File 0.3.3 - The Precious Handkerchief

Astaga! Bukankah itu Aiden?! Watson mengumpati kebetulan kejam yang mempertemukannya dengan cewek penanggung jawab klub detektif itu. Kenapa harus di hari minggu, satu-satunya hari damai bagi seorang Watson?

Watson bersembunyi di area parkir, memperhatikan Aiden dari jauh.

Gadis itu memakai baju mencolok. Baju terusan berupa rok berwarna dongker yaitu dress op military style ruffle bowtie button lace up dan memakai semacam topi pelaut senada di kepala. Dia juga menguncir rendah rambutnya jadi dua di bawah telinga menggunakan ikat rambut merah polos.

Mencolok sekali! Apa dia pikir dia sedang di acara fashion show? Dan yang paling bodoh kenapa Watson malah menjelaskannya sedetail itu?!

Rencana hari ini Watson mau membeli kue tart rasa Red Velvet demi mendapatkan diskon VIP mumpung kafe langganannya—Kaffeinate—sedang mengadakan promosi besar-besaran. Kenapa dia malah bertemu Aiden? Kenapa dia ada di sini?

"Wah, lihat anak itu! Dia manis dan cantik sekali. Seperti putri."

"Bukankah dia Aiden Eldwers yang sedang trending itu? Aku mau minta tanda tangannya!"

"Ya ampun, karismanya bukan tandingan kita. Ini mah kelas atas!"

Telinga Watson dapat mendengar komentar-komentar positif para netizen di area kafe. Mereka menatap Aiden dengan tatapan kagum dan berbinar. Terutama kaum adam yang mulai melakukan modus. Ada juga kumpulan anak kuliah yang merasa minder melihat penampilan manis si Aiden. Mereka sampai memberi Aiden jalan bak Tuan Putri.

Watson menelan ludah. Dia tahu Aiden itu cantik, tapi dia tidak tahu kalau Aiden lebih super duper cantik memakai baju rumah. Dia memang berada di tingkatan yang berbeda.

Lihatlah dia sekarang, dia mirip seperti Tuan Putri tengah berjalan-jalan di luar istana. Watson tidak salah nih berteman dengan anak golongan atas seperti Aiden? Dia jadi merasa tak enak telah memperlakukan Aiden seenaknya selama ini sementara kaum adam berbaris antri meminta ID line atau sekadar jabatan.

Hmm, lain kali aku harus bersikap baik padanya. Paling tidak menuruti kemauannya sesekali. Watson mengangguk-gangguk tak jelas.

Tapi, ya, yang membuat Watson malas pada Aiden karena permintaannya itu terlalu berlebihan dan tak mungkin bisa Watson kabulkan. Kenapa dia tidak peka saat Watson bilang identitasnya tidak boleh bocor yang artinya wajah Watson tidak boleh diketahui? Dasar cewek rumahan!

Kue Aiden telah siap dikemas membuat cewek itu buru-buru membayar ke kasir. Watson benar, dia sepertinya datang ke kafe itu cuman untuk mengambil pesanannya.

Aiden membungkukkan badan lantas keluar dari toko. Para adam dan hawa sesekali cengo serta kagun melihat pesona yang dipancarkan oleh Aiden. Sungguh menyilaukan!

Watson mendesah lega dalam hati. Bagus, cepatlah pergi supaya aku bisa ke sana!

Tiba-tiba, entah dari mana datangnya, seorang pengemis menyibak kerumunan dan "menyerang" Aiden sembari memegang selembar brosur. Ini tentu membuat penduduk sekitar kafe menjerit kaget. Mereka berpikir ada orang gila mencoba melukai seorang gadis.

"Astaga! Siapa pun, tolong gadis itu!" teriak salah satu warga mundur dari lokasi.

"Pak Polisi? Ada orang gila menyerang seorang remaja! Lokasinya di Kaffeinate." Ada juga yang sedang panik, menelepon kantor polisi terdekat.

Watson bergeming, tetap mengintip dari tempat parkir. Wajahnya kaget dalam artian penasaran.

