File 0.10.13 - Detective Who Lost His Voice

Aiden tergesa-gesa membantu Watson. "Astaga, Dan! Perutmu terluka. Kamu baik-baik saja? Maaf kami terlambat."

"Bantu Stern. Punggungnya cedera."

CL menatap Aiden dan Jeremy marah, memotong reuni. "Tunggu, kenapa kalian masih hidup?! Kalian masuk ke ruang bawah tanah! Bahkan ledakannya sampai kemari! Apa yang sebenarnya terjadi..."

"Kamu pikir kami tidak tahu soal bom itu?" Watson berkata. Wajahnya datar seperti tak minat hidup. "Pola. Aku mempelajari polamu, Pedofil Brengsek. Kamu berniat ingin meledakkan kami seperti saat kasus Roxano. Makanya kubuat rencana untuk masuk ke polamu itu dan menghancurkan mentalmu. Bagaimana rasanya ditipu?"

"Ti-tidak mungkin..."

"Kami punya rekan polisi. Daya tahan fisik mereka bukan main-main. Lari menjauh dari jarak mematikan kurasa bukan masalah besar bagi mereka, yah kecuali mereka yang gendutan. Toh, aku tak berniat mengangkut mayat-mayat PLN yang kamu bunuh."

"TAPI BAGAIMANA KALIAN BISA TAHU TEMPAT INI?!" serunya panik. Ahahaha, Watson sudah menduga. Hancurnya mental seseorang akan mengacaukan pikiran.

Watson mengingat percakapan semalam. Saat dimana Jeremy ragu gardu induk lokasi penyekapan korban culik. Mereka butuh satu jam berdebat.

"Aku membuat perhitungan. Jika bukan di gardu induk, maka carilah bangunan luas memungkinkan yang dekat dari perusahaan listrik itu. Dan kejutan, Aiden serta Bari berhasil datang kemari. Lagian mereka sempat singgah ke Panti Starnea. Kalau kamu sudah tahu polanya, tidak sulit lagi menebak-nebak."

Aiden merinding. Watson mengatakan itu dengan wajah serta suara sama-sama lesu. Mungkinkah karena ini kasus terakhir kelesuan Watson bertambah? Astaga!

"Kamu sudah kalah, CL. Menunggu menit tempat ini akan dikepung polisi. Menyerahlah dan bertobat... Ah, kurasa itu tidak bisa, ya? Tidak ada kursi tobat untukmu."

CL diam cukup lama, lalu tertawa panjang. Watson tahu ini takkan berakhir dengan kedatangan Aiden dan Jeremy. Lihatlah, CL menarik Jeremy ke cengkramannya.

"Jangan bergerak! Kalau tidak kepala teman kalian akan kubocori."

Gertakan yang lemah. CL memegang pistol, kenapa tidak langsung menembak? Kenapa malah menyandera? Dia membuang-buang waktu. Itu artinya pikirannya sudah kacau.

"Aku lebih mengkhawatirkanmu, Tuan Pedofil," ucap Aiden tersenyum miring, membaringkan badan Hellen yang pingsan ke pelukannya. "Temanku itu sedang marah besar lho."

"Apa—" CL merasakan tangannya diputar, kemudian ditarik ke depan. Siku lutut menghantam wajahnya. "UKH!"

Jeremy memegang kuduknya. "Woi, apa saja yang kamu lakukan pada Hellen? Kamu menyiksa Watson ya sampai berdarah-darah begitu?" suara Jeremy memberat. Wajahnya kosong.

Duk! Bugh! Duk! Bugh! Jeremy menghajar CL tanpa ampun. Dia mendengar seruan hentakan kursi sebelum masuk dan suara seruan Watson. CL patut dihajar.

Jeremy melempar CL ke tumpukan kayu. "Itu untuk Watson," ucapnya mengambil balok, menghantam tulang keringnya. CL berteriak kesakitan. "Itu untuk Hellen," lanjutnya memaksa CL bangkit lalu menghantam kepalanya ke dinding. "Itu untuk semua korban culik."

Geram jadi bulan-bulanan, CL menyerang balik, mengail kaki Jeremy sehingga terjatuh. "MATILAH, KEPARAT!"

Seseorang menahan tinjunya. Siapa lagi kalau bukan Nona Aiden?

Plak! Tamparan pertama yang kuat. Plak! Menyusul tamparan kedua yang sama kuatnya. Plak! Plak! Plak! Kedua pipi CL memerah pedih. Jika Jeremy menghadiahi pukulan, maka Aiden mengirim tamparan.

"Berani sekali kamu menculik temanku." Mata Aiden berkaca-kaca, marah. "Berani sekali melukai Hellen serta Dan. Membuat sedih satu kota. Hanya kematian yang menunggumu."

CL menangkap tangan Aiden. Gadis itu seperti menari melepaskan pegangan CL, menggunakan kaki kirinya menendang wajah CL yang babak belur oleh Jeremy.

