File 0.10.16 - Decision to Return

Besoknya.

Watson mengerjap. Dia tertahan di luar pintu ruang klub ketika mendengar suara rengekan anak-anak. Mook, Vio, ditambah Tiara Dewata? Astaga, dalam rangka apa mereka semua datang ke Madoka.

Ponsel Watson bergetar. Panggilan masuk dari Lupin. Hendak mengangkatnya, Watson lebih dulu tersungkur jatuh ke depan. Menoleh jengkel, dia melihat Si Gadis Jorok membungkuk tanpa memperbaiki kaca mata yang retak.

"Ma-maaf...! Aku benar-benar minta maaf! Aku tidak lihat, sungguh...!"

Sial. Kenapa Watson harus berurusan lagi dengan gadis itu? Dia membuang napas, bersikap sabar. Watson mengangguk, tanda tidak apa.

Baru setengah berdiri, orang lain datang menghantam punggung Watson hingga dia jatuh ke dua kalinya. Keningnya mencium lantai. Tubuhnya tertindih.

"Ma-maafkan aku. Kakiku tergelincir." Gadis asing itu menepuk kedua tangan, mengusap-usapnya, pose bersalah. Kalau merasa menyesal cepat menyingkir dari Watson dong.

Sebentar, apa aku tadi bilang 'gadis'? Lalu apa yang menempel di punggungku ini... Watson merinding geli, melompat bangkit. Cewek itu jatuh kehilangan tumpuan.

Dia mengibas-ngibaskan tangan. "Ja-jangan salah paham...! Aku tahu apa yang ingin kamu katakan, tapi aku laki-laki."

Hening menguasai atmosfir.

Kenapa Madoka isinya banyak murid aneh. Si Jorok, dan kini ada gender tak jelas. Besok apa? Superhero? Watson tertawa miris dalam hati.

"Ta-tapi kamu memakai rok...!" celetuk si Gadis Jorok menggebu tak percaya.

"Itu karena anak-anak di kelasku mengganti celanaku jadi rok." Si Gender Ganda menjawab malu-malu. Wah, lihat mereka. Kalau pacaran pasti serasi.

Aduh, pinggangku encok. Kalau sampai lukaku terbuka, kalian berdua habis oleh Aleena. Baru lah Watson bisa berdiri dengan benar, menggeliat. Pagi hari cerah sudah disuguhi dua bencana.

"Sekali lagi maafkan kami!" seru mereka kompak. Cocok deh. Sama-sama sableng. Dua murid itu pergi menghilang melewati lorong yang berbeda.

Tapi Watson tak tahu-menahu, bahwa mereka berdua bukan sekadar tokoh biasa.

*

Lolos dari Gadis Jorok dan Gender Ganda, masuk ke ruang klub, Watson disambut pelukan tiga serangkai; Vio, Mook, dan Tiara. Kasihan dia, jadi oleng berdiri.

"Kak Watson ke mana saja kemarin? Mook menunggu kakak sampai sore. Kak Watson tidak datang-datang."

"Aku mau digendong Kak Watson juga! Gantian dong, Mook!"

Mook menggeleng, mencibir ke Vio yang tertinggal di bawah. Dia memeluk Watson. "Hari ini Kak Watson milik Mook."

"Tidak adil!" Vio siap menangis.

Watson yang tidak tegaan, menghela napas jengah, ikut menggendong Vio memakai tangan kanan. Setidaknya dua anak itu tidaklah berat, jadi Watson bisa mengangkat mereka sekaligus.

Tiara melambaikan tangan. Bersikap dewasa. "Aku tidak perlu, Kak Watson."

"Kak Watson!" Mook dan Vio berkata dengan mata berseri-seri. "Kami suka Kakak!" lanjut mereka mengecup pipi Watson di kanan-kiri.

Jeremy menonton seru. Hellen hati-hati menatap Aiden yang menggenggam erat pena, hampir mematahkannya jadi dua. Oh, ngomong-ngomong cewek itu tidak mood menghiasi rambut. Dia hanya memakai bandana biru bergaris putih.

"Kak Watson! Terima lah hadiah terima kasihku!" Vio pertama menyodorkan kotak kado kecil. Mungkin isinya gantungan kunci atau mainan tas... Tunggu. Isinya sebuah cincin pernikahan?

"Aku! Aku! Ini, Kak Watson. Terima kasih telah menyelamatkanku." Gantian, Mook menyerahkan selembar kertas. Setelah dibaca singkat, itu adalah surat daftar pernikahan. "Kak Watson hanya perlu menunggu tiga tahun lagi sebelum kita menikah."

"Enak saja! Kak Watson akan menikah denganku! Surat itu tidak sah!"

Kembali Vio dan Mook bertengkar.

Watson manyun. Mereka betulan anak kecil tidak sih... Bajunya ditarik pelan. Ah, masih ada Tiara. Apa hadiahnya ngawur juga—

Syal merah marun mengalungi leher Watson, hadiah normal. Tiara tersenyum. "Aku menjahitnya sendiri. Terlihat cocok denganmu, Kak."

Watson menepuk kepalanya. Terima kasih.

Jeremy berkacak pinggang. "Nah, sesi hadiahnya berakhir. Kami sekarang ada rapat. Bisakah kalian meninggalkan ruang klub dengan tenang? Sudah waktunya kami mengambil alih anggota kami."

*

Aiden bersedekap. "Jadi, kamu ke mana kemarin, Dan? Kamu langsung menghilang ketika kami dihadang wartawan."