Lihatlah, Aiden sama sekali tidak terlihat kaget atau takut "diserang" oleh orang asing pengangguran. Dia malah memasang wajah datar tiada jijik atau merasa geli.

Pengemis itu menarik-narik baju Aiden. "Tolong, tolong bantu aku! Tolong bantu aku mencari adikku!"

Aiden diam mencerna.

Tak cukup sepuluh menit, tiba polisi yang berpatroli di kawasan situ. Mereka langsung saja menyeret si pengemis menjauh dari Aiden tanpa basa-basi. Pengemis itu meronta-ronta sambil menyeru-nyerukan nama orang, menangis tersedu-sedu.

"Tolong bantu aku menemukan Vio! Dia adalah segalanya bagiku! Tolong...!" seruannya terputus karena para polisi memasukkannya ke dalam mobil patroli secara paksa.

Mobil itu melaju ke jalan raya, meninggalkan Kaffeinate yang sekarang sedang sibuk menanyakan kondisi Aiden.

"Astaga! Apa yang terjadi? Apa Anda baik-baik saja, Nona Muda?" tanya seorang bodyguard berjas hitam, muncul dari belakang mobil tunggangan Aiden. "Saya benar-benar minta maaf lengah dalam menjaga Nona Muda!"

Aiden mengibaskan tangan. "Tidak."

*

Kepolisian Moufrobi.

Brak! Meja dipukul kuat.

"Kenapa kamu tidak mengaku saja, hah?! Kamu mencoba menyerang seorang gadis! Jangan memperumit masalah!" [Max Morix, 29 tahun, Detektif Divisi Investigasi].

Pengemis berbaju tak layak itu menundukkan kepala ke bawah, tidak berminat menjawab pertanyaan Max. Lagian dia hanya meminta tolong, tidak melukai ataupun merampok. Orang-orang di sana yang asal menyimpulkan.

"Kudengar gadis yang dia serang seorang murid dari Madoka, bukan?" tanya detektif wanita yang ada di ruangan. "Aiden Eldwers. Hoo, bukannya dia salah satu anggota klub detektif yang sedang terkenal itu?" [Shani Rosemarie, 25 tahun, Detektif Divisi Investigasi].

Max menunjuk-nunjuk si pengemis yang tak lain tak bukan adalah Isu dengan wajah sangar. "Dia pasti mempunyai motif tersembunyi! Menyerang secara terbuka, apa kamu ingin cari perhatian, hah? Kamu beruntung pihak korban tidak mengajukan tuntutan."

"Aku hanya ingin meminta bantuannya untuk mencari adikku! Apa itu salah?!" bentak Isu gemas tidak dibiarkan membuka mulut, membela diri.

Selalu begini! Selalu saja Isu jadi pihak yang bersalah! Kenapa mereka terus menatap dari sebelah mata? Hanya karena dia keturunan orang bawah, dia tidak punya hak untuk meminta bantuan orang-orang elit begitu? Isu hanya mau menemukan Vio! Hanya itu!

"Kecilkan suaramu, Pengangguran Bodoh! Kamu pikir kamu ada di mana?! Jangan membuatku melemparmu langsung ke penjara!" Max termakan emosi, bangkit dari kursi dan mencengkeram Isu. Marah.

"Aku tak peduli! Selama aku bisa menemukan Vio, bahkan masuk ke penjara atau dieksekusi pun aku tak peduli!" seru Isu menangis. "Dia segalanya bagiku. Aku membuang harga diriku hanya untuk dia. Tanpa dia aku bisa apa? Tidak ada lagi gunanya aku hidup!"

Seluruh petugas yang ada di divisi investigasi bungkam. Termasuk Max (melepas cengkeramannya) dan Shani—menghentikan kegiatannya mengetik di komputer.

"Aku ... aku sudah mencarinya ke mana-mana sampai aku hampir mati kelaparan. Tetapi aku tetap tidak bisa menemukan Vio. Kakak macam apa aku ini?" Isu sesegukan. "Namun, aku tidak menyerah! Aku positif percaya Vio masih hidup dan sedang menunggu aku datang menyelamatkannya!"

