File 0.2.2 - Just an Assumption

Di antara tumpukan surat permohonan skandal penculikan, terdapat satu surat berbeda. Itu adalah permohonan kasus pembunuhan.

"Korban bernama Reki Ichirou, 29 tahun. Perkara terjadi di Taman Bermain Mouseele. Waktu kematian pukul 7 malam, sebelum jasad korban ditemukan oleh salah satu warga yang ingin memakai toilet sekitar pukul 8. Kondisi tubuh korban saat ditemukan sangat berantakan dan berceceran di lantai toilet. Organ-organ seperti; hati, jantung, usus, paru-paru, semuanya dalam keadaan centang-perenang.

"Tidak hanya itu, setelah mengeluarkan organ-organ dalam korban, pelaku menjahit kembali tubuh korban yang terkoyak besar dengan rapi seolah baru habis dioperasi. Pelaku pun menggantung korban di dinding toilet perempuan, membentuknya seperti posisi salib."

"Tersangka?" Hellen membuka mulut.

Aiden menggeleng. "Karena korban ditemukan di toilet perempuan yang kapan saja bisa dimasuki oleh banyak pengunjung, pihak kepolisian yang mengurus kasus ini tidak diberi hak untuk mencurigai para pengunjung."

"Itu berarti ini adalah pembunuhan umum," cetus Jeremy memainkan kursi. "Pelaku membunuh korban untuk memberitahu para pengunjung secara terang-terangan bahwa tempat itu tidak aman. Dengan kata lain pembunuh amatiran yang sedang mencari ketenaran—seperti Child Lover."

"Tapi, kalau memang itu niat si pelaku, jika pelaku seorang penjahat pemula, tidak mungkindia bisa menjahit serapi ini." Hellen berkomentar, menunjuk foto tubuh korban yang dikirim bersamaan dengan surat permohonan. "Lihatlah kelurusan dan presisi jahitan ini. Hanya dokter atau orang-orang yang memiliki profesi tukang jahit yang bisa menisik dengan amat profesional begini."

Jeremy mengelus dagu. "Mungkin saja pelaku memang seorang dokter? Dia gagal menyelamatkan nyawa pasien dan berubah jadi pembunuh."

"Logika macam apa itu?" Aiden manyun mendengar analisis Jeremy yang sembrono. Dia beralih menatap Watson yang sedari tadi diam mendengarkan. "Bagaimana menurutmu, Dan?"

Semua orang di klub menoleh, ke arah Watson yang menatap datar papan kaca berisi berkas kasus pembunuhan Taman Bermain Mouseele serta tulisan spidol.

Daripada memikirkan tentang kasus, pikiran Watson jatuh pada pengirim surat permohonan tersebut. Tidak ada nama pengirim di sana atau apalah. Surat itu tidak mencantumkan identitas. Hanya amplop polos berwarna merah sementara surat-surat lainnya memiliki nama pengirim, alamat, dan nomor telepon.

Watson berpikir bahwa ada seseorang di luar sana sedang mengujinya. Tidak, bukan menguji. Lebih tepatnya mengawasi. Watson sedang diawasi oleh seseorang.

Pembunuhan di taman bermain. Jika member klub detektif Madoka ingin mengungkap kebenaran kasus ini, ingin menangkap pelaku, mereka harus ke TKP secara langsung untuk memeriksa sekaligus mencari petunjuk. Mereka tidak bisa menyimpulkan tanpa bukti.

Mungkinkah tujuan orang yang mengirim permohonan kasus tersebut memang ingin memancing mereka berempat ke lapangan?

"Dan! Hei, kenapa malah melamun?" Suara Aiden memudarkan imajinasi Watson. "Apa kamu tahu sesuatu?"

"Stern benar," kata Watson singkat. Wajah datarnya tidak hilang. "Ini adalah pembunuhan bermotif. Pembunuhnya berada di sana, keluar dari perkarangan taman bermain dengan berbaur gerombolan pengunjung."

"Kenapa kamu berpikir demikian?" Jeremy menatap Watson heran.

"Korban tewas jam 7 dan tubuhnya ditemukan satu jam sesudahnya." Watson menjawab datar. "Tidakkah kalian merasa aneh? Seseorang bisa menjahit sempurna dalam satu jam. Jika dia cuman menjahit luka sobek kecil, oke, aku bisa terima. Tapi luka koyak sebesar ini akan membutuhkan cukup waktu untuk menutupnya kembali."

Aiden, Hellen dan Jeremy saling tatap. Watson fokus dalam menjelaskan.

"Pelaku dibatasi oleh waktu, menjaga setiap detik untuk membunuh dan menggantung korban di sana." Watson kembali mengoceh, tidak seperti dirinya yang biasa—irit dalam bicara. "Dia sepertinya sudah menyiapkan rencana pembunuhan korban, menyiapkan segalanya."

