File 0.3.2 - Invitation to Teamwork

Watson celingak-celinguk mencari posisi yang bagus, langsung melompat bersembunyi di balik tembok. Wujudnya nyaris tertangkap oleh mata elang Aiden yang baru saja tiba di belakangnya.

"Astaga! Ke mana anak itu pergi? Barusan dia lewat sini, kan?" seloroh Aiden mengatur napas yang terengah-engah. "Padahal kita sudah berjanji mau party, kenapa dia pulang tanpa memberi kabar?!"

Hellen terkekeh. "Mungkin Watson memang tidak mau ikut acara begituan, Den. Kamu juga tidak boleh memaksanya."

"Tapi kan aku hanya mau bilang..." Aiden menghela napas panjang. Aiden tahu kalau dia tidak boleh memaksakan kehendaknya, namum dia cuman mau berterima kasih pada Watson. Si sherlock pemurung itu.

Tidak bolehkah Aiden merayakan pesta kecil-kecilan atas kasus yang mereka selesaikan berkat arahan Watson? Atau Aiden kirimin sesuatu ke rumahnya? Dengan begitu Watson tidak akan menolak seperti sekarang.

"Hufft, baiklah." Aiden mendesah kecewa, menyerah mencari Watson. Mereka bertiga sekali lagi menoleh ke sekeliling, berharap menemukan sosok Watson, lalu beranjak pergi dari sana.

Aiden bersumpah, besok dia akan mengunci pintu klub saat Watson datang dan masuk ke dalam. Dia tidak boleh membiarkan Watson kabur lagi!

Mereka pun berlalu.

Sayang sekali, jika mereka memperhatikan keadaan jalan lebih teliti maka mereka menemukan Watson yang bersembunyi tepat di balik tembok rute jalan mereka.

Dia melompat ke trotoar, menepuk ujung seragam yang kotor. "Maaf ya, Aiden, aku tidak mau wajahku dilihat oleh banyak orang. Siapa tahu di sini ada yang mengenalku."

Asyik membersihkan seragam, mata Watson tak sengaja melirik brosur kehilangan di salah satu tiang lampu jalan raya. Dia menghentikan sejenak aktivitasnya, menatap kertas itu lekat-lekat.

Tangan Watson mengambil brosur tersebut, menatapnya bingung. "Anak hilang? Apa jangan-jangan ulah Child Lover lagi?" gumamnya membaca keterangan yang tertera di brosur. "Kalau dia dibiarkan terus, populasi anak-anak di Kota Moufrobi akan menurun."

Watson menurunkan tangan ke bawah, memasang ekpresi serius. Dia ingat sekali tumpukan surat permohonan kasus penculikan yang diterima oleh klub detektif Madoka. Sebanyak itu surat permohonan oleh mereka yang kehilangan buah hati atau keluarga.

Bagaimana sekarang? Apa Watson harus mulai bergerak? Di sisi lain, dia tidak mau berurusan dengan hal-hal mencolok seperti CL takut nanti media menyorot dirinya. Bisa gawat kalau Paman Beaufort tahu kalau Watson mencoba bermain dengan dunia misteri lagi.

Di sisi lain pula, dia mau mengatasi keresahan penduduk. Watson mau menyelesaikan masalah CL dan memulangkan putra-putri yang disekap kembali ke keluarganya.

Mementingkan identitas atau rasa simpati pada masyarakat? Watson dilema hendak memilih opsi yang mana.

Menatap brosur di tangan, Watson menaikkan satu alis ke atas. Di sana ada gambar anak sekitar sepuluh tahunan, berkulit putih, berwajah blasteran, berambut ungu terang. Terakhir bola mata yang senada dengan rambut.

"Namanya Vio, ya?"

*

"Lihat saja besok, Dan! Aku akan mendiamkanmu habis-habisan!" sungut Aiden membanting pintu mobil. Dia melempar tas ke samping, mulai berinteraksi dengan AC mobil. "Aku takkan membalas kalau kamu bertanya!"

"Ada apa, Nona Muda Aiden?" tanya sang sopir yang mengendarai mobil, memasukkan gigi satu. Mobil sedan putih melaju ke jalan tol berbaur dengan mobil-mobil lain.

Aiden membalas ketus, "Aku kesal dengan seseorang. Bawaannya darah tinggi," katanya mengipasi wajah yang memerah karena cuaca panas. Udara AC mobil belum cukup untuk mendinginkan kepala Aiden.

Sang sopir ingin terkekeh tapi batal demi melihat raut wajah Aiden yang sebal. Penampilannya kacau sekali. "Apa Nona Muda bertengkar dengan Nak Jeremy?"

