File 0.10.14 - Aleena Lan, Daughter of The Mafia
"Apa kamu tidak takut denganku?" Watson melirik datar gadis di sebelahnya. "Semua orang langsung pergi saat melihatku. Jangan dekat-dekat Aleena, nanti kita dibunuh. Begitu kata mereka," ucapnya lagi berbinar murung. "Apa karena aku anak mafia, ya? Hahaha jahatnya."
"Aku tidak takut denganmu." Respon pendek dari Watson yang terganggu bacaannya. Aleena menatap tanda tanya. "Ayahku seorang polisi yang hebat. Kamu bisa ditangkap. Harusnya kamu yang jauh-jauh dariku."
Aleena tertawa. "Apa-apaan itu."
"Menurutku kamu keren," sambung Watson datar. Sudah terlatih flat dari kecil. "Jarang aku melihat mafia di dunia nyata."
"Pfft! Kamu aneh sekali. Semua orang lari ketakutan, tapi kamu malah memuji keren. Mafia itu dikenal tak punya hati lho. Bagaimana kalau kamu celaka berbicara denganku?" Aleena menyeringai.
"Jika tak punya hati, Ayahmu tidak mungkin menikah dan punya anak yang akan menjadi kelemahannya." Perkataan Watson padahal sederhana, namun berbekas. Dia mengetuk kepalanya. "Lagian, aku punya ini. Aku pintar. Kalian tak bisa menangkapku semudah itu."
"Kalau begitu mari berteman supaya aku bisa melindungimu dari para penjahat! Karena kamu anak polisi, kamu bisa menangkapku suatu hari nanti. Karena aku anak mafia, kamu bisa kutangkap sebab memegang rahasiaku. Kita berduel siapa yang akan tertangkap duluan."
"Namaku Watson Dan. Fans Holmes."
Tidak seperti Jam, Mela, dan Lupin, Mereka bertiga (Watson, Aleena, Violet) sudah berteman sejak kecil. Walau Watson dan Jam berkawan dari taman kanak-kanak, dia tidak tahu bahwa Watson juga memiliki pertemanan dengan orang lain di luar sepengetahuannya.
Aleena duduk santai di kursi tua dengan pistol berasap. "Aku datang karena ada yang membeli bantuanku," sapanya tersenyum manis. "Lama tak berjumpa."
Hening sedetik.
Jeremy cepat-cepat memalingkan wajah yang memerah. Astaga, cantiknya!
Manik Aleena tertuju pada Watson yang berbaring lemas, terbelalak kaget. "Ya ampun, Watson!" pekiknya bergegas menghampiri. "Kamu terluka parah! Siapa yang melakukan ini padamu?"
Jemari Watson terarah ke jendela. Selamatkan Aiden dulu, dia ingin mengatakan itu. Tapi apalah daya. Suaranya menghilang.
Aleena menatap jendela, mengetuk tangan. "Maksudmu teman perempuan yang terjatuh di luar? Tenang saja! Aku sudah menyiapkan matras di bawahnya. Dia selamat kok."
Watson menatap takjub. Sesuai yang diharapkan dari mafia, pergerakan mereka sangat cepat.
Beralih menatap pipa besi, Aleena memperhatikan bekas pukulan di leher Watson. "Pita suaramu jadi terganggu karena benturan keras?" Dalam segi detektif, Aleena adalah versi sempurna dari Aiden dalam menarik kesimpulan.
Aleena bangkit, menyeringai ke CL yang kelimpungan sejak dia datang. "Kamu dalangnya, ya? Kamu pikir kamu siapa berani melukai teman Aleena Lan. Kamu hanya penjahat rendahan dibanding musuh-musuh kami di New York. Ah, kurasa tidak juga. Kudengar kamu melecehkan anak kecil. Itu berarti statusmu naik jadi Penjahat Sampah."
CL menodong Aleena yang mengangkat dagu, ekspresi meremehkan. "Siapa kamu? Jangan menghalangi atau kamu mati."
Aleena tertawa sarkas. "Mati? Ayolah, aku sudah banyak mendengar kata itu dari musuh klienku. Buktinya aku masih hidup sampai sekarang. Sehat walafiat."
