncat ke bawah. Airnya dalam! Untung Watson bisa berenang ke tepi. Bisa-bisa dia terseret arus.
"Vio!" Watson berseru pelan saat mendapati sosok korban di dalam lubang saluran dengan keadaan telanjang. Tubuhnya penuh luka memar. Ada pagar besi mengurung Vio.
"Ugh." Baru dua langkah mendekat, pipi serta tangan kanan Watson sudah berdarah (karena mencengkau dinding polong). Watson melihat banyak benang tipis melapisi polong saluran. "Senar biola? Kenapa ada di sini?" keluhnya mengelap darah yang mulai bercucuran dari pipi. Perih terkena air.
"Tolong..." Vio memanggil lemah. Tangannya menggapai Watson yang tertahan kurungan besi.
Sial, aku tidak membawa apa pun kecuali penjepit lidi. Bagaimana cara aku melepaskan senar ini? Watson mengepalkan tangan, terbatuk karena hilang-muncul ditelan air. Begitu juga dengan Vio. Padahal korban sudah ada di depan mata, tetapi kenapa Watson malah terhambat oleh benang-benang menyebalkan?!
"Aku tidak ingin mati..." Vio setengah pingsan, menelan banyak air. "Aku masih mau hidup bersama Kakak."
Watson terdiam.
Orangtua Vio sudah meninggalkannya sejak lama, berdua dengan kakaknya. Bahkan sampai kemalangan menimpa mereka secara beruntun, mereka tetap tidak menyerah menjalani hidup. Termasuk sekarang. Dia pantang menyerah.
Watson harus membantunya. Watson harus menolong dua kakak beradik yang malang ini. Jangan sampai Isu kehilangan satu-satunya keluarganya!
Nekat tanpa memakai alas tangan, Watson mencabut benang-benang itu dalam sekali tarikan, lantas berenang ke tempat Vio tak peduli telapak tangannya berdarah.
"Tidak kusangka aku akan menggunakan trik rendahan ini," gumamnya mengeluarkan sebuah jepit lidi dari kantong celana. Watson beruntung penutup kurungan itu tidak terlalu sulit dilepaskan menggunakan benda kecil.
Begitu terlepas, Vio langsung saja memeluk Watson, menangis sesegukan. Kondisinya sangat mengenaskan. Bagaimana cara dia bertahan direndam oleh air tanpa mengenakan satu helai pun busana? Semangat hidup Vio benar-benar mengalahkan keputusasaannya.
"Terima kasih... terima kasih..."
Watson mendesah pelan, menepuk punggung Vio, meringis tertahan merasakan tangannya yang perih.
"Ng?" Mata Watson menyelusuri secarik kertas petak tertempel di langit polong. "Kartu poker?"
Congratulations karena berhasil menemukan bonekaku! Siapa pun kalian, kalian harus bersyukur aku tidak mengambil anggota tubuhnya yang lembut dan manis. Badannya terlalu imut untuk kupotong.
Big Love,
Child Lover - I Love Kind's
Kretek! Watson meremukkan kertas itu. Auranya berubah seketika.
"Si Bedebah gila itu benar-benar pedofilia akut. Aku harus menyingkirkan hama seperti dia secepatnya. "
*
"VIO!!!!" Isu berseru histeris.
Pemilik langsung berlari dan menghambur ke pelukan kakaknya. "Kakak!"
"Syukurlah... Kakak sungguh bersyukur kamu masih hidup. Maafkan kakak tidak menyadari impianmu. Ini semua salah kakak. Maaf, Vio. Maaf..."
Vio menggeleng. Wajah pucatnya berangsur memerah kembali. "Tidak, ini bukan salah kakak. Kakak sudah membanting tulang untuk kelangsungan hidup kita. Vio mau membantu kakak mengurangi beban itu karena Vio sayang kakak!"
"Kakak juga menyayangimu." Isu tersenyum bahagia.
Aiden, Jeremy, dan Hellen ikut tersenyum melihat pemandangan indah di depan. Memang, selesainya sebuah kasus adalah "sesuatu" sekali bagi mereka yang berprofesi sebagai seorang detektif.
