File 0.10.6 - The Internal Conflict They Hide

"Yah..." Watson menggaruk kepala kikuk. Wajah seriusnya mendadak hilang, kembali ke datar. "Aku tidak terlalu yakin. Ya, itu tidak mungkin. Jadi lupakan saja. Mungkin kita harus menelusuri lebih lanjut."

Ekspresi Aiden dan Jeremy out of character. Mereka menatap gemas. Itu bukan salah Watson, kan? Ragu-ragu adalah kebiasaannya.

"Dasar PHP!" sembur Aiden menggelembung kesal, spontan menendang betis Watson, mengambek. "Padahal kami sudah berharap banget kamu akhirnya tahu!"

Watson meringis. "Sakit, Aiden..."

Kenapa Jeremy rasanya jadi nyamuk? Andai ada Hellen di sini. Dia berdeham. "Tak ada salahnya mencari tahu apa yang kamu ketahui, kan, Wat?"

"Jeremy benar! Beritahu apa yang kamu dapatkan, Dan. Kita mulai menyelidiki."

"T-tapi aku tidak yakin, Aiden. Bagaimana kalau keliru? Aku bisa menuduh orang tak bersalah. Aku tidak mau itu terjadi-"

Grep! Aiden menarik dasi Watson. Wajah Aiden seperti makelar tak bermoral. "Pilih, mau kutampar atau kujitak?"

Watson kelimpungan panik. Ini semua salahnya. Sudah tahu sifat Aiden penuntut, eh, malah terburu-buru menyimpulkan.

"Kukuku." Sebaliknya, Jeremy malah sengit menggoda, menutup-nutupi mulut. "Aduh, Nona Muda Aiden mainnya agresif banget deh. Tarik-tarik anak orang."

"Apa sih?" Aiden melotot.

"Itu tuh itu." Jeremy mencuit tak jelas, menunjuk-nunjuk.

Aiden melirik tangannya yang masih memegang dasi Watson, lantas memerah sendiri. Dia langsung melepaskan tarikannya. "Ma-maaf, Dan! Kamu tak tercekik, kan?!"

Cowok itu mengembuskan napas jengah, merapikan bentuk dasi yang panjang sebelah. Dasar Aiden, semaunya saja. Watson berdukacita pada orang yang akan menjadi kekasihnya.

Oh, benar juga. Grim Skyther. Kasihan dia.

Tangan Watson berhenti sesaat. Dia diam, memejamkan mata. "Ada yang ingin kutanyakan pada kalian."

Aiden dan Jeremy bersitatap. "Kenapa?"

"Aku ingin tahu masalah Stern. Mungkin saja aku mendapat petunjuk."

Mereka saling tatap lagi, mendesah. Sudah saatnya Watson tahu tentang konflik internal mereka bertiga.

"Seperti yang kamu tahu, Dan. Masalahku adalah kematian kakakku yang misterius. Tidak ada yang mengetahui kematiannya, katanya tewas dalam menyelidiki kasus Mupsi, pembunuhan bertema Marionette."

Pembunuhan Mupsi. Kedengaran menarik. Watson mendengarkan dengan posisi berdiri yang mantap.

"Sedangkan Jeremy, dia mencari kakak perempuannya yang menghilang selama setahun. Kak Jerena itu cacat mental. Umurnya 25 tahun tapi kepribadiannya 8 tahun. Makanya Jeremy bergabung ke klub detektif meminta bantuan untuk menemukan kakaknya."

Kasih sayang seorang tameng. Patut diselidiki. Watson manggut-manggut.

"Lalu Hellen, dia dikuntit oleh seseorang misterius sejak kecil. Di antara kami Hellen lah yang paling menderita. Penguntit Monokrom, itulah namanya."

"Penguntit Monokrom?" Watson bingung.

"Itu karena si stalker selalu memakai jaket kulit berwarna kuning. Tidak pernah menggantinya," celetuk Jeremy bersedekap. "Setiap dia kedapatan oleh Kak Anlow serta Grim, dia selalu berhasil melarikan diri."

"Itu berarti Stern dikuntit dua orang sekaligus, ya. Berenang di antara hiu." Kuning? Kenapa pelaku penguntitan memilih warna mencolok? Selera yang aneh.

"Apa maksudmu?"

"Aku mulai mengerti kenapa Stern merubah penampilannya di hari-hari tertentu. Adalah untuk mengelabui si Penguntit Monokrom. Lalu, Stern tidak tahu bahwa penampilannya itu menarik perhatian CL sehingga CL mengira Stern seorang pria."

Watson menunjukkan sebuah artikel. Aiden dan Jeremy mendekat, perlahan menyadari ada yang janggal.

Child Lover mempunyai 46 kasus. Melecehkan anak gadis 26 dan anak lelaki 19. Sekarang CL sedang mencari mangsa untuk mengenapkan rekor 19 kasus pelecehan anak laki-laki.

"Dari awal Child Lover tidak berniat mengganti target. Seorang penjahat profesional mempunyai sistem goal sendiri. Rekor anak laki-laki 19, dan 20 adalah bilangan terakhir loker Stern. Stern dan kita tidak tahu-menahu soal CL ternyata terkecoh penyamarannya.