Semenjak memutuskan datang ke sekolah hari ini, Watson sedang mencari waktu tepat untuk mengatakan kesulitan dia yang sekarang. Mereka bertiga belum tahu Watson kehilangan kemampuan bicara.

"Kasus CL resmi ditutup, Watson. Kamu tak perlu menyembunyikan rahasia lagi." Hellen menambahi, tidak sensitif gerak tubuh Watson yang tak nyaman.

Ini bukan rahasia. Ini sesuatu yang lebih sukar dikatakan. Bagaimana cara Watson mengatakan bahwa dirinya akan pergi ke New York? Duh, susah.

Jika Watson tidak berani menunjukkan soal masalah yang menimpanya, maka ada orang yang senang hati memberitahu. Tamu mengejutkan, bersandar di bingkai daun pintu.

"Watson akan ke New York lusa."

Terbelalak mendengar suara khas tersebut, Watson menoleh cepat. Aleena! Dia masih di Moufrobi?! Padahal gayanya seperti orang yang betulan mau pulang.

Jeremy tersedak, buang muka ke samping. Hellen mengernyit melihat tingkahnya itu.

"Siapa kamu?" Aiden bertanya dingin.

"Jangan ketus begitu. Aku lho yang menyiapkan matras untukmu, Nona Eldwers." Aleena berdiri di sebelah Watson yang seperti ingin memakannya bulat-bulat. "Namaku Aleena Lan. Sahabat Watson. Salam kenal, tim detektif Madoka."

"Apa maksudmu Dan pergi ke New York?" Intonasi suara Aiden masih terdengar tak bersahabat walau sudah tahu Aleena yang menolongnya tempo hari.

"Sesuai isi kalimatku." Dia seenaknya menyentuh leher Watson yang dibaluti syal, berkedip. "Pertarungan terakhir kalian melawan penjahat sampah telah membuat Watson cedera. Suaranya menghilang. Dia bisa bisu permanen kalau tidak diterapi."

Apa! Aiden, Hellen, dan Jeremy serentak bangkit dari kursi, menatap Watson kaget. "Kenapa kamu tidak memberitahu kami? Su-suaramu menghilang?"

"Pantas saja ada yang salah denganmu. Kamu tak membuka mulut sama sekali setelah dipukul."

"Apa pukulan CL sekeras itu sampai-sampai suara Dan hilang?" Aiden berseru. Dia tidak tahu apa pun tentang itu karena dilempar ke luar ruangan.

"Kabar baiknya tidak melukai persarafan pita suara, jadi Watson masih bisa bicara. Tentu saja setelah terapi rutin."

Watson menatap Aleena sengit, menulis di kertas dengan tulisan horor. [Kamu sudah tahu akan jadi begini, kan?]

Aleena tertawa, mengalihkan tatapan. "A-apa yang kamu bicarakan, Watson, aku tidak mengerti hahaha. Kamu meminta bantuanku. Aku hanya menagih utang."

Mendengus, Watson 'menendang' Aleena keluar dari klub, mengunci pintu. Biarkan saja gadis mafia itu merengek di luar bersama Vio dan Mook, menggedor-gedor pintu sambil bilang 'Aku takkan bercanda lagi, tolong biarkan aku masuk'. Watson peduli amat.

[Begitulah. Aku mesti ke New York jika mau sembuh.] Sial, capek juga berkomunikasi pakai kertas. Watson membalikkan lembar berikutnya. [Jangan khawatir, aku hanya enam bulan di sana. Tapi kalau aku tidak beruntung, aku bisa terjebak satu-dua tahun.]

"Tidak!" Yah, Watson sudah tahu Aiden akan menolak. Dia gemetar. "La-lalu bagaimana dengan kami? Mana bisa kami memecahkan kasus tanpamu, Dan."

"Aiden benar. Ini semua salahku, Watson. Andai aku tidak lengah, aku takkan diculik CL. Kamu tak perlu kehilangan..."

Watson buru-buru menggeleng. [Ini bukan salah siapa-siapa. Aku tahu ini terdengar buruk dan terkesan memanfaatkan, tapi jika kamu tidak diculiknya, maka CL takkan pernah tertangkap.]

"Jangan pergi, Dan. Jangan pergi seperti Grim." Aiden berkaca-kaca.

"Ayahku punya banyak rekan dokter, Watson. Salah satunya pasti ada spesialis suara. Jadi, jangan tinggalkan kami. Klub ini bisa ditutup tanpamu."

Jeremy menghela napas jengkel. "Kalian berdua, jangan egois. Kalian mau Watson tidak bisa bicara lagi?"

Perkataan Jeremy tepat menusuk hati mereka berdua. Aiden dan Hellen sudah bersikap egois, tidak memikirkan keadaan Watson.

Setelah semua yang mereka lakukan selama ini, Watson tiba-tiba pergi? Bahkan mereka belum melakukan banyak hal yang dilakukan remaja umumnya. Tidak adil. 

Aiden menggigit bibir. Dia pertama yang keluar dari ruang klub. Aleena kaget melihatnya bergegas pergi sambil menutupi wajah.

"Tunggu, Aiden!" Hellen menyusul, meninggalkan Watson dan Jeremy.

Bayangan Watson yang tersenyum karena kasus utama Moufrobi berhasil diselesaikan, semuanya buyar. Mereka sudah berharap yang tidak-tidak.

"Kapan kamu berangkat?"

[Besok.] Watson menatap Aleena yang kebetulan juga menatapnya, mengembuskan napas panjang.

Keputusan Watson ke New York sudah bulat. Tidak ada yang bisa membatalkannya, termasuk tangisan Aiden dan Hellen. Dia harus pulang.







Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top