File 0.10.7 - Back to The Terminus Stadium
Penasaran apa yang dilakukan Watson karena terus memperhatikan laptop, Aiden sedikit mengintip, mengernyit melihat gambar-gambar rubanah yang kosong.
Watson terkantuk-kantuk. Kepalanya rebah, namun dia kembali sadar, jatuh lagi. Waduh, narkolepsi-nya mau kambuh.
"Aneh. Padahal Dan sudah tidur, kenapa itu datang lagi? Jangan-jangan levelnya bertambah."
"Kita biarkan tidur nih?" Jeremy berbisik. Suaranya terdengar serak.
"Tidak bisa! Kita sudah terlalu banyak membuang waktu!" Aiden menggeleng.
"Tapi kita sudah 7 jam nonstop menggali sumber, Aiden, dan tidak menemukan apa-apa. Kau sendiri juga lelah, kan?"
Ting! Tombol di kepala Watson menyala membuatnya langsung melek. Memorinya memutar kalimat Hellen.
Ini pukul satu malam, sudah larut. Bagaimana kalau kita lanjutkan besok?
Itu dia! Watson ingat, memakan tujuh jam untuk menemukan posisi Roxano di lautan kursi penonton pertandingan bisbol.
Brak! Seolah kerasukan sesuatu, tiba-tiba Watson melabrak meja. Tentu Aiden dan Jeremy terlonjak kaget. Mereka masing-masing refleks mengumpat.
"Apa sih, Dan? Kamu mengejutkanku!"
"Kita ke Stadion Terminus," ucap Watson singkat kemudian tergesa-gesa berkemas. Bunyi petir di luar menghentikan gerakannya, berdecak sebal. Hujan bisa menelikung mereka.
"Kamu ingin mencari apa di sana? Aku agak trauma mendalam mengingat kita kena ledakan bom di situ." Aiden memeluk kedua lengan, wajah suram.
Siapa juga yang tidak trauma? Lihat, Watson dengan gerakan alami menyentuh kaki. Bayang-bayang betisnya tertikam pecahan lampu, benar-benar bikin ngilu.
Akan tetapi, mereka harus ke sana. Tinggal sedikit lagi informasi Watson terkumpul. Ketakutan berasal dari ketidaktahuan dan ketidaktahuan berasal dari sifat malas. Watson harus menemukan keping puzzle lainnya.
"Bagaimana caranya kita pergi?" Jeremy menunjuk langit mendung. Menangis tak berkesudahan. "Kita membutuhkan mantel hujan gombrang untuk menutupi tubuh."
"Kita terobos saja!" usul Aiden semangat.
"Sungguh, Den?" Wajah Jeremy sudah seperti suami beranak pinak. Merana.
Watson ingin sekali menangis di dalam hati. Dia pikir menerobos hujan bisa mengatalis penyelidikan? Pusing, Watson duduk di lesehan. Usulan tidak berguna.
"Duh, aku hanya bercanda. Primata kan suka bergurau." Aiden terkekeh, menyambar ponselnya. "Di saat seperti ini serahkan padaku."
Watson semakin murung. Aiden barusan bilang apa? Primata? Watson jadi ragu berapa nilai bahasa gadis itu. Dia seharusnya memakai kosakata yang pas daripada terkesan ambigu.
"Pak Dolok? Kami butuh tumpangan."
*
Sebelum melangkah masuk ke gedung auditorium, Watson sempat memergoki Aiden membicarakan sesuatu dengan pelayan rumahnya.
"Mengenai permintaanku, Pak Dolok menemukannya?" bisik Aiden hati-hati.
"Ya, Nona Muda. Tapi saya sarankan Nona harus waspada. Orang ini bukan remaja biasa. Keluarganya memiliki relevansi kuat terhadap anggota parlemen. Orangtuanya berarti penting di dunia politik."
"Lalu, di mana dia sekarang?"
"Catatan terakhir yang saya temukan, anak muda ini pernah menetap di Kanada. Sekitar dua bulan yang lalu. Saya harus mencarinya lagi."
Aiden mengangguk. "Pastikan kamu menemukannya. Orang ini eksistensi bencana, aku ingin berbicara baik-baik dulu sebelum main tangan. Pak Dolok tahu prinsip keluarga Eldwers."
Beliau membungkuk hormat. Penuh respek. "Tentu saja, Nona Muda. Saya akan melakukan yang terbaik. Tetapi..."
"Kenapa?"
"Sesuai riwayat perjalanannya, saya menemukan hal menarik. Anak muda ini berpindah ke negara lain setiap minggu, dan Kanada adalah persinggahannya yang terlama. Tampaknya dia mencari rumah sakit besar."
Ponsel Watson berdering, terdiam ketika melihat nama kontaknya. Buru-buru dia menjauh. Sialan, Watson tidak bisa menyalahkan si penelpon karena telah memotong aktivitasnya menguping obrolan.
"Ini sudah terlalu lama, Violet. Kamu sudah menemukan Jerena Bari?" tanya Watson cepat, menoleh waswas, berharap tidak ada yang mengikuti.
Akan tetapi, suara sambungan telepon terputus-putus. Yang terdengar adalah suara desis pelan, diiringi rintihan halus. Tidak ada jawaban dari orang yang dia panggil Violet.
Watson mengernyit bingung, melihat layar ponsel, masih terhubung. "Violet? Jawab aku, hei, Violetta Amblecrown."
Lagi-lagi Watson mendengarkan suara desis dan desahan lemah. Apa yang terjadi di sana sih? Masa karena beda negara sinyal komunikasi jadi seburuk itu.
