File 0.3.1 - More and More Famous

Karena kasus taman bermain Mouseele, keyakinan massa semakin kuat bahwa klub detektif Madoka bisa diharapkan untuk menangkap Child Lover. Mereka terkenal seantero sekolah.

Ramai banget. Watson mengeluh dalam hati melihat pemandangan heboh di depan.

Kemarin-kemarin para wartawan, sekarang murid-murid dari sekolah lain berdatangan. Besok apa? Presiden datang kemari? Atau Avenger sekalian. Tidak bisakah ruang klub sedikit lebih damai!

Tak peduli pada lautan siswa dengan seragam berbeda yang berkumpul di depan klub detektif Madoka, Watson melangkah gontai melewati mereka menuju kelasnya—yah, Watson sudah tahu bahwa hari ini PBM ditiadakan mengingat sekarang adalah hari sabtu. Hari dimana murid-murid menghabisi waktu di klub pilihan.

Di situ pula kesempatan bagi mereka menerobos masuk ke Madoka, menjerit-jerit tak jelas di depan klub. Mereka pikir member klub detektif seorang artis atau aktor apa. Lama-lama geli Watson dibuatnya.

Untunglah Aiden benar-benar menyembunyikan tentang Watson. Tidak ada satu pun orang yang mengetahui bahwa ada satu member lagi di klub detektif Madoka, anggota rahasia.

"Kumohon, tolong bantu aku menemukan adikku!"

Langkah Watson berhenti, menoleh ke kerumunan bak obral daging murah.

Dari semua ocehan, telinga Watson menangkap sederet kalimat lemah tertelan di antara ratusan kicau murid-murid sekolah lain. Mereka saling dorong menunggu pintu klub dibuka.

Watson memicingkan mata. Dia berhasil menemukan pemilik suara tersebut, terhuyung karena arus kerumunan. Tapi konsentrasi Watson pecah karena dikejutkan oleh kedatangan seseorang dari belakang.

"PAGI, DAN! Bagaimana malammu?" cecoros si Tuan Putri Aiden sok akrab. Dia menebar banyak bunga berseri berharap cowok dingin satu itu akhirnya luluh akan pesonanya.

Watson mengurut dada, separuh cemas ada yang menyadari keberadaan Aiden—mereka masih fokus memelototi pintu klub. Watson perlu berlatih untuk tidak kaget setiap kali Aiden muncul.

Memperhatikan penampilan Aiden seperti biasa, cewek itu menguncir tinggi rambutnya jadi dua dan memakai pita kupu-kupu hitam biasa.

"Tumben hanya begitu?" tanya Watson menunjuk rambut Aiden.

Aiden menjawab lain. Wajahnya berseri-seri menatap Watson seperti menatap permata. "Hei, yang kemarin itu kamu membantu kami, kan? Kamu ada di sana memantau keadaan dari jauh, kan? Lantas menolong ketika kami buntu. Jawab, Dan!" tutur Aiden tanpa jeda.


Watson memutar bola mata, mengabaikan Aiden, kembali melangkah. "Aku sudah bilang, aku pobia taman bermain. Kamu pikir aku pembohong?"

Aiden nyengir, menyejajari langkahnya dengan Watson. Mereka berdua perlahan menjauh dari kerumunan ruang klub.


"Tapi timingmu memberi petunjuk terakhir benar-benar tepat, Dan! Aku salut!" beo Aiden masih dengan mata berkilauan. Telinga Watson serasa ingin pekak. "Terima kasih atas petunjukmu. Berkatmu aku bisa menganalisa bukti terakhir dan membuat pelaku menyerahkan diri!"

Watson menghela napas lelah dengan semua ocehan yang keluar dari mulut Aiden. Dia mempercepat langkahnya, ingin cepat-cepat menghilang dari si Tuan Putri Cerewet itu.

Jujur saja, tadi malam Watson hampir tidak tidur sama sekali. Insomnya kambuh membuat Watson terjaga sampai jam empat subuh. Lihatlah mata Watson, terlihat seperti mata panda dan merah. Kurang tidur. Bahkan saat masuk ke gerbang sekolah, Watson sudah menguap sebanyak lima kali. Mana dia lupa sarapan sebelum pergi lagi. Paket komplit.

"Hari ini kami berencana party di kafe langganan untuk merayakan kasus pertama kita, Dan. Kamu harus ikut, ya! Aku tidak menerima penolakan. Toh, kasus kemarin selesai semuanya berkat tuntunan darimu juga." Aiden terus mengoceh sepanjang perjalanan seolah sedang curhat tentang piknik sekolah.

Ya tuhan, kapan dia berhenti mengoceh? Telinga serta hati Watson menangis.


"Tapi kamu memang hebat ya, Dan. Bisa tahu kebenaran kasus tanpa melihat TKP secara langsung. Sudah kuduga, kamu memang bertalenta di dunia misteri!"

