File 0.10.10 - Detective Madoka vs Immoral Predator (2)
Tapi, jika Child Lover artritis, harusnya dia mencolok di satu sisi. Jalan orang itu pastilah senjang. Watson terlambat memikirkan poin itu saat bersama Jeremy.
Tunggu dulu. Ingatan Watson berputar ke beberapa saat yang lalu. Sial, dia lupa satu hal. Selalu ada impostor dalam suatu perkumpulan.
"Inspektur! Ada banyak busa peredam suara di pos-pos yang ada!"
Watson menelan ludah. Si Petugas tadi kalau diperhatikan cara berjalannya, dia terseok-seok pincang. Terlebih, dia salah redaksi kata. Watson mengatakan 'pos jaga di depan' bukan 'semua pos di gardu induk'. Mungkinkah...
Pikiran itu datang bertepatan tangannya membuka laci terakhir. Laci itu banjir oleh segala jenis permen, merebut atensi Watson hingga opini barusan menghilang begitu saja.
Dia teringat permen stroberi dari Deon. "Tidak mungkin." Menepis asumsi absurd, Watson memungut satu permen, bergumam sendiri. "Banyak sekali permen. Buat apa permen sebanyak ini?"
"Tentu saja untuk memikat anak-anak. Kamu pikir bagaimana cara aku mendekati mereka?"
Deg! Watson terbelalak. Baru saja hendak menoleh, sebuah suntik menancap lehernya. Cepat sekali reaksinya. Cowok itu pun ambruk.
"Tidurlah, Detektif Manis. Kamu yang paling berbahaya dibanding polisi-polisi itu."
*
"Tidak ada apa-apa di sini. Tafsiran Watson salah." Deon mendesah kesal, kecewa tak menemukan apa pun di rubanah.
"Mungkin kita harus mencari lebih dalam, Inspektur. Mana tahu ada lorong rahasia yang menghubungi tempat ini dengan lokasi sekap sebenarnya." Aiden berkata lugas. Mending berpikir yang pokok-pokok ketimbang pesimis.
"Itu benar!" Jeremy berseru menghampiri. Napasnya tersengal. "Watson bilang dia tidak punya informasi lagi. Dia percaya tempat ini adalah TKP-nya."
"Kenapa kamu datang sendiri?" Aiden berkacak pinggang melihat Jeremy. "Di mana Dan? Kamu meninggalkannya?"
Enak saja, Jeremy tersinggung. Anak itu kalau otaknya dipaksakan, dia akan mentok. Jeremy hapal tabiat Watson.
Deon menggeleng. "Aku sudah membaca peta lorong rubanah gardu induk sebelum kita masuk, Aiden. Melihat posisi kita saat ini, kita sudah keluar dari garis bangunan. Jika kita terus berjalan ke depan, entah sampai mana panjang lorong ini, ia akan membawa kita ke tembok buntu."
"Detektif Shani, ada apa di belakang gardu listrik?" tanya Jeremy. Mereka ceroboh tidak mengingat letak geografisnya.
"Hutan besar."
Max mengelus dagu. Ketika mereka menemukan pintu masuk rubanah, butuh banyak waktu turun ke dasar. Artinya...
Aiden dan Jeremy saling tatap, tersenyum mantap. Mereka sudah diberitahu langkah selanjutnya. "Kita terus jalan, Inspektur, meski di depan hanyalah dinding kokoh."
"Kalian punya rencana?"
"Watson sudah menduga hal ini akan terjadi. Makanya kita hanya perlu jalan lurus. Sesuatu telah menunggu di front."
Deon dan kameradnya menghela napas, mengangguk. Mereka menyetujui 'rencana Watson' yang mereka bahkan tidak tahu apa itu. Gerombolan tersebut melanjutkan langkah yang tertunda.
Dan benar saja. Dua puluh menit berjalan, dinding kokoh menyambut dan membentang tinggi. Tidak ada lagi sekat atau jalan yang tersisa.
"Jadi bagaimana sekarang?" Deon membuka mulut, celingak-celinguk. "Watson juga memperkirakan tentang dinding ini, kan? Awas saja kalau kita terjebak. Akan kujitak kepala soknya itu."
