File 0.10.2 - Moufrobi is in Danger

Kediaman Bari.

"Remy sayang, kamu yakin kamu baik-baik saja? Mama mau kamu istirahat dulu. Jangan memaksakan diri, Nak."

Tidak bisa. Jeremy tidak bisa istirahat sementara Hellen dalam bahaya. Tidur lima jam memulihkan sedikit tubuh Jeremy yang lemah. Bisa dibilang kondisinya stabil.

Jeremy menggeleng, selesai berkemas, menggandeng tas. "Tidak bisa, Ma. Remy punya tugas penting. Remy akan menginap di sekolah sampai semuanya selesai. Katakan pada Papa. Remy pamit."

"Remy, tunggu! Dengarkan Mama—"

Percuma. Pemilik nama sudah meninggalkan rumah. Berjalan cepat menuju terminal.

*

Kediaman Eldwers.

Aiden menguncir sisa rambut. Perpaduan pita warna biru dan pink di dua kunciran. Tampak manis. Dia sudah selesai berkemas dari semalam.

Aiden menatap foto mendiang Anlow, bergumam pelan, "Tolong doakan kami, Kak. Semoga kasus penculikan anak ini selesai. Semoga teman kami selamat. Semoga tidak terjadi apa-apa pada kami."

Dari luar, orangtuanya berdebat panjang.

"Tidak, Pa! Kita sudah kehilangan putra. Aku tidak mau sampai kehilangan putri juga. Jangan izinkan Aiden pergi, Pa..."

"Ma, inilah takdir mereka. Takdir seorang detektif. Kita tidak bisa mencegah. Lihat penduduk Moufrobi, mereka mengharapkan Aiden dan teman-temannya berhasil menangkap penjahat itu. Jangan egois, Ma. Aiden akan baik-baik saja."

"Aku tidak mau lagi kehilangan anak, Pa..."

"Aku juga tidak, Ma. Tapi itulah jalan hidup mereka. Detektif. Aiden dan Anlow."

Aiden mengepalkan tangan. Dia berjanji akan pulang dengan sehat walafiat.

*

Rumah sakit Atelier.

Tangan yang dibaluti selang itu mengelus pipi Deon. Sebuah cincin melingkar di jari manis. "Kamu akan menemukan dia... Berjanjilah padaku..."

Deon menggenggam tangan dingin tersebut. "Aku berjanji. Mook akan kutemukan. Kamu hanya perlu bertahan sampai kami kembali, oke?"

"Ayah Mook adalah polisi baik. Syukurlah... Syukurlah... Putriku... Putri kita..." Suara dari tangan itu terdengar parau dan lemah, segaris dengan suara elektrokardiograf.

Ponsel Deon berdering. Panggilan masuk dari rekan-rekannya, bilang mereka sudah siap. Dia menarik napas panjang.

"Kalau begitu, aku pamit. Penuhi janjimu. Jangan pergi sampai kami pulang. Atau aku takkan memaafkanmu."

"Ernest... Sikap dinginmu selalu membuatku lupa, bahwa kita sudah menikah."

*

Madoka Senior High School.

"Sekolah diliburkan tiga pekan. Kami sarankan jangan berkeliaran di luar rumah dan tetap berada di pengawasan orangtua. Berilah dukungan pada kepolisian serta teman kita dari klub detektif bisa menyelesaikan permasalahan ini segera."

Semua murid-murid kembali ke kelas, mengemasi barang-barang. Jemputan berbaris di luar gerbang. Kota Moufrobi sepenuhnya diselimuti hawa ketakutan. Tak ada satu pun yang tak gundah gulana. Apalagi cuaca menggambarkan suasana hati mereka, gelap dan berawan.

"Kon!" Kiri memanggil.

"Apa?"

"Bagaimana dengan Watson dan Aiden? Mereka tidak datang? Kulihat tadi klub detektif kosong. Ke mana mereka pergi..."

"Kalau kamu sekhawatir itu, kenapa tidak coba telepon atau mengirim pesan? Mereka paling sedang bersiap-siap." Kon menjawab ketus, melanjutkan langkah ke luar dari gedung sekolah.

Kiri tak menyahut, menoleh ke kelasnya yang sudah sepi, tepatnya menatap bangku Watson.

*

Lupin is calling...
56 message from Aleena. 79 missed call.

Watson mengabaikan ponselnya, seakan terdapat penyumbat tak kasat mata di kedua telinganya. Tatapannya fokus pada foto keluarga di dinding.

"Kamu takkan menjawabnya?" Pamannya, Beaufort, menceletuk.

Watson tidak membalas, masih fokus memandangi foto tersebut. Pikirannya menerawang.

Beaufort menghela napas gusar, duduk di sebelah Watson. "Saat aku masih remaja, Ayahmu selalu dijuarakan oleh kakekmu. Dia tidak pintar, namun cepat paham. Dia atletis, namun tidak sombong. Pantas saja Romatswe yang beku luluh olehnya."

"Beku?" Watson mengulangi.

"Ibumu pribadi yang eksplisit, Bung. Awalnya dia benci dengan sifat Ayahmu yang serampangan itu. Sampai waktu merekat keduanya."

Watson mengernyit. Itu bukan cerita yang enak didengar.

"Ayolah, Watson, kamu tak perlu cemas dengan langkah yang kamu ambil. Kamu dibekali kecerdasan ibumu. Yah, aku tidak tahu apa yang ditinggalkan Ayahmu, mungkin pesonanya untuk menarik hati wanita. Tapi kamu memiliki keduanya."

Watson manyun. "Paman kalau tidak bisa menghibur, tidak usah lakukan. Tidak cocok dengan kepribadianmu."