Dari pintu depan, masuk seseorang berjaket kulit hitam, bergabung dengan anggota dan bawahannya yang lain sambil membaca sebuah berkas. Saking seriusnya membaca data-data di papan berkas itu, dia sampai tidak sadar keadaan ruangannya.

"Secercah harapan mendatangiku. Aku melihat mereka di TV, tiga murid yang memecahkan sebuah kasus pembunuhan. Dengan kepintaran mereka, mereka pasti bisa menemukan Vio!" ucap Isu mengepalkan tangan. "Aku tak perlu repot-repot mengemis di depan kantor kalian yang bisa kutebak tidak akan diacuhi. Apa kalian benar-benar seorang polisi?"

"Apa katamu, Brengsek?!" Max hampir melayangkan tinju ke wajah kotor Isu jika Shani tidak buru-buru menahan gerakannya.

"Tenangkan dirimu!"

"Ah, aku tahu..." Isu belum selesai menyindir. "Aku kan miskin, tak punya uang dan tak berharga. Apa untungnya bagi kalian membantu rakyat jelata seperti kami? Itu pasti hanya akan membuang-buang waktu kalian, kan? Yang ada di kepala kalian hanya membantu masyarakat dari keluarga berada."

"TUTUP MULUTMU SEBELUM AKU MEMBUNUHMU, SIALAN!"

"BUNUH SAJA! AKU TIDAK PEDULI PADA HIDUPKU JIKA VIO SUDAH MENINGGALKAN DUNIA INI!" sahut Isu tidak mau kalah meneriaki seluruh petugas di sana. Matanya berair, mengigit bibir demi menahan rasa amarah yang membuncah. "Tapi ... paling tidak... bantu aku menemukan jasadnya."

Mendengar seruan-seruan lengking, Ketua Unit Investigasi yang baru saja datang, berhenti melangkah seraya menoleh ke samping. Ada apa ini? Demikian maksud ekpresinya.

Isu mengelap matanya dengan ujung lengan baju. "Kalau kalian tidak mau membantuku, tidak apa-apa. Aku bisa meminta bantuan mereka. Kalau mereka juga tidak mau membantu orang miskin sepertiku, harapan terakhirku tinggal anak bernama Watson Dan!"

Deg! Terdiam.

Deon Ernest, ketua Divisi Investigasi, membulatkan mata kaget demi mendengar nama familiar yang dilontarkan oleh Isu. Sementara polisi-polisi di sana mulai saling bisik. Siapa itu Watson Dan?

Tak perlu berpikir dua kali, Deon segera mengambil alih interogasi.

"Biar aku yang mengurus sisanya," ucap Deon menarik keluar Isu dari ruangan, menatap seluruh oknum di dalam dengan tatapan setan. "Kalian semua jangan coba-coba mencari tahu jika masih ingin bekerja di sini."

"Ba-baik, Pak."

*

"Aku akan to the point," kata Deon setelah memberi segelas kopi dingin pada Isu. "Dari mana kamu mengetahui soal Watson Dan?"

"Kenapa kamu malah bertanya pada pengemis sepertiku? Anda polisi, kan? Tentu koneksi dan informanmu banyak—"

Brak! Jantung Isu mencelus dari tempatnya melihat Deon yang memukul permukaan meja. Rahangnya mengeras.

"Katakan padaku. Ini penting sekali." Deon berusaha mengendalikan emosi. "Aku bisa mempertimbangkan hukuman untukmu. Jadi, beritahu saja padaku. Dari mana kamu tahu soal Watson?"

"A-aku datang ke Madoka untuk bertemu dengan mereka," jawab Isu gelagapan. Aura pria di depannya lebih berbahaya daripada pemuda pemarah tadi. "Lalu aku melihat Aiden tengah berbicara dengan seorang laki-laki, menyebut-nyebut nama anak itu. Karena penasaran, aku pun mengikutinya. Anak itu tak sengaja menjatuhkan sesuatu. Benda ini tergantung di tasnya."

Isu mengeluarkan sebuah sapu tangan biru keputihan yang kotor berkat pakaiannya. Deon memeriksa benda itu secara teliti. Benar saja. Ada tulisan Watson Dan di tepi sapu tangan.