Aiden mengangkat tangan. "Menurutmu pelaku membunuh korban dengan apa? Maksudku, lihatlah luka sobek dari dada sampai bawah pusar ini. Pelaku merobek tubuh korban dalam sekali serangan."

"Pisau bedah." Jeremy yang menjawab. Akhirnya dia masuk mode serius juga. "Orang-orang berpikir pisau dapur atau pisau buah adalah senjata tajam yang bisa menikam orang dengan cepat satu ayunan. Justru sebenarnya pisau bedah lah yang paling berbahaya. Memang tidak cocok untuk menyerang seseorang dibanding pisau dapur, tidak menghasilkan luka yang signifan, tetapi benda ini bisa membelah perut manusia secara mulus. Lihatlah para dokter yang bekerja di ruang operasi, dengan mudah membuka isi perut manusia."

"Itu berarti pelakunya benar-benar seorang dokter?" Aiden bertanya.

Jeremy mengangguk. "Kemungkinan besarnya iya. Pelaku pasti membius korban lalu mulai 'bermain' dengan tubuh korban sesuka hatinya, membuang organ-organ korban ke lantai."

Hellen mendekap dada. "Kejam sekali membunuh korban secara non-manusiawi begitu. Setelah membunuh korban dia mengeluarkan isi organnya. Apa tujuannya melakukan tindakan itu? Apakah mengoyak tubuh korban tidaklah cukup?"

"Kurasa tidak." Watson punya hipotesis yang berbeda. "Pelakunya bukan dokter."

"Eh?"

"Perhatikan tubuh korban baik-baik," lontar Watson menunjuk foto. "Tidak ada tanda-tanda korban melakukan perlawanan. Biasanya jika seseorang diculik, mereka akan memberontak dan memukuli atau mencakar-cakar tangan pelaku sehingga membuat pelaku memakai cara kekerasan. Dilihat dari lengan otot bawah korban yang terlihat kekar, beliau jelas pandai bela diri. Melepaskan satu tangan asing yang membekap mulutnya tidak akan sulit. Kecuali pelaku membius dengan suntikan. Tapi jika menggunakan jarum, tentu meninggalkan jejak yang bisa diselidiki oleh para detektif dan tim forensik. Itu tindakan gegabah. Dan lagi, pengirim surat tidak memberi foto bekas suntikan. Ini membuktikan kalau korban dibunuh dalam keadaan sadar."

"Tapi, jika pelaku membunuh korban dalam kondisi sadar, pelaku pasti berteriak minta tolong mengingat TKP berada di toilet umum. Pasti ada yang bisa mendengar dan menolongnya." Jeremy berkomentar. Ekspresinya sinis tak jelas.

"Syok Hemoragik."

Topangan tangan Jeremy lepas demi mendengar cetusan Watson. Aiden dan Hellen sama-sama terkesiap.

Watson mengambil salah satu foto, menatap benda itu serius. Auranya berbeda dari Watson si manusia salju. Dia benar-benar mode serius sepenuhnya!

"Sekilas mata korban terlihat melotot biasa. Tetapi, kalau diperhatikan baik-baik, ini bukan pelototan marah. Melainkan melotot karena syok. Setahuku, syok hemoragik merupakan sebuah bentuk dari syok hipovolemik yang terjadi ketika ada perdarahan yang signifikan yang terjadi relatif cepat." Watson melempar foto yang dia pegang ke atas meja, menunjukkan pada Aiden dan yang lain. Itu adalah foto wajah korban. Sebagian lidahnya menghilang. "Berdasarkan tingkatan gejala hipovolemik, kurasa korban berada di tingkat terakhir, tingkat 4. Penurunan volume darah melebihi 40 persen. Tekanan darah, denyut nadi yang sangat lemah, produksi urine menurun.

"Pelaku memotong setengah lidah korban dalam keadaan terjaga membuat rasa takut dan sakit luar biasa berpadu mengguncang korban. Apalagi lidah adalah anggota tubuh yang sensitif. Kedudukannya ibarat juru bicara. Inilah yang membuat korban tak bisa berteriak. Ini juga yang menjadi penyebab kematian korban." Watson masih senantiasa berbicara.

Sunyi. Watson kikuk. "Halo?"

Aiden terperangah. Matanya bersinar. "Sudah kuduga, kamu sangat pintar, Dan! Pemikiran pelik macam apa itu barusan?!"

"Tidak bisa dipercaya. Apa kamu juga diam-diam menguasai ilmu dokter?"

Watson manyun. "Bukan..."

"Tapi masalahnya sekarang tinggal soal jahitan," Jeremy mengacak-acak anak rambut yang mengganggu. "Kenapa pelaku bisa menjahit sebagus itu dalam waktu sempit? Dia pasti juga membutuhkan waktu untuk mengeluarkan organ-organ korban. Belum lagi masalah tulang yang melindungi masing-masing organ. Tidak mudah membongkar isi tubuh manusia. Dan dia melakukannya dalam satu jam?"