Police line dicabut, mobil-mobil patroli mulai bergerak meninggalkan TKP juga para warga yang sudah menyaksikan dari awal. Petugas ambulans membuka pintu mobil, mempersilakan Isu dan Vio masuk ke dalam. Vio harus diperiksa di rumah sakit dan memberi asupan gizi. Tubuh anak itu kurus.
Watson paling terakhir keluar dari TKP. Wajahnya kusut, lesu, lelah, dan mengantuk nomor satu. Belum lagi kondisinya yang basah kuyup karena berendam di air waduk.
Beginilah kalau dia terhanyut oleh alur kasus. Sampai membuatnya lupa, Watson sangat membenci profesi sialan itu. Watson mendengus masam.
"Ah! Kakak itu!" Vio turun dari mobil, berlarian kecil menghampiri Watson.
"Dan," Aiden tidak melihat wujud Watson yang bergabung pada kelompoknya sebab terlalu fokus pada Isu dan Vio.
Watson membungkuk menyejajari tinggi Vio di depannya. "Kamu harus jadi musisi terkenal suatu hari nanti. Paham?"
Vio mengangguk semangat dan... CUP!
Hellen berseru tertahan. Jeremy menatap tertarik. Aiden cemberut. Watson memegang pipinya yang dicium Vio.
"Terima kasih banyak, Kak!" serunya kembali ke tempat Isu. "Aku tidak akan melupakan jasa kakak! Aku berjanji!"
"Terima kasih kalian semua! Aku akan membalas budi kalian!" sahut Isu melambaikan tangan. Pintu mobil ambulans yang mereka naiki perlahan tutup, melesat ke jalan raya.
Aiden berdiri di depan Watson, berkacak pinggang. "Kamu curang, Dan! Kamu main sendiri! Kamu bilang Vio ada di pipa-pipa gedung, tapi kok tidak ada? Pembohong!"
Watson tersenyum kecut. Apa kata Aiden barusan? Menipu? Watson melompat ke waduk dan itu semua hanya demi menipu mereka bertiga? Kalau saja Watson tidak mengantuk, dia pasti sudah mengomel.
"Kenapa kamu basah kuyup begitu?" tanya Jeremy peka.
"Jatuh," jawab Watson asal.
"Apa kamu selalu begitu saat selesai berpikir?" Jeremy memicingkan mata.
"Apanya?" Watson menaikkan satu alis ke atas, menatap Jeremy tidak mengerti.
"Kamu terlihat mengantuk begitu selesai membuat analisa."
"Astaga!" Tiba-tiba Aiden menjerit. "Tanganmu berdarah, Dan!" serunya menggenggam tangan Watson yang terkoyak. "Apa yang kamu lakukan sampai tanganmu seperti ini?! Ayo kita obati!"
"Aku ngantuk, Den. Nanti-nanti saja."
"Kalau begitu, bagaimana kita akhiri kasus ini dengan selfie?" Jeremy memberi usul sebagai penengah. "Bukankah ini kasus pertama Watson ikut menyelidik bersama kita? Momen ini harus diabadikan."
"Apa Dan mau?" Aiden berhenti panik, menoleh kepada Watson sambil memasang wajah melas. "Mau ya? Ya? Ya?"
Sesekali tak apalah, batin Watson menganggukkan kepala.
"Apa mau kubantu?" Deon menawarkan bantuan.
"Tentu saja!" Aiden memberikan ponselnya pada Deon, kemudian mengambil posisi di samping Watson. "Senyum, Dan."
"Aku tidak bisa tersenyum."
"Tapi kamu tersenyum sama Vio tadi."
"Matamu minus berapa?"
"Hei-hei kalian, berhenti bertengkar. Inspektur Deon akan mengambil gambar."
"Senyum kubilang!" Aiden memaksa.
Watson menghindar. "Aku tidak mau."
Karena Aiden mengejar Watson yang pindah ke sebelah Jeremy, dia tak sengaja menyenggol bahu Hellen. Hellen pun tersungkur ke arah Jeremy. Posisi mereka jadi berantakan.
CEKREK! Deon tersenyum.
Foto case closed pertama bersama member baru telah terpotret.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top