Masalahnya, walau mereka berada di ruang bawah tanah sekali pun, samar-samar bunyi bip-bip pelan bergema di plafon. Ritme yang awalnya lambat perlahan semakin kencang seiring bergulirnya waktu.
"Suara apa itu? Aduh, bau busuk apa ini?!
"Asalnya dari sana." Shani, Max, dan petugas kepolisian tergesa-gesa memeriksa pilar-pilar beton yang berdiri megah. Tak lupa menutup hidung.
Max menyorot sanding, spontan menjatuhkan senter, berbinar-binar.
Kejutan. Belasan personel gardu induk tersandar ke dinding rubanah, diurungi lalat dan semut, mengutil kulit. Bau bangkai berasal dari mereka.
Shani muntah. Aiden dan Jeremy menatap ngeri, menahan mual di perut. Deon tercenung.
"Inspektur..." Max menelan ludah. Dia menunjuk sepuluh rakitan bom melekat di tangan mayat-mayat tersebut.
20 detik sebelum peledakan.
*
Kepala dan tubuh Watson amat berat, seperti ada yang menghimpit. Dia mengerjap, menyesuaikan penerangan. Terbatuk oleh debu. Sekitar tampak berputar-putar.
Di mana ini? Watson tertatih berdiri, masih dilanda pusing luar biasa. Sial. Watson diberi obat tidur yang kuat.
"Hmmp! Hmmph!" Sayup-sayup telinga Watson mendengar gumaman tak jelas. Suaranya tidak jauh, berada dekat dengannya.
Mata Watson membulat melihat Hellen diikat di kursi saat menyensor sekeliling.
"Stern!" Watson berseru. Dia terhuyung-huyung berlarian, membuka cepat sumpalan mulut Hellen dan ikatannya. "Kepalamu berdarah. Kamu butuh pertolongan pertama."
Hellen tidak menjawab. Tubuhnya tremor hebat, memeluk Watson erat-erat, menangis dalam diam. Ya ampun, dia pasti ketakutan sekali.
Mengelus-elus punggungnya, Watson berkata, "Maaf kami datang terlambat. Banyak yang menghalang penyelamatanmu. Bahkan Bari frustasi mencari petunjuk. Tapi sekarang sudah tidak apa—"
"Yakinkah kamu berkata seperti itu?" potong seseorang bersembunyi di balik kegelapan.
Watson dan Hellen terkesiap. Sebagai insting laki-laki, Watson berdiri di depan Hellen, menatap waswas.
"Akhirnya kita bisa bertemu, hei, Detektif Manis!" ucapnya diselingi gairah.
"Kenapa kamu masih bersembunyi seperti tikus? Aku sudah tahu wujudmu. Topeng silikon yang kamu pakai tidak bisa menipuku." Watson berseru galak.
"Benarkah? Yah, sayang sekali dong. Padahal sudah susah payah kubuat." Sosok itu senantiasa berbicara di balik tembok. Watson bisa mendengar suara keretak permen lolipop.
Watson berpikir cepat. Hanya ada dia dan Hellen di situ bersama musuh utama Moufrobi. Melawan pun Watson mungkin bertahan dua-lima menit. Bagaimana cara kabur? Yang bisa dia lakukan saat ini, mengulur waktu sebanyak mungkin.
"Kamu masih ingin bersembunyi? Sudahlah, kamu akhiri saja. Awalnya aku tidak peduli, menganggap kamu cuman karakter angin lalu. Tapi keanehan-keanehan yang kutemukan selalu mengarah pada Gardu Listrik sehingga aku harus menyelidiki ulang. Dan aku berhasil mendapatkan jawabannya. Iya kan, hei, paman petugas PLN yang membantu kami pada kasus Roxano."
Sosok itu tertawa panjang. Provokasi Watson berhasil membuatnya keluar dari kegelapan. Hellen tercekat melihat wajahnya. Child Lover adalah pegawai dari perusahaan listrik yang pernah mengizinkan penyelidikan mereka.
"Bagaimana kamu tahu?"
