File 0.2.3 - The Wooden Doll Trick

Pagi hari di sekolah.

"Kalian mau ke mana?" Watson bertanya ketika masuk ke ruang klub. Rencana mau langsung ke kelas, namun hati berkata lain. Entah apa yang dipikirkan kaki Watson membawa pemiliknya ke sana. Mungkin tubuhnya mulai mengikuti ritme harian.

Jeremy menyandeng ransel. Juga Hellen yang tampak bersiap-siap. Mereka seolah hendak pergi ke suatu tempat seakan lupa kalau hari ini PBM sudah mulai dilakukan.

Aiden muncul di belakang Watson, berniat ingin mengejutkannya, tapi Watson lebih dulu menoleh.

"Ke mana?" tanya Watson. Sementara matanya fokus pada rambut Aiden yang berganti gaya lagi. Hari ini Aiden menguncir rambut emasnya dan memakai pita hitam. Cewek itu benar-benar sayang rambut. Selalu memakai sesuatu di kepala.

Aiden menjawab sambil bersungut-sungut, kesal karena Watson peka pada sekitar. "Ke taman bermain Mouseele. Kita diundang oleh Inspektur Deon untuk menyelidiki kasus yang kita diskusikan kemarin."

Watson ber-oh pendek. Berarti Aiden izin hari ini. Baguslah, Watson bisa tenang di dalam kelas walau hanya sehari. Biasanya selama Aiden masuk, hari-hari Watson selalu penuh kemalangan karena cewek hobi menghias rambut itu.

Pamit dari sana, Watson mengepalkan tangan menyemangati mereka bertiga. Walau wajahnya datar. "Semoga beruntung." Tangan Watson meraih gerendel pintu klub yang terkatup sendiri.

"Eh, eh!" Aiden meraih lengan Watson. "Mau ke mana kamu?"

"Ke kelas, ke mana lagi memangnya?"

Aiden memutar bola mata. "Otakmu amnesia ya? Tentu kamu harus ikut dengan kami! Kamu ketua klub detektif Madoka."

"Harus berapa kali kubilang aku tidak mau jadi ketuanya. Biarlah aku sebagai wakilnya saja daripada jadi pemimpin." Watson menggeleng. "Lagi pula aku tak pernah setuju mengenai proposal dadakan tentang pergi ke TKP langsung," sambungnya melambaikan tangan.

Aiden tak bisa membiarkan Watson pergi begitu saja. Secara, dia sudah meminta izin pada wali kelas atas nama Inspektur Deon. Para guru yang mengajar hari ini pun memaklumi karena kegiatan klub detektif Madoka memang akan lebih menghabisi banyak waktu di luar arena sekolah.

Aiden menahan lengan kiri Watson-entah menjadi suatu kebiasaan, Aiden suka sekali memegang lengan cowok yang satu itu. Mungil, kecil, dan gampang ditarik-tarik.

"Apa?"

"Baiklah, kamu bebas memilih jadi ketua atau wakil." Aiden berkata pelan, tidak melepas pegangannya. "Tapi sebagai member klub, kamu harus ikut turun ke lapangan setiap kali kasus menyuruh kita ke sana."

"Aku tidak mau," tolak Watson tanpa basa-basi. "Tidak karena ada orang kasar itu. Kalian lupa? Aku tidak mau disorot media atau disebut-sebut oleh anggota kepolisian."

"Soal itu kamu tak perlu khawatir, Watson." Jeremy yang menjawab. "Inspektur Deon berjanji akan menutup kasus tanpa membeberkan tentang klub detektif Madoka. Beliau akan menutup mulutnya."

Watson mengernyit, keberatan. Dalam hati dia bertekad takkan berurusan dengan Deon. Polisi itu hampir mematahkan tangan Watson. Dia memberi kesan pertama yang buruk!

"Katanya dia juga hendak meminta maaf padamu secara langsung soal tindakannya kemarin." Giliran Hellen yang membujuk.