Aiden menggeleng, menopang dagu ke sandaran jendela mobil. "Anggota baru klubku. Kalai Jeremy cari lawan denganku, dapat kupastikan besok dia opname di rumah sakit."

Si sopir meringis mendengar kalimat Aiden, tetap fokus pada setir. Mengingat dirinya yang sudah bekerja selama lima belas tahun lebih di keluarga Eldwers, dia tahu kalau Aiden diajarkan bela diri oleh ayahnya sejak kecil. Bahkan beliau menyewa atlet bela diri untuk melatih Aiden supaya Aiden bisa menjaga diri.

Satu keluarga sudah tahu Aiden itu maniak sekali dunia detektif. Jadi, wajar dia perlu punya pembelaan diri setiap kali dia menghadapi kasus yang nantinya berbahaya. Saat mengejar pelaku misalnya.

"Anggota baru?" balas si sopir menginjak pedal rem. Lampu merah menyala. "Ah, anak bernama Watson Dan yang Nona Muda katakan waktu itu, ya? Murid baru di kelas Nona yang mampu membuat Nona tertarik tak cukup beberapa hari."

"Huh! Aku hanya sekadar tertarik dalam artian mencari member baru selagi aku sekretaris klub," sanggah Aiden bersedekap tangan.

Sang sopir menatap wajah sombong Aiden lewat kaca spion, tersenyum kecil untuk mengisengi putri bungsu keluarga Eldwers itu. Lampu hijau menyala membuat beliau menginjak pedal gas dalam kondisi stabil.

"Saya tahu sekarang alasan Nona Muda gandrung selama tiga hari. Apakah itu karena lelaki bernama Watson Dan itu?"

Sindiran tepat sasaran.

Lihatlah wajah Aiden sekarang, memerah seperti kepiting rebus, memerah seperti tomat yang baru masak. Dia menepuk punggung bangku sopir, mencak-mencak tak terima.

"A-apa sih! Siapa pula yang lagi kasmaran! Pak Gion tuh yang turi-curi pandang sama pembantu baru yang dipilih Papa. Dih!" sungutnya makin sebal, membuka jendela mobil. AC tidak cukup untuk menyegarkan pikiran Aiden. Dia butuh udara alami.

Si sopir terkekeh pelan.

Aiden tak henti-hentinya bersungut-sungut demi melihat Gion, sopir sementara, menertawakannya. Kenapa hari ini banyak orang yang membuat mood-nya jelek? Terutama si Watson! Rasanya Aiden ingin merobek cowok itu jadi dua saking gemasnya! Tapi...

Aiden menyentuh kepala, teringat perbuatan Watson, kemudian tersenyum malu.Kurasa Dan tidak sejahat yang kukira, batinnya menatap ke jalan raya. Mobil mereka melewati sebuah toko kue yang sepertinya sedang mengadakan event.

"Ah!" Aiden tersentak. "Pak Gion, tolong hentikan mobilnya."

*

Betapa kagetnya Watson melihat sosok Deon berdiri di depan gerbang rumahnya.

Deon menoleh ke arah Watson yang terlambat untuk bersembunyi. Dia tidak mungkin kabur terbirit-birit ke belakang demi menghindari orang itu, kan? Secara, Deon seorang Inspektur Kepolisian. Bukan orang gila. Justru nanti dia yang dicap gila oleh tetangga.

"Mau apa kamu—Inspektur kemari?" ralat Watson kikuk, nyaris lupa status lawan bicaranya yang tinggi daripada dia seorang pelajar remahan. "Apa Anda masih bersikeras soal masalah pohon sakura itu? Maaf saja, jika itu niat Anda ke sini—"

"Jangan formal begitu," potong Deon melepas kacamata hitamnya. "Silakan berbicara yang membuatmu nyaman."

Watson berhitung dalam hati, melirik jam tangan yang menunjukkan pukul setengah enam. Karena hari ini hari sabtu, pamannya akan pulang lebih awal dari hari-hari biasa. Bisa gawat kalau dia kepergok berkenalan dengan seorang berprofesi polisi.

Kenapa Deon ada di gerbang rumahnya? Apa yang dia lakukan di sana? Dari mana dia tahu alamat Watson? Mungkinkah dugaan Watson pertama kali berjumpa dengan Deon itu benar? Deon tertarik padanya? Sialan.

Melihat Watson yang bungkam, Deon menghela napas panjang. "Aku hanya mau minta maaf atas perbuatanku padamu terakhir kali. Waktu itu aku kehilangan kendali dan melampiaskannya kepadamu," ucap Deon sopan. Tidak ada nada ragu dari intonasi suaranya. "Apakah tanganmu tidak apa-apa?"

Aku harus mengusir orang ini!