Watson memperhatikan keretakan di lantai. Ruangan tersebut berayun pelan—mereka bertiga tidak merasakannya. Gawat. Bangunan ini akan runtuh. Mook masih ada di bawah. Deon entah kapan datangnya. Tolonglah! Watson tidak bisa duduk diam menonton. Dia harus ikut membantu...

Dor! Watson terbelalak mendengarnya, menatap cepat ke depan.

CL menembak ke dinding, menyeringai lebar. Dia tahu kondisi bangunan, oleh karena itu dia mempercepat proses keretakan. Lesakan kecil dari peluru menjalari seluruh permukaan dinding, menjatuhkan sebongkah batu.

Jeremy mendongak, terlambat menghindar. BRAK! Tubuhnya sempurna terhimpit puing-puing dinding. DOR! Aiden yang lengah berhasil ditembak lengannya. Dia pun terduduk.

"AHAHAHA! KALIAN PIKIR REMAJA INGUSAN SEPERTI KALIAN BISA MENGALAHKANKU? JANGAN BERCANDA! POLISI SAJA TIDAK BISA MENANGKAPKU! SEKARANG MEREKA MENGANDALKAN BOCAH-BOCAH SOMBONG?"

Watson beringsut ke tempat Aiden. "Kamu tak apa-apa?" tanyanya khawatir—yah, dengan wajah datar pastinya.

"Tolong, Dan, bertanyalah dengan sedikit mimik wajah. Kan aku bisa senang dicemaskan olehmu... Ng?" Ekspresi Aiden langsung jadi muka meme melihat Watson tidak mendengar kodenya, sibuk membalut lengannya yang tertembak.

"Kita harus menolong Bari—eh?"

Betapa kagetnya Watson melihat CL menarik tubuh Aiden, melemparnya ke luar jendela. Gadis itu berguling-guling, menarik kabel yang terulur, bergelayutan. Nasibnya berakhir di bawah sana.

"AIDEN—" Sebuah pipa besi menghantam telak leher Watson membuatnya memuntahkan darah, tergolek lemas di dekat Hellen.

"Sekarang situasinya terbalik." CL menginjak kepala Watson, tersenyum miring. "Kalian tak bisa mengalahkanku."

Gawat. Klub detektif Madoka benar-benar dalam keadaan darurat.

Hellen pingsan dari tadi, punggungnya terhantam kursi. Jeremy tertimbun reruntuhan dinding. Aiden mati-matian menahan tangannya agar tidak melepas kabel. Sementara Watson... ada yang salah dengan lehernya.

"Dari mana semuanya berawal? Oh, benar. Putri kesayanganku yang dilecehkan. Hanya karena kami dari keluarga miskin, para polisi tidak mau menanggapi kasus kami. Coba kalian bayangkan, dilecehkan berkali-kali dengan pria-pria dewasa. Putriku tidak sanggup lagi dan akhirnya meninggal. Awalnya aku hanya ingin balas dendam, tapi lama-kelamaan aku ketagihan. Akan kubuat anak-anak mereka ternodai sampai kehilangan semangat hidup. Apa aku salah? Kalian lah yang menciptakan antagonis Moufrobi ini. Aku cuman menjalankan peranku."

"Terus apa..." Lamat-lamat suara Jeremy terdengar parau. Dia susah payah keluar dari reruntuhan. Kepalanya berdarah. "Kamu ingin kami bersimpati, begitu? Kamu pikir kamu orang baik tersakiti, begitu? Jika kamu ingin balas dendam, lakukan dengan elit. Bukan dengan membunuh atau menculik, balas melecehkan. Putrimu pasti malu melihat kelakuan ayahnya."

CL menarik pelatuk pistol. "DIAM!"

Watson ingin berseru 'awas', tapi ada yang ganjil. Dia tertegun. Lho? Kenapa suaraku tidak mau keluar? Watson menatap pipa yang digunakan CL memukulnya. Mungkinkah karena benturan tadi?

Berapa kali Watson mencoba, suaranya tetap tidak bisa keluar. Bahkan mendesah saja tidak bisa. Panik dan takut mulai mendatanginya.

Sementara itu, Jeremy tidak takut akan todongan pistol, tersenyum menantang. "Kamu bukanlah protagonis tersakiti, CL. Kamu sendiri yang merubah peranmu. Padahal kamu tahu tidak bisa mengalahkan mereka yang di atas tanpa usaha, kamu malah mengambil jalan salah. Kini kamu tak bisa ditolong lagi. Kamu terlanjur jatuh ke kegelapan."

"Diam. Diam. DIAM! DIAM!"

Dor! Suara tembakan kesekian kalinya. Anehnya, bukan CL yang menembak. Jeremy juga baik-baik saja—menutup mata takut betulan ditembak. Justru CL sendiri yang terluka di bagian bahu.

Watson menoleh ke arah tembakan. Seorang perempuan berambut merah sepunggung, dikelilingi bodyguard, berpakaian ala kerajaan, memegang pistol yang berasap, duduk di antara kursi tua.

"I came cause someone reserve a help," gumamnya memutar-mutar pistol. Tersenyum manis. Duduk bersilang. "Long time no see, Watson."

Aleena Lan datang sesuai permintaan temannya, Watson.





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top