"... At.. on... Lo.. ng.."
Watson terdiam. Apa ini? Ada apa dengan lidah si penelepon? Apa dia tidak bisa membuat suara lingual dan apikodental?
Cowok itu bergumam tak jelas, mencoba menerjemahkan kata-kata si penelepon lewat ejaan per kata. Sial, dia juga kehilangan kemampuan suara frikatif. Apa mungkin maksudnya 'Watson tolong'?
Sambungan telepon mati. Violet dalam bahaya. Watson harus melakukan sesuatu.
Bruk! Saat berbalik, dengan panik mencari nomor Lupin, Watson tidak sadar ada Aiden di depannya. Mereka pun bertabrakan.
"Kamu kenapa sih, Dan? Mendadak ketakutan begitu. Ada masalah apa?" tanya Aiden mengusap kening yang panas.
"Aku harus—"
Suara Jeremy menggelegar di speaker, memanggil mereka berdua. "Watson! Aiden! Aku menemukannya! Kotak Hitam Stadion Terminus!"
*
Di ruang penyiaran.
"Aku butuh bantuanmu, Lupin. Datang ke alamat yang kukirimkan. Jangan lupa panggil Inspektur Tuttle. Kabari aku jika dapat sesuatu." Watson mematikan ponselnya sebelum Lupin sempat bertanya apa yang terjadi, bergabung dengan Aiden dan Jeremy.
Kotak Hitam. Biasanya berada di perut pesawat guna merekam pembicaraan antar pilot serta untuk mengetahui tekanan udara dan kondisi cuaca selama penerbangan.
Sekarang benda ini mulai bermunculan di tempat-tempat tertentu dengan kegunaan yang sama. Mereka bisa menggunakan benda itu sebagai petunjuk.
"Lalu kita apakan benda ini?" Aiden bertanya polos, merusak suasana serius.
Jeremy mengedik, mengoper pertanyaan pada Watson yang tak bisa berdiri tenang. Super gelisah dan murung. "Ayolah, Watson, kita selesaikan dulu masalah ini. Kamu datang ke Stadion Terminus punya alasan. Bukan hanya untuk Kotak Hitam."
Benar. Watson mesti fokus mencari Hellen dulu. Dia percaya Lupin bisa mengatasi masalah Violet. Watson menghela napas. "Masih ingat ada jeda waktu 15 detik bomnya meledak?"
Mereka mengangguk. 15 detik berharga mengeluarkan Roxano dan menarik diri mundur beberapa langkah.
"Pelaku yang meletakkan bom menantikan posisi kita dekat dengan Roxano, lantas menekan remot kendali jarak jauhnya. Dengan kata lain, CL berada di Stadion Terminus. Bersembunyi di suatu tempat, memantau jarak antara kita dan Roxa. Lantas ledakan itu terjadi."
"Studio penyiaran lokasi yang kompatibel." Aiden mengangguk setuju, menangkap maksud Watson. "Pasti dia bersembunyi di luar jarak pandangmu, Dan."
Bisa jadi. Secara, waktu itu ruang penyiaran gelap gulita. CL bisa bersembunyi di mana saja, di lemari belakang mereka misalnya. Dia tak melukai Watson atau menjadikan Watson sandera. CL lebih memilih memusnahkan tim detektif Madoka.
Aiden terbelalak, menatap Kotak Hitam. "Kalau begitu, benda ini merekam kejadian di sini dong?! Kita bisa lihat wajah CL."
Itulah tujuan Watson datang ke sana. Memeriksa rekaman CCTV rahasia. Tapi jawabannya tidak datang sesimpel itu.
Aiden dan Jeremy mengepalkan tangan melihat sosok berpakaian gelap terekam kamera tengah tertawa terbahak-bahak menyaksikan kobaran api di lapangan.
"Sekarang kalian tahu kan akibat mencuri permen-permen manisku yang berharga? Jadi, jadi, aku tak perlu risau lagi. Kalian sudah lenyap. Takkan ada yang menyentuh permen-permenku lagi. HAHAHA!"
Tangan Aiden terangkat, hendak melayangkan tinju, tersulut emosi. Untung Jeremy mencegah. "Jangan, Aiden! Marahnya ditunda dulu! Kamu bisa menghancurkan barang bukti."
Aiden berusaha mengendalikan marahnya, mendengarkan saksama, mendengus. "Kenapa suaranya terdengar familiar? Apa kita pernah bertemu dengannya?"
Watson berseru dalam hati. Berharap Aiden bisa menebaknya.
"Iya ya, suaranya familiar." Watson semakin antusias sebab Jeremy juga mengatakan hal sama. Bisakah dia sedikit berekspetasi pada mereka—
Dua anggota detektif Madoka itu bersitatap, sama-sama menggeleng. "Tidak mungkin lah, ya. Wajahnya saja beda."
Desahan kecewa lolos dari mulut Watson.
"Lihat deh," gumam Aiden memelototi rekaman Kotak Hitam. Sinar rembulan menyiram setengah wajah CL. "Pipinya tergores panjang. Lalu, eh, apa ini? Sepertinya dia menderita nodul tiroid. Lehernya gembung tuh. Kulitnya juga keriputan, kedut. CL kakek-kakek?"
Watson mengusap muka. "Itu topeng silikon. Dia memakainya untuk menutupi wajah aslinya. CL itu paman-paman."
"Tunggu dulu, Watson. Kamu sudah tahu? Jadi... jangan bilang pelakunya paman yang itu?! Dia Child Lover?!"
Watson mengangguk. "Tepat sekali."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top