"Ini bukan hal yang menyakitkan. Kalau memang hanya itu tujuan Anda, sekarang, bisa tolong pergi dari rumah saya? Paman saya akan segera pulang. Beliau tidak suka polisi. Anda paham maksud saya, kan?" kata Watson tegas, melangkah masuk ke perkarangan rumah. "Kalau begitu saya permisi."

"Aku ingin mengajakmu bekerja sama," cetus Deon sebelum Watson mengunci pintu gerbang.

"Apa?" Watson menoleh.

"Bantu aku menemukan Child Lover." Deon menyambung ucapannya dengan nada dan wajah serius. Dua kali lebih serius dibanding permintaan maaf tadi. Berkat keseriusannya, Watson jadi mematung kaget. Dia bersungguh-sungguh menginginkan bantuan Watson.

Yang diajak bernegosiasi mendengus tak peduli. "Buat apa saya menerima ajakan itu? Saya hanya seorang murid biasa bukan detektif. Anda sepertinya terlalu lelah dengan pekerjaan Anda, Tuan—"

"Benar, aku lelah sekali." Lagi-lagi Deon menyanggah. "Pernah aku berpikir untuk menyerah akan kasus penculikan beruntun anak-anak yang dipercayakan oleh divisiku, tetapi demi melihat air mata ibu dan ayah yang kehilangan anak mereka, aku kembali membulatkan tekad."

Watson tahu itu. Dia juga merasakan perasaan yang sama. Tapi Watson bisa apa? Situasi serta egoisme tidak mendukung keinginan Watson untuk membantu masyarakat sipil.

"Kenapa aku meminta bantuan remaja daripada mencari detektif terkenal? Karena aku bisa merasakannya," ucap Deon mengaburkan lamunan Watson. "Kamu punya bakat itu. Kamu punya potensi untuk jadi detektif yang bekerja di balik layar."

Watson ingin menjawab, namun Deon tidak membiarkan Watson memotong sampai dia selesai berbicara.

"Masalah kasus taman bermain, itu ulahmu juga, kan? Kamu lah yang memberi arahan pada teman-temanmu dari belakang. Mereka menjadi matamu dan kamu jadi otak mereka. Apa aku salah?" desak Deon menyudutkan Watson.

Dia tahu soal taman bermain Mouseele? Apa dia inspektur yang ditunjuk menangani kasus pembunuhan itu? Watson tiba-tiba tersentak menyadari surat permohonan yang diterima oleh klub detektif di antara puluhan tumpukan surat.

"Jadi kamu yang mengirim kasus itu ke dalam surat permohonan?" tanya Watson masam. Sekarang semuanya jelas. Dari awal, Deon memang sudah tertarik pada Watson dan memancingnya lewat sebuah kasus lain. Kurang ajar! Kenapa Watson bisa termakan umpan pria tengik ini?!

"Kamu tak perlu khawatir." Deon memasang kacamata hitamnya, membuka pintu mobil. "Aku akan memprioritaskan identitas dan keselamatanmu. Bahkan kalau perlu, aku akan meminta anak buahku untuk menutup segala tentangmu. Jadi kamu bebas menggunakan bakat detektif-mu itu tanpa perlu takut diketahui orang lain atau pamanmu yang arogan."

Bahkan dia juga tahu soal kebencian Paman?! Dia benar-benar mengstalker biodataku! Watson hendak mengejar Deon, namun mobil kuning lamborghini yang dikendarai oleh Deon sudah beranjak pergi.

Tangan Deon keluar dari jendela, melambai-lambai. "Mulai besok mohon kerja samanya, Watson."

"Tunggu! Aku tak pernah mengiyakan ajakanmu!" Watson berseru.

Terlambat. Mobil itu sudah menjauh. Ck!

"Terima kasih atas bantuannya! Kerjamu cepat seperti biasa." Watson menoleh ke rumah tetangga terpisah lima blok. Terlihat pemilik rumah berterima kasih pada seorang petugas listrik.

"Sama-sama, Nyonya. Lain kali cepat panggil saya. Jangan coba-coba memperbaikinya sendiri." Si montir listrik itu menenteng kotak peralatannya, berbalik, dan bersitatap dengan Watson.

Secepat mungkin Watson mengalihkan pandangan ke mobil Deon yang hilang di patahan jalan. Dia berdecak kesal.

Masalah ini semakin rumit. Dia yang awalnya berjanji tidak bermain misteri lagi, runtuh karena Aiden. Sekarang, Watson akan berhubungan lagi dengan seorang polisi? Tapi, ini mungkin ada untungnya.

Mungkin dengan menjalin kerja sama bersama Deon bisa membantu Watson mencari tahu siapa yang membunuh orangtuanya.












Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top