Wajah Watson semakin manyun demi sebungkus roti manis diulurkan oleh Beaufort yang kikuk memasang ekspresi. "Mungkin bisa membantu mengatasi kegelisahanmu." Beliau pun berlalu.

Ditatapnya bungkus roti tersebut, beralih ke rubik tua pemberian Ayahnya.

"Baiklah..."

Watson bangkit, memasukkan seluruh dokumen file yang sudah dia tumpuk di meja ke dalam ransel, termasuk rubik tua tersebut. Peta, foto-foto, koran, bloknot, serta buku notebook kesayangannya.

Keren sekali melihat aktivitasnya itu. Mirip dengan detektif profesional di luar sana.

"Baiklah," gumam Watson sekali lagi. Selesai berbenah. Maniknya bermain ke stand-hanger. Ada topi Sherlock tergantung di sana. Topi itu berdebu, sudah lama tidak dipakai.

Dikenakannya benda tersebut.

Bunyi getaran ponsel mengganggu. Lupin dan Aleena senantiasa menyepam. Apa mereka akan mati kalau Watson tidak menjawab? Dasar.

Tubuh Watson menegang. Ponselnya jatuh dari tangan. Itu bukan dari keduanya.

"Watson, kamu sudah siap? Ayo, Tante antar kamu ke sekolah."

Gelagapan, Watson menyambar tas dan ponsel yang terjatuh. "Sudah, Tante!" sahutnya membuka pintu kamar. Tergesa-gesa turun ke bawah.

Miss me? -Jamos Horori Rotloz

*

Sekolah kosong sesampainya Aiden. Tidak ada lagi murid atau jemputan. Hanya gemerisik angin membelai dedaunan pohon. Para guru pun tidak tampak. Bangunan di depannya cocok disebut gedung angker.

Tampaknya pengumuman 'Moufrobi Dalam Bahaya' sudah disebarkan. Sekolah-sekolah diliburkan. Para pekerja sipil terpaksa daring. Mereka mengutamakan pengawasan terhadap anak kecil.

"Yo!" Jeremy menabuh punggung Aiden membuatnya teterjang ke depan. "Kamu sudah datang rupanya. Barengan yuk... Lho, kenapa?"

Aiden melotot. "Aduh! Bisa pelan-pelan tidak sih! Kamu ingin membuat tulangku retak?! Sakit tahu."

Jeremy cengengesan. "Sorry!" Lagian Aiden seringkali main tangan dengan Jeremy. Tidak apa kan membalas sesekali.

"Kita ke klub sekarang. Kita atur semuanya sambil menunggu Dan datang."

Jeremy mengangguk.

Mereka berdua memasuki lapangan sekolah. Jika saja kisah ini kisah horor, maka Madoka lokasi yang pas untuk dijadikan tempat uji nyali. Sudah tidak ada orang, cuaca gelap-berawan, badai sepoi-sepoi, tiada satpam, hanya Aiden dan Jeremy.

Langsung saja mereka masuk ke ruang klub, menyalakan lampu, menanggalkan tas masing-masing.

Aiden mendorong cermin papan ke tengah, mulai menempeli potret pemetaan daerah. Seliweran benang merah, lingkaran, tulisan alamat, dengan cepat memenuhi papan.

Sementara Jeremy merapikan meja-kursi diskusi. Menyusun arsip demi arsip, daftar debitur, personalia penyelia apalah itu, nama-nama prasekolah juga almamater, dan segala macam yang bisa membantu.

"Kita akan menemukan Hellen secepatnya," kata Aiden, kini beranjak menempel foto-foto korban CL sejauh ini beserta latar belakangnya. "Sekaligus berperang melawan penjahat musuh utama kita."

"Aku tahu. Waktu kita tidak banyak," Jeremy menurunkan layar besar, mengatur mesin proyektor, menyambungkan kabelnya ke lubang laptop. "Secara, banyak yang harus kita kali. Informasi tentang CL hanya sedikit."

Aiden mengeluarkan puluhan berkas kasus CL dari laci, menaruhnya di atas meja. "Inspektur Deon dan teman-temannya akan memberi perlindungan penuh. Kita hanya perlu fokus tugas kita di sini."

Pintu klub terbuka. Aiden dan Jeremy menoleh, tersenyum lebar.

Watson menunjuk kotak permohonan. "Sekalian, buka dan baca semua surat itu. Mana tahu kita bisa mendapatkan petunjuk dari situ."

"Dan!" Aiden berseru senang, seperkian detik lesu melihat air muka Watson yang tegang. "Kamu baik-baik saja?"

"Ya."

"Wow, topi yang bagus." Jeremy mengacungkan jempol.

"Thanks," sahut Watson sekenanya, menatap dua tas besar di lantai. "Sepertinya kalian sudah siap menginap sampai membawa pakaian ganti."

Aiden mengangguk antusias. "Setelah semua ini selesai, aku ingin menambahkan fasilitas kamar mandi dan tidur. Kita bisa menginap bebas kapan saja."

"Terserahlah." Watson melepaskan jaketnya, duduk di kursi ketika Jeremy selesai mengotak-atik proyektor. "Tutup tirai jendela dan pintunya, Aiden. Kamu Bari, ubah kamera ke mode malam. Aku curiga Apol mengirim anak buahnya mengawasi kita. Mereka pasti ada di sekolah."

Aiden dan Jeremy mengangguk, bergegas melakukan perintah.

Perkakas detektif berserakan di atas meja. Kaca pembesar, jam kalung, telepon burner, radio HAM, denah, dan sebagainya. Dokumen-dokumen bersampul kuning gading berlomba-lomba menutupi layar saking banyaknya.

"Matikan lampunya, kita mulai diskusinya."








Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top