"Dari kalimatmu. Kamu mengatakan tonggak listrik disambar petir, membuat Moufrobi mati lampu setengah hari. Padahal kamu tidak tahu kondisi cuaca malam itu sangatlah cerah. Jadi, dari mana asal hujan petir? Itu artinya kamu hanya mengarang. Juga soal petugas-petugas PLN lainnya. Mereka bukannya tidak bekerja, tapi kamu sudah membunuhnya."
Seringaian CL melebar. Dia patut memuji Watson sebab mengetahui identitasnya dari secarik kalimat. "Nah, perkataanmu yang terakhir, bagaimana kamu mengetahuinya?"
"Kamu tidak keluar dari posmu. Kamu terjepit karena mayatnya berada di lantai. Kakinya menghambat pintu. Makanya kamu rela memanggang diri di tempat pos agar rencanamu tidak rusak."
CL tepuk tangan, berdecak kagum. "Pintar. Pintar sekali. Pengamatanmu benar-benar jeli. Aku ingat hanya menyembulkan kepala untuk melayani kalian, tapi kamu tahu apa yang ada di dalam. Menakjubkan."
Watson mengepalkan tangan. Bisa-bisanya dia tertawa. "Di mana anak-anak itu berada? Aku tahu kamu tidak menyembunyikan mereka di bawah tanah Gardu Induk. Mereka disekap di tempat lain. Apa di gedung ini?"
"Seharusnya kamu mengkhawatirkan dirimu dahulu. Kamu pikir kamu sekarang ada di mana, huh?"
Watson melirik datar kiri-kanan. Tempat itu minim penerangan. Debu-debu bangunan sudah berluruhan semenjak dia sadar. Tiang-tiang reyot. Fondasi retak. Tidak salah lagi. "Ini Panti Starnea. Bangunan yang akan dirobohkan," katanya mantap.
"Uwa~ Hebatnya detektif manis ini~ Bisa tahu hanya sekali lihat~" CL sialan justru tertawa. Bersenandung meledek.
"Tidak juga. Kamu artritis. Tidak mungkin kamu bisa membawaku jauh dari gardu listrik. Aku hanya menarik kesimpulan."
"Kalau begitu kamu juga tahu dong, apa yang akan terjadi pada teman-teman detektifmu di sana."
Hellen tersentak kaget. Sadar siapa yang CL maksud. Mengingat Watson hanya sendiri, berarti Aiden dan Jeremy tinggal dengan Deon.
BUM! Persis ucapan CL selesai, ledakan keras meletus. Watson dan Hellen merunduk sebab daya ledaknya menggoyangkan tanah. Retak pada bangunan panti merayap ke lantai, dinding, dan langit-langit.
"Aiden! Jeremy!" Watson memegang Hellen yang meraung-raung. "Dia membunuhnya! Dia membunuh mereka!"
Sosok pedofil akut itu tertawa menyaksikan reaksi Hellen. Melompat-lompat girang. "BAGUS! ITU YANG KUINGINKAN! TANGISAN PUTUS ASA! JERITAN DARI MEREKA YANG TAK BERDAYA, AKU SANGAT MENYUKAINYA!"
Watson diam saja. Tangannya terus menahan Hellen. Mana tahu Hellen nekat menyerbu CL.
"Tapi, ini belum berakhir." CL mendadak bengong, berhenti melompat, menelengkan kepala. Syarafnya benar-benar cacat. Dia menyeringai kepada Watson. "Kamu pasti berpikir anak itu target terakhirku."
"Apa maksudmu?"
"Aku sudah tahu temanmu itu perempuan." CL berkata sembari melangkah mendekat, menyeringai. "Namun, kenapa aku tetap menculiknya? Sebab dia adalah umpan sempurna." Dia merogoh sesuatu dari kantong jaket, melempar benda tersebut ke udara. Hujan foto.
Hellen berhenti menangis, terpana melihat lembar demi lembar foto hanya diisi gambar Watson yang diambil dari segala sisi. Benar-benar menjijikkan.
"TARGET TERAKHIRKU ADALAH KAMU WATSON DAN!" teriaknya melengking ke seluruh ruangan. "Kamu dari luar negeri, bukan? Kulitmu pastilah halus. Aku menginginkannya. AKU INGIN MELIHAT KEINDAHAN TUBUHMU!"
Watson menggeram. "Pedofil keparat..."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top