Deon tersenyum licik, menyeringai puas. Dia menemukan cara brilian untuk menangani si detektif remaja yang pemalu. Sapu tangan itu pastilah sangat berharga bagi Watson.

Sepintar apa pun kamu, sekeras apa tekadmu, kamu tetap lah bocah yang bisa melakukan hal ceroboh kapan saja.

*

Hari senin sepulang sekolah.

"Untukku?" Watson mengerjap. "Tapi ini kelihatannya mahal, Aiden."

Seperti biasa, Aiden menggerai rambut emas kebanggaannya namun mengambil sedikit rambut untuk dikepang seperti bando di atas poni. Lalu menyematkan pita berwarna putih-aqua di sisi kanan.

Jadi, dia kemarin ke Kaffeinate untuk membelikanku kue? Dalam rangka apa? Ulang tahunku masih jauh perasaan, ucap Watson dalam hati. Dia menatap ngiler kue red velvet di depannya. Sialan! Dari mana cewek ini tahu kue kesukaanku!

Aiden tersenyum geli melihat wajah lucu Watson. "Aku membelinya memang untukmu kok! Jangan sungkan memakannya. Nanti Jeremy sama Hellen keburu masuk lho."

Watson menatap sekitar, memastikan tidak ada siapa-siapa di sana kecuali dia dan Aiden. Tanpa perlu disuruh, langsung saja Watson menepuk kedua tangan.

"Selamat makan," serunya mengambil sendok, segera menyantap kue RV itu dengan lahap. Sebuah panah cinta menembak hati Watson. Kyaa! Manisnya tepat di hati!

Aiden menopang dagu, memandangi Watson dengan senyuman cerah. Sesekali dia terkekeh melihat Watson yang makan seperti anak kecil. Mereka seperti pasangan saja!

Mendadak Aiden teringat pengemis kemarin.

"Hei, Dan," panggil Aiden tanpa ekpresi. "Apa yang akan kamu lakukan saat mengetahui adikmu diculik dan tahu kalau adikmu sedang diambang kematian?"

"Hmm? Tentu saja mencarinya sampai ketemu," balas Watson cepat. Mulutnya cemong oleh krim kue. "Selagi ada harapan bahwa dia masih hidup, tak peduli berapa tingkat persentase keselamatannya, aku akan tetap menemukannya jika itu aku."

"Begitu..." Aiden memejamkan mata, tersenyum kecil mendengar balasan Watson yang di luar dugaan.

Karena Watson itu anak tunggal, jadi dia tidak terlalu mengerti perasaan kakak-kakak yang kehilangan adiknya. Dia spontan mengatakan itu sebagai intuisi.

Ah, benar juga. Apa yang sedang dibicarakan oleh Aiden adalah pengemis kemarin ya? Orang yang meminta bantuannya untuk mencari adiknya namun malah jadi sebuah kesalahpahaman.

Bukannya Watson memilih-milih status (dia bahkan membenci yang seperti itu) hanya saja Watson tidak bisa membantu sembarangan orang yang bukan seorang klien. Watson bukan detektif yang independen. Semua gerak-geriknya dipantau oleh dewan siswa alias anggota konsil merujuk klub detektif Madoka 'dikendalikan' oleh mereka.

Mengingat fakta itu membuatku kesal saja. Watson mendengus sinis. Kue pemberian Aiden tandas olehnya tak cukup sepuluh menit. Benar-benar dah.

Seluruh kinerja tubuh Watson berhenti. Tidak ada lagi sapu tangan kesayangannya tergantung di ransel. Padahal dia ingat telah mengikat kain itu erat-erat sebagai mainan resleting tasnya.

Ke mana perginya benda itu? Kenapa Watson tidak menyadarinya? Kenapa Watson bisa seceroboh itu menghilangkan buatan tangan terakhir ibunya?!

"Ng? Kenapa, Dan?" tanya Aiden heran melihat Watson yang gemetaran.

"S-sapu tanganku..."

"Mencari ini?" cetus seseorang bergabung ke ruang klub. Baik Aiden atau Watson, mereka berdua sama-sama menoleh serempak ke sumber suara.

"Detektif Deon?"









Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top