"Pokoknya aku tidak mau. Kalian pasti bisa memecah kasusnya tanpa aku harus ikut bersama kalian. Bukankah kalian memang sudah terkenal seangkatan saat aku belum ada? Itu karena kalian sanggup mengungkap kasusnya, kan?" Watson bersikukuh. Masih ada hal lain selain Inspektur Deon yang membuat Watson ogah pergi ke TKP.

Aiden menggelengkan kepala, memajukan wajahnya beberapa senti. Watson bisa melihat bening mata Aiden dari jarak sedekat itu layaknya batu permata pink.

"Tim ini sempurna jika ada kamu, Dan."

Watson menelan ludah.

Ini aneh. Benar-benar aneh. Sangat aneh. Super duper aneh. Apa yang tengah merasuki Watson? Tak biasanya Watson merasa gerah dan malu tak jelas begini. Ke mana perginya Watson si malas ngomong?

Tidak. Ayolah, Watson, kali ini kamu harus tegas terhadap pilihanmu!

"Maaf, Aiden, tapi aku tidak bisa ke sana." Watson menggeleng lagi, melepaskan pegangan Aiden.

"Kenapa?" tanya Aiden kecewa.

Senyap beberapa detik sebelum Watson menjawab pertanyaan Aiden. Ketiganya langsung terdiam di tempat.

-

"Maaf kami datang terlambat, Inspektur." Jeremy mewakili Aiden dan Hellen. Mereka bertiga bergabung ke TKP. Ada police line dan beberapa detektif berkumpul di sana.

Taman Mouseele adalah taman bermain yang cukup ternama di Kota Moufrobi. Kasus Reki Ichirou tentu menjadi aib karena bisa dirumorkan yang tidak-tidak oleh para wisatawan. Makanya pemilik sekaligus para pemegang saham atau investor berharap banyak agar kasus ini segera ditutup. Mereka akan rugi besar jika penghasilan harian taman bermain berkurang drastis.

Deon menoleh kepada Aiden, Jeremy dan Hellen yang celingak-celinguk menatap sekeliling. Ada tatapan kecewa menggantung di matanya. "Kenapa kalian hanya datang bertiga? Ke mana anggota kalian satu lagi?"

Aiden dan Hellen berhenti melangkah. Mereka sudah tiba di TKP, membiarkan tim forensik lalu-lalang mengambil foto. Mereka beralih menatap Deon yang lengkap dengan seragam detektifnya-yah, jaket dengan kaos putih biasa. Lalu kartu tanda pengenal di leher.

Jeremy menjawab datar sekaligus tajam. "Anda sepertinya hanya tertarik pada teman kami. Apa Anda kecewa dia tidak datang bersama kami? Lantas bolehkah kami pergi dari sini?"

Deon melirik Jeremy lewat ujung mata, menghela napas kasar, kemudian mempersilakan mereka bertiga masuk ke toilet umum. TKP.

"Jika kalian menemukan sesuatu yang aneh, segera beritahu aku."

Jeremy melihat-lihat keadaan sekeliling dengan wajah datar. Sementara Aiden dan Hellen bertanya-tanya pada polisi yang bertugas, menggali informasi.

Ruangan itu tidak luas, sekitar 6 x 6 dengan banyak fasilitas mewah. Terpasang banyak garis polisi di sana, membatasi tim forensik dan tim polisi detektif.

Jeremy berhenti melangkah, menatap ke depan. Ada crime scene (CS) terpajang di dinding toilet dan bercak darah kering di bawahnya yang meluncur menyentuh lantai. Lalu arena CS di lantai-mungkin itu adalah garis untuk letak organ-organ korban yang berhamburan.

Jeremy mendongak menatap langit-langit dinding. Tidak ada yang istimewa di sana. Tatapan Jeremy menjalar ke sudut-sudut loteng ruangan, memeriksa segala kemungkinan. Terutama toilet paling akhir, paling ujung.