Watson berhenti berjalan. Matanya cekung akibat tidak tidur. "Aiden..."

"Hm? Ada apa?" balas Aiden cengar-cengir menebar pesona berirama. Bahkan ekspresi bunga-bunga yang dia tunjukkan terlihat berkilap di mata Watson.

Watson berbalik menghadap Aiden.

"Kenapa, Dan? Kamu ingin bilang apa—"

Plok! Mata Aiden membulat sempurna. Ini sungguh sebuah keajaiban luar biasa sejak dia mengenal Watson.

Tangan Watson mendarat di kepala Aiden. Mengusapnya pelan lantas berkata pelan, "Kerja bagus."

Aiden tertegun.

Watson tersenyum licik. Yes! Akhirnya dia diam juga!

*

Taman Kota Moufrobi, 08.18

"Tolong temukan adik saya." Seorang pemuda berambut cokelat blasteran Asia tengah mengemis sambil memberikan selembaran brosur 'anak hilang' pada penduduk kota yang lalu-lalang. Tetapi, jangankan hendak membantu, mereka bahkan menolak uluran tangan si pemuda dengan kasar.

Itu dikarenakan penampilan si pemuda yang kotor dan kumuh. Padahal dia berkulit putih, namun dia menyia-nyiakan berkat polusi udara kendaraan. Belum lagi bajunya yang compang-camping tidak beralas kaki membuat penduduk menatapnya tak sedap.

Siapa mau membantu pengemis yang tidak punya apa-apa sepertinya? Zaman sekarang uang adalah segalanya. Meminta pertolongan kerap memerlukan imbalan atau upah.

Meski begitu, pemuda tersebut tetap tidak menyerah demi menemukan sang adik yang menghilang. Dia membekap tumpukan brosur 'Anak Hilang' ke dada, membulatkan tekad.

"Jangan khawatir, Vio, kakak akan menyelamatkanmu," katanya kembali memberi per lembar pada orang-orang nan berlewatan setengah berharap ada yang mau menolong.

Nama pemuda berstatus pengangguran itu adalah Isu. Dia kehilangan Vio karena ceroboh tidak memperhatikan jadwal pulang adiknya, heboh mencari pekerjaan ke sana-sini untuk kebutuhan sehari-hari serta membayar uang sekolah Sang Adik.

Vio masih sangat muda, kelas empat di bangku sekolah dasar. Tidak mungkin Isu membiarkan Vio menganggur bersamanya di umur segitu. Dia tidak ingin keluarga satu-satunya putus asa dalam menjalani kehidupan.

Jadi, biarlah Isu merelakan studinya dan mulai membanting tulang menjadi kuli demi menyekolahkan Sang Adik. Isu melakukannya dengan sukarela karena dia sangat menyayangi Vio.

Tetapi sekarang, Vio menghilang begitu saja. Seolah ditelan bumi.

"Woah, lihatlah mereka! Padahal masih remaja, tapi bisa menganalisa seprofesional itu." Salah seorang gadis kuliahan berdiri tak jauh dari Isu mengoceh sambil menatap TV besar umum di tengah kota. TV tersebut sedang menyiarkan sebuah berita terkini.

"Apa mereka murid-murid Holmes?"

Telinga Isu menangkap komentar gadis-gadis kuliah di depannya—mereka melangkah ke jalan tol merujuk lampu lalu lintas yang sudah berwarna hijau—beralih menatap sumber yang menarik perhatian mereka bertiga.

TV besar di gedung tengah kota menampilkan berita kasus besar tentang pembunuhan taman bermain Mouseele dan tiga sosok anak dari sekolah berlogo Madoka. TV itu melansir cuplikan deduksi mereka bertiga.

[Tiga detektif Remaja penyelamat Kota Moufrobi! Akankah tiga anak ini berhasil menangkap Child Lover?]

Mata Isu membulat, mendapatkan ide cemerlang. Wajahnya menunjukkan ekspresi bahagia seakan-akan berhasil mendapatkan kunci untuk membuka peti harta karun.

Benar! Dia bisa meminta tolong pada mereka bertiga! Mereka pasti bisa membantu Isu menemukan Vio!

Tanpa berpikir dua kali, Isu langsung melesat pergi menuju Madoka.

*

Sesampainya, Isu dikejutkan oleh banyaknya mobil-mobil sedan hitam dan putih berbaris rapi di tempat parkir. Dia sempat berpikir salah lokasi, tetapi spanduk di depan gedung sekolah tertulis "Madoka Senior High School". Itu membuktikan gedung besar yang dilihat Isu saat ini adalah Madoka.

Baiklah, Isu sudah bertekad akan meminta bantuan mereka bertiga demi mencari Vio. Dan semoga saja tiga anak itu mau menerima permintaan orang miskin sepertinya tanpa meminta imbalan. Isu harus optimis.

