File 0.10.12 - Gloomy Detective vs Immoral Predator (2)

"Kamu bertanya bagaimana anak-anak yang kuculik? Tentu saja aku sudah membunuh semuanya! Untuk apa aku membiarkan mereka hidup."

Hellen muntah, terisak menangis. Watson berbinar tak percaya, menggeleng. Tidak mungkin mereka semua tewas. Paling tidak satu orang... satu korban saja yang masih bertahan hidup.

Mengepalkan tangan, Watson pergi menjelajahi kamar, tak peduli mayat-mayat yang menjuntai mengerikan. Pasti ada! Satu penyintas! Dia harus menemukannya.

Apa gunanya penyelidikan mereka berempat selama ini? Berharap terbaik korban penculikan akan baik-baik saja, nyatanya dunia serta Tuhan berkehendak lain. CL tega membunuh mereka.

Watson memukul lantai semen yang berdebu, menelan bulat-bulat amarahnya. Tidak ada yang bisa didapat dari marah-marah. Lagi pula mereka semua sudah tewas... Marah takkan merubah suasana duka.

"Jadi kami mencari ke sana-sini hanya untuk mencari mayat korban? Betapa menyedihkan..."

Tuk. Samar terdengar bunyi ketuk pelan. Amat pelan dan Watson nyaris tak mendengarnya jika tidak menegakkan telinga baik-baik.

Tuk. Ketuk misterius itu berbunyi lagi. Kali ini Watson beranjak bangun, berhenti bernestapa, menoleh ke sekitar yang penuh kepompong mayat. Dia sudah lupa perutnya berdarah-darah.

Ujung mata Watson mendapat penampakan selang yang mengalirkan darah. Mengikuti arah selangnya, Watson mengernyit melihat sebuah mesin cuci kolot berdiri dengan suku cadangnya yang berserakan. Ditumpuk oleh kardus-kardus.

Oh, benar juga. Watson ingat bangunan tersebut dulunya panti asuhan. Ruangan itu mungkin saja tempat pencucian anak-anak asrama.

Tuk. Suara ketukan itu berbunyi lagi. Asalnya dari dalam badan mesin. Bukan hanya ketukan, namun ditambahi lirihan lemah. "Tolong..."

Watson terkesiap. Dugaannya benar, masih ada penyintas. Tapi kalau dia langsung gegabah menolong, CL akan datang membunuhnya. Sementara kalau tidak ditolong, penyintas itu bisa meninggal. Watson harus mengulur waktu.

"Stern," bisik Watson memanggil Hellen yang hilang tenaga. "Aku ingin kamu buat suara keras. Sepertinya CL hanya memasang speaker. Kita dapat keuntungan tidak ada cctv atau kamera."

Hellen menyeka air mata. "Buat apa?"

"Ada yang masih hidup." Watson ber-sst sebelum Hellen sempat berseru. "Makanya, kamu buat suara yang berisik supaya CL tidak mendengar aku mengeluarkan penyintasnya. Menangis kencang atau apalah, pokoknya beri aku waktu. Setelahnya aku akan menarik penyintas itu mundur untuk bersembunyi."

Tanpa basa-basi Hellen segera menuruti perintah Watson, membuat-buat tangisan lebay. Kalau saja situasinya baik, kalau saja itu bukan Watson, para penonton yang melihat Hellen pasti terpingkal. Akting Hellen sangat jelek!

Tapi Watson tidak mempedulikannya. Dia sudah mengangkat penutup mesin, terkejut melihat penyintas itu perempuan muda terpaut tiga tahun di bawahnya, dalam kondisi telanjang berlumuran darah direndam air.

Melepaskan jas almamater sekolah, Watson membalut tubuh gadis tersebut dan mengangkutnya keluar, menurunkannya hati-hati ke lantai, kemudian memeriksa denyut nadi.

Denyutnya terlalu lambat! Badannya dingin sekali! Watson menggigit bibir, jalan memutar ke kepala si gadis. Sedangkan Hellen masih meneruskan aktingnya, susah payah mempertahankan gelombang pita teriakan.

Gawat, dia tidak bernapas. Sepertinya dia kesulitan menarik oksigen karena direndam lama. Tidak perlu disuruh dua kali, Watson mengganjal kepala si gadis penyintas, membuka mulutnya. Memberikan napas buatan serta CPR.

"Ayo bernapaslah!" gumam Watson mengecek hidung dan mendengar detak jantung si gadis, lanjut melakukan CPR, mengecek lagi. Dia mengulangi aktivitas itu sebanyak lima kali.

Sekitar tiga menit, gadis itu terbatuk memuntahkan air yang cukup banyak. Dia lolos dari kritis. Watson menghela napas.

"Terima kasih, Kak..." Bibir pucatnya bergumam, meringis sembari menekan perut. Watson memperhatikan. Ada luka tusuk di sana. Jadi darah dari selang mesin cuci berasal dari lukanya.

Watson menanggalkan dasinya, mengikat erat pinggang si gadis penyintas terutama bagian yang tertusuk. "Kamu teruslah menekannya. Jangan biarkan darahmu terus mengalir. Siapa namamu?"

"Mook Ernest."