CL nekat melepas tembakan, kesal diremehkan oleh remaja. Dor! Peluru yang dikeluarkan moncong pistolnya hancur oleh peluru asing. "Apa yang..."
Aleena mengangkat bahu. "Tempat ini sudah dikelilingi sniper. Kamu tak bisa melukaiku. Harusnya sih membunuhmu mudah seperti menepuk lalat." Wajahnya menggelap. CL tersentak merasakan aura berat berkobar di sekujur tubuh remaja itu. "Tapi untuk kasusmu, kubiarkan Watson yang mengurus. Bersyukurlah kubiarkan hidup, Penjahat Sampah."
Apa-apaan gadis sialan ini? Siapa dia sebenarnya? CL berkeringat dingin, mengepal jemari kuat.
Aleena jongkok di depan Watson, latar ladang bunga. "Jujur saja Watson, aku tidak semata-mata datang menolong." Dia mendekat ke telinga Watson, membisikkan sesuatu. Watson terdiam dibuatnya.
Suara lengking tawa CL memotong. "Kamu pikir ini sudah selesai?" teriaknya mengeluarkan remot pemicu, menatap rendah Watson. "Kamu pikir aku tidak punya rencana cadangan? Jika kalian sudah mengepung bangunan ini dengan sniper, maka aku sudah menanamkan banyak bom. Kalian semua berakhir di sini-"
Benda tersebut terjatuh dari tangan CL karena lucutan kecil. Aleena meloncat, menyambutnya, mendarat mantap ke belakang CL yang mematung. "Yosh, sudah kudapatkan. Kamu tak bisa mengertak lagi. Peranmu sudah habis."
"JALANG SIALAN-" CL berhenti bergerak begitu melihat titik merah memenuhi tubuh, siap dibolongi.
Aleena tersenyum, menepuk-nepuk debu yang menempel di baju mewahnya. "Kamu tahu kenapa tokoh karakter dalam suatu cerita bisa kalah? Selain teori mereka lemah dari musuh, aku punya teori sendiri. Itu karena mereka merasa sudah menang, merasa lebih unggul, membuang waktu dengan bermonolog. Padahal kamu bisa langsung memencetnya kan daripada mengoceh tidak perlu. Malang sekali."
"Keparat... Aku akan membunuhmu!"
Aleena masih tersenyum. Mengangkat jari telunjuk. Dor! Satu tembakan mengenai kaki CL. Dia gemetar, meraung histeris. "HENTIKAN, CEWEK SIALAN!"
"Aku bilang aku takkan membunuh, tapi aku tidak bilang aku takkan menyiksamu."
Aleena mengangkat jari tengah. Dor! Tembakan kedua kalinya mengenai lengan CL. Jari manis mengenai paha, jari kelingking menembak kaki satunya, dan jari jempol menyerempet telinganya.
CL terkapar di tanah, bercucuran darah. Matanya sudah terbalik jadi putih.
"Dih, jangan lebay. Kamu mempermainkan anak-anak, tapi giliran dipermainkan, sudah pingsan. Cih, tidak asyik. Ng?"
Dari luar gedung, suara sirine terdengar. Aleena mengintip malas. Mobil polisi dan wartawan berbondong-bondong memasuki halaman Panti Starnea. Tak lupa para warga kepo berdatangan.
Aleena menghela napas. "Well, i think it's enough. Peranku sampai di sini dulu. Bisa gawat polisi menemukan kami." Gadis mafia itu berjalan melewati Jeremy, menepuk pundak Watson. "Ti sto aspettando a New York." Aleena menyuruh pengawal-pengawalnya mundur.
Sebelum sosoknya menghilang sepenuhnya, Aleena berkedip. "Arrivederci!"
Watson mendengus tak suka. Anak itu malah pamer bahasa Italia, cerocosnya dalam hati.
"CL!" Deon menyerbu setibanya di ruangan, terkesiap melihat CL sudah tergeletak pingsan. "Watson! Kamu baik-baik saja? Bagaimana dengan Hellen?"
Jeremy menggendong Hellen. "Kita harus membawanya ke rumah sakit, Inspektur. Kurasa punggungnya terhantam kayu."
"Kamu harus perhatikan juga dirimu, Jeremy. Kepalamu berdarah."