"Ng?" Mata Jeremy menangkap sekerlip benang halus dipantulkan oleh lampu ruangan tersangkut di dekat dinding toilet-terbuat dari kayu yang telah dipermak sedemikian rupa. Jeremy mengikuti arah benang itu, ternyata tersambung ke gerendel pintu toilet.

"Aku memikirkan masalah ini semalam."

Memastikan tidak ada yang memperhatikan, Jeremy masuk ke toilet terakhir, menutup pintunya.

"Sesuai perkiraan Watson," ucap Jeremy menggulung benang halus tersebut. Atensinya fokus pada dinding pembatas toilet sebelah. Benang halus itu menyulur ke sana. "Begitu rupanya."

Jeremy pindah ke toilet samping, mendapati jendela kecil yang sudah didesign terangkai oleh arena belakang taman bermain. Otaknya kembali mengingat penjelasan Watson sebelum mereka pergi ke TKP.

"Ada kemungkinan korban sudah tewas sebelum digantung di dinding toilet. Memang benar pelaku mengeluarkan semua organ korban dan menjahitnya kembali. Dia melakukan semua itu di sebuah gubuk atau rumah tua asing yang jauh dari taman bermain atau di mana lah. Jam kematian korban belum divonis sepenuhnya. Tetapi, soal organ-organ yang berserakan di lantai adalah kesalahan pelaku. Dia pasti meletakkan semua organ itu ke dalam ember selagi mempersiapkan TKP yang strategis dan tak sengaja menumpahkan ember berisi organ dan darah karena tergesa-gesa dikejar waktu."

Jeremy terus menggulung benang halus-benda itu terulur ke arah jendela toilet lalu terhenti karena tertahan atau tersendat sesuatu.

"Pelaku memosisikan tubuh korban berupa salib. Jika tidak ada jejak paku atau sesuatu yang bisa menahan tubuh korban tertancap di dinding, berarti pelaku menggunakan tipu muslihat yang lain."

Jeremy memanjat wc duduk, menongolkan kepala lewat jendela. Benang halus itu tersangkut oleh tiang gazebo.

"Trik itu sangat mudah selama dia mempunyai benang pancing atau tali tipis tak terlihat oleh mata telanjang. Pertama-tama dia memasangkan tali benang ke tangan kiri dan kanan korban dalam posisi duduk, menjaga setiap detik sebelum seorang pengunjung atau petugas kebersihan masuk ke sana. Kemudian, dia juga memasang benang tersebut ke kepala untuk mempermudah proses pengangkatan."

"Jeremy," Aiden memanggil. Ada dua orang paruh baya lawan jenis berdiri di belakangnya. "Kami sudah memanggil dua saksi pertama yang masuk ke TKP."

Saksi pertama adalah seorang wanita berpakaian ala kantor. Wajahnya muda dan teduh. Umurnya sekitar tiga puluhan tahun. Dia tampak menyandeng tas kerja.

Saksi kedua adalah pemuda lajang seumuran yang memakai pakaian biasa. Dia menggenakan sebuah topi rimba bertampang garang namun juga menyedihkan. Kedua tangannya terluka dan memakai perban putih.

Yang dipanggil keluar dari toilet, kembali memperhatikan atap ruangan yang terbuat dari triplek khusus. Mata Jeremy memicing, ada sebuah lubang kecil ukurannya tepat di atas CS posisi korban seolah ada tikus yang mengigiti bagian itu. Lubang yang sama juga terlihat di pinggiran dinding toilet terakhir, saling terhubung.

"Trik ini seperti memainkan boneka kayu. Yakni boneka yang memiliki sendi-sendi dan dapat digerak-gerakkan dengan tali yang diikat pada bagian tertentu tubuhnya."

Hellen dan Jeremy saling tatap, mengangguk. Aiden tersenyum penuh arti. Mereka bisa menyelesaikan kasus ini dengan arahan dari Watson.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top