"Aku belum tahu soal itu. Tidak ada petunjuk." Watson menggeleng.

"Paling tidak kita sudah mengetahui penyebab kematian korban." Hellen memberi tanda ceklis di papan kaca. "Sekarang masalah jahitan sempurna dalam waktu singkat—"

Kriet! Pintu klub terbuka, memutus diskusi anggota klub detektif Madoka. Mereka serempak menoleh ke sumber pengacau rapat. Pintu klub berderit pelan menampilkan satu sosok.

Watson tertegun. Aiden cengo. Jeremy dan Hellen tidak mengerti.


Dari balik pintu, masuk seorang pemuda gagah, tinggi, kurus namun berotot, mengenakan jas modern. Dia mengenakan kacamata besar hitam untuk menutupi wajahnya.

"Sepertinya aku mengganggu diskusi penting kalian, ya, detektif?"

"I-inspektur ... Deon?" Aiden susah payah menelan ludah. Suaranya bergetar, menoleh cemas pada Watson yang sudah tidak memasang ekpresi apa pun.

Aku harap kamu bisa menyembunyikan tentangku dari pertanyaan para polisi. Terutama detektif bernama Deon.

Benar. Aiden berjanji pada Watson untuk menutup hawa keberadaannya. Tidak ada yang boleh tahu tentang Watson. Aiden sendiri sudah menghalau semua pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut pautkan Watson.

Tetapi kenapa? Kenapa Inspektur Deon berada di sini? Apa yang beliau lakukan di sekolah? Dia tidak bertugas? Dia seorang detektif pemimpin kelompok Unit Investigasi, kan? Kenapa dia ada di sini?

Watson menyambar tasnya. "Aku pergi."

"Dan, tunggu!"

Watson menulikan telinga, mengabaikan seruan Aiden, melengos pergi dari klub.

Seharusnya dia tidak bergabung ke klub itu. Watson sudah membuat kesalahan. Tidak ada yang bisa dipercaya. Tidak ada yang bisa menepati janjinya. Watson lagi-lagi ceroboh. Mau sampai kapan sia diperbodoh oleh kecerobohan?!

Greb! Deon lebih dulu mencekal tangan Watson sebelum cowok itu kabur keluar dari ruangan. "Apa yang—"

"Kasus pohon sakura kemarin, kamu kan dalangnya?" kata Deon dengan tatapan mengintimidasi. "Kamu kan yang menemukan letak tubuh korban? Kamu juga yang mengetahui posisi anggota tubuh korban yang hilang."

Polisi sialan ini ingin mematahkan tanganku? batin Watson meringis merasakan tangannya yang sakit karena cengkeraman Deon terlalu kuat. Dia tidak bisa melepaskannya.

"Lepaskan. Anda menyakiti saya."

Bukannya melepaskan, Deon makin mengeratkan cengkeraman tangannya, menarik Watson lebih dekat. Wajahnya terlihat garang membuat Watson berkeringat dingin.

"Harusnya kamu bersyukur pelaku tidak melihat sosokmu. Kamu bisa saja ditargetkan oleh pelaku karena mengetahui triknya. Nyawamu bisa dalam bahaya, Bocah Bodoh. Kamu pikir kamu pahlawan, hah? Kamu hanya akan menambah jumlah penculikan."

"Maka dari itu, kenapa kamu tidak mencoba menguranginya? Itu tugas polisi, bukan?"

"Inspektur Deon! Kamu menyakiti teman kami!" seru Aiden kesal, bangkit dari kursi. Dia yang melepaskan cengkeraman tangan Deon secara paksa.

Watson mundur ke belakang, memegangi tangannya yang memerah. Deon tidak bercanda mencengkeram pergelangan tangannya, sama sekali tak ragu. Bagaimana bisa orang barbar seperti dia jadi detektif? Dia tidak mempunyai sisi lembut untuk remaja seukuran Watson yang masih bisa dikategorikan 'anak-anak'.

"Walau Anda seorang polisi, Anda tak memiliki hak memasuki arena sekolah tanpa izin." Aiden menggeleng.

Deon membungkukkan badan. "Maaf atas kelancangan dan tindakan kasar saya. Saya tidak bisa menahan rasa kesal saya atas tindakan teman kalian ini."

Jeremy mengambil alih percakapan, tidak membiarkan Deon melirik Watson sedikit pun. Bertanya alasan Deon kemari, tujuannya, serta kenapa dia ngotot ingin mengunjungi klub detektif Madoka.

Aiden mendekati Watson yang mengusap-usap lengan, bertanya, "Kamu tidak apa-apa, Dan?"

Watson menggeleng, menatap masam Deon dari jauh. Mendengus.

Detektif ini ... dia berbahaya. Aku tidak boleh sampai berurusan dengannya.




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top