"Makanya kasus Roxano terjadi. Kasus itu cuman pengalihan untuk membuat Stern lengah supaya kewaspadaannya menurun, juga kita. CL membuat kita berpikir..." Watson menggaruk tengkuk. Kebingungan mencari kalimat yang pas. "Agar kita berpikir pemberitahuan publik itu hanyalah omong kosong. Membuat kita berpikir CL tak benar-benar melakukannya."

Jeremy berbisik, "Kamu lihat, Aiden? Dia memaksakan kalimatnya. Apa dia sebingung itu memilih kosakata?"

"Dan manis sekali..."

Watson mengalihkan perhatian. Dua cecunguk itu membuang muka, pura-pura menyimak. "Kalian paham, kan?"

"Hufft!" Jeremy berkacak. Percuma saja mereka berhasil menguak siasat penjahat pedofil itu. Apa gunanya? Lokasi Hellen masih tidak kunjung ditemukan.

Tes! Tes! Tes! Rintik rinai menyentuh permukaan kulit mereka bertiga. Hujan.

"Kita lanjutkan di klub." Jeremy berlari lebih dulu masuk ke gedung sekolah, tidak mau kehujanan.

"Ayo, Dan. Nanti hoodie-mu basah." Aiden menyusul.

Watson masih bergeming, mendongak, membiarkan air hujan membasuh mukanya yang tak tercetak apa pun mimik ekspresi. Pikirannya kosong. Sampai tiba-tiba...

Dia tidak tahu apa pun. Malam tadi sangatlah cerah.

Watson terdiam, mengusap wajahnya yang basah, menundukkan kepala. Ritme hujan semakin kencang. Permainan ini akhirnya...

"Aku menemukanmu, Pedofil brengsek."

*

Aiden menggerundel melihat Watson datang dengan badan setengah basah. "Kubilang juga apa. Kamu melamunkan apa di luar, heh?"

Dasar nona kepo. Watson mengambil botol air panas di tangan Aiden, meminumnya dua kali teguk. "Sendirian membuat otakku bisa bekerja lancar."

Mendadak saja Aiden diam, cosplay jadi patung. Watson mengernyit. "Ada apa?"

Dia malu-malu menunjuk botol air. "I-itu punyaku. Bekas minumku..."

"Oh," Watson justru mengembalikan botol tersebut. Tidak sensitif perubahan sifat Aiden. "Kalau begitu maaf deh. Aku haus," katanya santai kayak di pantai melangkah masuk ke ruang klub.

Aiden terlarut keheningan yang panjang, meremukkan botol air jadi peyot. Tertawa sumbang. "Level berapa sih kepolosannya?"

Kembali ke topik cerita.

Jeremy mengembuskan napas frustasi. Kantung matanya makin hitam. "Apa yang harus kita lakukan sekarang, Watson? Tidak ada petunjuk yang tersisa. Bagaimana cara kita menemukan Hellen?"

Aiden mengusap-usap pundaknya menenangkan. "Kita harus bersabar, Jer."

"Aku sudah cukup bersabar, Den! Hellen membutuhkan bantuan kita. Aku tak bisa hanya diam buntu di sini."

"Memangnya apa yang bisa kita lakukan, hah?!" seru Aiden berkaca-kaca. "Aku juga khawatir pada Hellen, bukan kamu saja. Tapi kita tidak punya peta. Kita tidak bisa mencarinya jika bertangan kosong."

Sementara itu Watson tak tertarik drama yang mereka berdua lakukan-bagi Watson, Aiden dan Jeremy hanya mendramatisir keadaan. Di situasi seperti ini mereka harus bersikap realistis.

Watson fokus mencari sesuatu di tabletnya. Segala hal yang bersangkutan dengan musuh mereka: Si Pedofil CL.

"Kamu tidak ikut menangis bersama kami, Dan?" Aiden terisak. Watson tak mendengarkannya. "Woi, kamu dari tadi mencari apa sih?" lanjutnya ngegas.

"Kalian kalau mau drama pentas, mending menjauh deh. Jangan ganggu aku," ucap Watson ketus, beralih ke ponsel. "Katanya mau menemukan Stern secepat mungkin, tapi malah drama-dramaan. Jadi artis sekalian saja."

Aiden dan Jeremy saling tatap ke sekian kalinya. Ini Watson sedang sarkas?

"Baiklah, apa perintahmu, Tuan Detektif Muka Datar?" Aiden bersedekap. Watson sarkas dia juga bisa dong.

Tetapi Watson tidak peduli. Pikirannya hanya mengulang kilatan demi kilatan yang bersangkut dengan CL.

Jika kasusnya nyaris mencapai 50, maka hanya satu tempat untuk menyembunyikan mereka semua. Watson menatap layar laptop yang menampilkan basement super luas.

"Ruang bawah tanah. Ya, hanya itu satu-satunya tempat yang mampu menyekap puluhan anak kecil."



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top