"Aku baik-baik saja. Hellen yang paling butuh bantuan saat ini!" Jeremy hendak menyibak kerumunan polisi, namun Hellen lebih dulu mengerjap. "HELLEN? KAMU SUDAH SADAR? Bagaimana kondisimu..."
Seruan Jeremy terhenti demi Hellen yang terisak, menangis. "Kita gagal, Jer. Kita gagal menyelamatkan korban..."
"Apa maksudmu?" Lutut Deon berasa kebas, hilang tenaga. Watson mengernyit melihat reaksi Deon. Perasaannya saja atau memang Deon terlihat emosional?
"CL sudah membunuh mereka. Kita terlambat menyelamatkan mereka. Monarz Gift tewas, begitu juga semua korban culik. Apa yang harus kita katakan pada keluarga korban?"
"TIDAK MUNGKIN!" Deon beringas mencengkram leher CL, menghajarnya tak peduli CL sekarat. "Tidak boleh. Kamu tidak boleh mati. DI MANA ANAKKU?! Aku bersabar selama ini, selalu berpura-pura tidak menganggapnya ada, menyembunyikannya, tapi jauh di lubuk hatiku, aku berharap dia baik-baik saja... BANGUN, BRENGSEK! DI MANA ANAKKU! KATAKAN DI MANA DIA!"
Shani dan Max menarik Deon yang kehilangan kendali. "Hentikan, Inspektur! Anda bisa membunuhnya!"
Deon menepis tarikan mereka berdua. "Istriku sedang berjuang melawan maut sembari terus menunggu aku berhasil menemukannya... Menemukan anak kami, Mook. Kamu tidak boleh mati. KEMBALIKAN PUTRIKU, SIALAN!"
"Ayah!"
Deon berhenti meninju, menoleh cepat. Mook berdiri di antara petugas keamanan, tersenyum sambil menangis. Dia sudah diberi infus singkat dan pakaian darurat.
Rasanya belenggu besar di dalam hati Deon menghilang, tak tahan lagi membendung air mata kerinduan. Tanpa perlu dipanggil dua kali dia berlari ke arah Mook. Mook sendiri ikut berlari ke ayahnya.
Mereka berpelukan. Deon menggendong Mook, memeluknya erat-erat, menciuminya. "Syukurlah kamu masih hidup... Ayah merindukanmu. Terima kasih sudah bertahan hidup."
"Ini berkat Kak Watson!" Mook menunjuk Watson yang dekat-dekatan dengan Jeremy dan Hellen seperti anak ayam kehilangan induk. "Kak Watson menyelamatkan Mook!"
Deon menurunkan Mook sebentar, menatap Watson respek. "Aku tidak ragu sejak awal bertemu denganmu. Kamu mungkin dingin, tapi hatimu sangat hangat." Deon tersenyum tulus. "Aku berterima kasih sebagai seorang polisi dan seorang ayah."
Watson melempar tatapan ke benda acak. Tidak bisa bicara. Cowok itu seperti ogah membalas senyuman.
"Ukh..." CL meringis. Matanya menatap Mook yang bersembunyi di belakang Deon. "Kenapa kamu masih hidup? Bukannya kamu sudah kurendam? KAMU TIDAK MATI?!"
Bangkit, Deon memborgol lengan CL. "Child Lover, kamu ditangkap atas penculikan beruntun, penyekapan anak kecil, pelecehan seksual pada anak di bawah umur, dan pembunuhan keji. Bawa dia."
CL meronta-ronta. "TIDAK! AKU TAKKAN BERAKHI SEPERTI INI!" serunya memakai tenaga yang tersisa, berhasil lepas dari Shani dan Max. CL menatap Watson bengis. "INI SEMUA GARA-GARAMU!"
"Celaka!"
"Menyingkir dari situ, Watson!"
Aiden datang di hadapan CL, menarik kepalanya, lantas membenturkannya ke tanah. "Kali ini takkan kubiarkan kamu menyentuh anggota klubku lagi... Eh? Sudah pingsan toh. Pantas saja."
Watson menghela napas panjang.
Pukul 4 sore, 67 jam setelah penculikan Hellen Stern, Child Lover berhasil ditangkap. Seluruh mayat korban diberikan pemakaman yang layak. Kasus penculikan beruntun Moufrobi telah berakhir.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top