"Nah, dengarkan kakak baik-baik..." Watson tercenung sesaat. Eh? Eh? Apa? Siapa namanya tadi? Ernest Mook? Kenapa Watson merasa tidak familiar. Itu nama marga Deon, kan? Masa sih gadis ini...

"Watson!" Hellen menegur panik, berhenti berakting. "Aku mendengar suara langkah kaki. CL datang kemari. Apa yang harus kita lakukan?"

Watson mengangguk, menatap Mook yang duduk gelisah memegang almamater. "Nama kakak Watson Dan. Kakak itu Hellen Stern. Dengar Mook, kami akan membantumu keluar dari tempat ini. Tapi berjanjilah bertahan sampai kami mendapat peluang untuk mengeluarkanmu. Kakak akan menyembunyikanmu di dalam kardus. Ingat, jangan tidur. Kalau kamu mengantuk hitunglah satu sampai seribu. Mengerti? Jangan sampai keluar."

Mook patah-patah mengangguk. "Ta-tapi... kakak berdua juga harus berjanji tidak terluka. Mook tidak mau Kak Watson kenapa-kenapa."

Cowok itu tidak menjawab, tersentak mendengar langkah kaki CL makin dekat. Tidak ada waktu lagi. Dengan cekatan, Watson menggendong Mook, memasukkannya ke salah satu kardus, lantas menindihnya dengan kardus lain. Tidak lupa menyisakan lubang udara.

"Watson? Kamu di mana? Main petak umpet? Kamu harus tahu aku sangat jago permainan itu. Nanti kalau kamu kalah jangan menangis." Senandungan CL membuat Watson dan Hellen merinding. Dasar orang gila.

Sekarang apa? Watson menyeka keringat, memaksakan diri agar tetap terjaga. Darahnya sudah terlalu banyak melimpah.

Waktu. Watson hanya membutuhkan waktu sebanyak-banyaknya. "Stern," panggilnya memberi kode. "Kita harus pergi. Jauhkan CL dari Mook. Bisa bahaya dia menemukannya."

"Kamu punya rencana?"

"Ya, karena itu kita mesti mengulur waktu. Aku tidak tahu kapan pasti, tapi bantuan akan datang. Ayo!" Watson menarik tangan Hellen, menyingkir dari ruangan Mook. Mereka pindah bersembunyi di lantai atas, memanfaatkan kegelapan untuk menutupi jarak pandang.

Yang jadi masalah, seiring menaiki tangga batu, tenaga Watson semakin menipis. Sampai di pertengahan lantai empat dia tidak kuat lagi menanjak.

"Bertahanlah, Watson." Hellen membantu agar mereka terus bergerak, tetapi Watson menepis tangannya.

"Aku tidak kuat lagi..." Watson duduk bersandar. Lemas. "Kamu duluan saja, Stern. Cepat sembunyi."

Hellen menggeleng. "Tidak. Aku tidak akan meninggalkanmu. Kamu tinggal aku tinggal. Kita bersama-sama melawan orang itu. Kita adalah anggota klub detektif Madoka."

Pandangan Watson memang mengabur, namun dia melihat CL mengendap di belakang Hellen. Terbelalak, Watson mendorong Hellen. CL jatuh tersungkur ke lantai berdebu.

"Ketemu kalian," katanya tersenyum lebar.

"LARI, STERN! CEPAT LARI!"

Detik-detik krusial sebelum tertangkap oleh cengkraman CL, Watson dan Hellen berhasil menjauh darinya, masuk ke kamar yang terlihat gudang barang. Banyak meja-kursi tua tersusun rancu.

Brak! CL mendobrak pintu sekali terjang. Dia spesifik menyerbu Watson, mendesaknya ke meja, mencekik. "Mari kita lanjutkan permainan kita!" desisnya hendak membuka celana Watson.

"Jangan meremehkanku sialan!" Watson meraih batu bata di atas meja, mengayunkannya ke kepala CL. Dia mengerang. Kunciannya terlepas.

Berusaha kuat melepaskan diri, CL menjambak rambut Watson, menariknya kembali ke atas meja. Kepalanya berdarah. "Jangan ke mana-mana. Kita belum selesai."

Bruk! Hellen melempar berbagai perkakas di dekatnya ke arah CL. "Menjauh dari temanku, pedofil berengsek!"

CL yang geram pun membanting Watson sehingga dia terlempar menimpa Hellen.

"Maaf." Watson tertatih bangkit.

"Tidak masalah—" Hellen terbelalak. CL mengangkat kursi, hendam menghantamkannya kepada Watson, ekspresi bengis. "AWAS!"

BRAK—! Watson mematung. Teriakannya tertahan. Hellen nekat menjadikan punggungnya sebagai samsak lemparan CL, merentangkan diri di depan Watson. Kursi itu menghantam telak punggungnya.

"STERN!" CL tertawa keras demi tontonan drama di hadapannya. Watson meremas jemari. "Mati pun tidak cukup menebus dosa-dosamu. You piece of the shit. Pergilah ke neraka."

CL menghunus pistol dari celana, menodongnya ke Watson yang mengepalkan tangan gregetan. "Sekarang giliranmu."

Inikah akhirnya? Klub detektif Madoka kalah? Watson kalah?

Sebelum CL menarik pelatuk pistol, dua orang menerjang masuk, berseru keras. "WATSON! HELLEN!"

Aiden dan Jeremy datang bergabung.




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top