Isu melangkah masuk ke dalam sekolah. Dia butuh berjalan lima belas menit untuk melewati halaman depan gedung yang luas. Apa benar bangunan mewah di depannya itu sekolah untuk anak sekolah menengah? Kenapa Isu rasa sekolah itu hanya dikhususkan untuk anak-anak elit?

Perasaan pesimis kembali menguasai Isu. Langkahnya terasa berat, ditambah satu dua murid yang bercengkerama di taman depan meliriknya sambil bisik-bisik.

Apakah pria kotor seperti Isu tidak punya hak memasuki wilayah yang notabenenya golongan atas?

Tapi Isu hanya ingin meminta bantuan klub detektif Madoka untuk menemukan Vio. Sepanjang ada cara mencari keberadaan Vio, Isu rela melakukan apa pun walau itu mesti mencuri uang dan emas.

"Tidak." Isu menggelengkan kepala, tetap melanjutkan langkahnya berani. "Aku ke sini cuman meminta pertolongan, tak lebih. Toh, yang kucari bukan mereka. Aku hanya mencari anggota klub detektif Madoka. Jangan pedulikan omongan mereka, Isu. Pikirkan keadaan Vio!"

Baru saja Isu masuk ke lobi sekolah, lagi-lagi dia dikagetkan oleh rombongan murid-murid berseragam lain tengah berdesakan di depan pintu ruang klub—karena letak klub detektif berada tepat di dekat lorong koridor bagian depan, jadi para klien (sudah menerima izin) yang berdatangan tidak repot-repot mengelilingi sekolah. Termasuk Isu.

Jadi, deretan mobil-mobil yang ada di tempat parkir adalah milik mereka? Apa yang mereka lakukan di sini? Di sekolah lain? Kenapa mereka mengerubungi ruang klub detektif? Apa mereka juga seorang calon klien seperti Isu?

Kalau memang benar begitu, kalau memang mereka semua adalah pasukan klien yang berduru meminta permohonan kasus, maka Isu juga harus ikut mengantri supaya kasusnya diverifikasi oleh anggota klub. Jika dia telat, maka pupus sudah harapan menemukan Vio.

Isu segera ikut masuk ke kerumunan bak konser, mencoba untuk menyibak agar sampai ke barisan depan.

"Tolong temukan adik saya! Dia sangat berharga bagi saya!" teriak Isu yang sayangnya tertelan oleh arus suara khalayak ramai. Mereka saling sikut, membuat badan Isu tak berisi terhuyung kiri-kanan.

Mencium bau busuk, satu dua dari kerumunan fans klub detektif Madoka mulai menyadari keberadaan Isu yang menempelkan tubuh kotornya ke seragam bersih mereka.

"IH! KENAPA ADA GEMBEL DI SINI?! JAUH-JAUH SANA!" seru mereka spontan mendorong Isu ke belakang.

Tubuh Isu mental dari kerumunan lantas terjatuh ke belakang. Semua brosur bawaannya berserakan ke lantai. Ada gambar Vio serta penjelasan dan nomor telepon di sana. Orang-orang gerombolan penonton konser memandangi Isu jijik.

Mata Isu memanas, mengumpulkan kembali brosur-brosur tersebut sambil menahan emosi di dada.

Hidup itu keras. Bagi umat yang berada di kelas atas hanya akan melambaikan tangan pada umat yang menatapnya di bawah. Ada beberapa di antara mereka yang berperikemanusiaan atau hanya sekadar mengasihani. Jika tidak mau melangkah, kita tidak akan mendapatkan apa-apa.

Isu menatap gambar Vio di brosur, mengelap matanya yang kelilipan. "Jangan khawatir, Vio. Kakak akan menyelamatkanmu," lirihnya mendekap lembaran brosur itu erat-erat.

"... Tapi kasus itu terpecahkan berkatmu lho, Dan! Kita harus party untuk merayakannya!" Sayup-sayup Isu mendengar suara seruan riang  dari samping.

Mengangkat kepala yang tertunduk ke bawah, Isu mendapati sosok perempuan berambut kepang ekor dua sedang mengoceh ria dengan seorang cowok sebaya.

Isu menelan ludah. Bukankah itu Aiden Eldwers yang disiarkan di TV taman kota?

Isu mengucek kedua mata, memastikan tidak salah lihat. Benar! Itu benar-benar gadis detektif yang ada di TV!

Kali ini Dewi Keberuntungan berpihak pada Isu. Dia dipertemukan langsung pada ketua klub detektif Madoka. Dengan begini, Isu bisa meminta tolong secara pribadi!

Tapi, eh? Dia berbicara dengan siapa?

"Sudah kuduga, kamu berbakat di dunia detektif, Dan! Kamu memberiku petunjuk terakhir untuk mengakhiri deduksiku. Terima kasih!" Aiden tersenyum lebar.

Cowok di depan Aiden hanya diam.

Isu mematung.

Mungkinkah ketua klub detektif Madoka yang sebenarnya adalah ... dia?











Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top