File 0.10.1 - I'm The Burden
Kapan ya terakhir kali Watson melakukan hal ceroboh yang mencelakai rekan tim.
"GARA-GARA KAMU!" Suara Lupin melengking tinggi. Seolah tiga pukulan belum cukup meredakan amarahnya. "Aleena hampir tewas! Semua berkat kecerobohanmu!"
Bugh! Itu pukulan keempat.
Aleena menarik jauh Lupin yang menghajar Watson dengan liar. "Cukup, Lupin! Cukup!"
"Lepaskan aku! Dia pantas menerimanya! Jika dia tidak mengusulkan memecah belah kita, kamu takkan terluka!"
"Aku baik-baik saja, Lupin. Aku tidak terluka. Kalian datang tepat waktu. Sadarlah, ini bukan salah Watson. Aku yang gegabah mengikuti pelaku."
"INI JELAS SALAHNYA! Andai aku dan Jam terlambat, kamu bisa mati, Lena."
Bibir Watson tertutup, tak mampu bersuara. Lupin benar, itu salahnya menyuruh mereka berempat berpencar. Lupin benar, dia patut dipukuli.
Mela mengelus-elus bahu Watson, tersenyum simpul. "Mau kuberi salep? Atau mau kukompres?"
Watson diam. Menundukkan kepala. Mengabaikan kebaikan Mela yang mencemaskan luka lebam di pipinya.
"Aku muak denganmu," kata Lupin berhasil ditenangkan Aleena. "Inilah mengapa kutegaskan pada kalian berdua bahwa dia TIDAK COCOK menjadi pemimpin kita. Tapi kalian tidak mendengarkanku. Kalian lebih memilih si ceroboh itu daripada Jam."
Mela yang tidak suka Lupin terus mencecar Watson tiada jeda berdiri dari posisi jongkok, menatap kesal. "Apa masalahmu, Lupin? Watson sudah meminta maaf, kamu tak menerima maaf—"
"Kamu pikir maaf bisa menyelesaikan masalah ini, Mela?" Lupin terkekeh sarkas, menunjuk-nunjuk Watson. "Dia hampir membuat nyawa salah satu teman kita celaka. Cepat buka matamu dan lihatlah Jam. Kenapa kamu masih dibutakan laki-laki pengecut seperti dia—"
"LUPIN!" Oke, ini cukup. Mela akhirnya ikut meninggikan suara. "Jangan pernah mengatakan Watson pengecut."
"Kamu... membelanya? Sebenarnya kamu sudah sebuta apa, Mel? Jam lebih baik dari Watson!" Rahang Lupin mengeras.
"Kita sudah berjanji tidak mengeluh akan segala resiko menjadi detektif, kan?!"
"Oh, jadi kalau salah satu dari kita tewas kita tak boleh mengeluh? Kita tak boleh menyalahkan penyebabnya?"
"Apa? Aku tidak..."
"Cetta." Seseorang yang sejak tadi diam menonton pertengkaran, menginterupsi. Wajahnya dingin namun tersenyum hangat. "Jangan berlebihan, oke? Aku tidak mau kamu pingsan jika terlalu membawa emosi. Kamu satu lagi, Lupin, hentikan."
"Jam...!"
Empunya nama berdiri di sebelah Mela. "Kalau Cetta sudah bilang tidak maka tidak," ucapnya menatap Watson datar. "Ini bukan salahmu. Jangan dipikirkan. Aleena juga tidak apa-apa. Berhenti memperpanjangnya, hm?"
Lupin mengeram, menendang tong sampah melampiaskan marah yang tersisa.
Benar juga. Lihatlah ketenangan Jam dalam mengurus masalah ini. Lagi-lagi Lupin benar, Jam memang cocok menjadi pemimpin kelompok. Bukan seseorang ugal-ugalan seperti Watson.
Watson mengepalkan tangan. Akulah beban sesungguhnya.
*
"BRENGSEK! Kenapa harus Hellen?!" Jeremy mencengkeram portofon di genggamannya, memukul keras tapak meja.
Mereka terlambat karena pintu vila yang terkunci, mesti menunggu Deon datang untuk mendobrak. Sesampainya di sekolah, Hellen sudah tidak ada. CL berhasil menculiknya. Ada bercak darah di lantai pualam yang diduga darah Hellen.
Aiden mengembuskan napas gusar. "Dia merusak semua kamera-kamera tersembunyi di ruangan. Tidak ada petunjuk sama sekali."
Deon sendiri sedang mengurus rombongan reporter yang heboh kabar diculiknya Hellen Stern. Kejadian ini ditayangkan di siaran. Madoka dikelilingi mobil patroli.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang? Sudah jam sepuluh malam. Apa kita begadang di sini?"
Jeremy diam. Pikirannya kacau. Marah, khawatir, takut, semuanya bercampur.
Buk! Buk! Buk! Dari tadi suara benturan ini mendengung di langit-langit kamar klub, menemani kesedihan Aiden dan Jeremy. Apalagi kalau bukan Watson yang mengantuk-antukkan kepalanya ke lemari.
"Salahku. Salahku. Aku membuat kesalahan yang sama. Salahku. Kenapa aku selalu mengacau? Aku ini benar-benar..."
Sebelum Watson melayangkan kepalanya ke cermin, Aiden lebih dulu menariknya mundur. "Sudah, Dan! Hentikan! Apa yang kamu lakukan?!"
"STERN DICULIK KARENAKU! AKU PENYEBABNYA! AKU HANYA SAMPAH YANG MEMBUAT TEMAN-TEMANNYA DALAM BAHAYA! AKULAH BEBANNYA!"
"Sudah, Watson Dan! Cukup!"
Tatapan Watson mengarah pada Jeremy yang tertunduk lesu. "Kamu pasti marah padaku, kan? Aku yang menyuruh Stern tinggal. CL berhasil menculiknya karena ideku. Ayo pukul aku. Kamu bunuh pun aku takkan melawan. Ini salahku. Aku pantas mati. Aku hanya keparat yang membuat semuanya celaka. Tolong singkirkan saja aku... Aku ini tidak berguna..."
Sungguh, tak pernah muncul bayangan di benak Aiden dan Jeremy akan melihat sisi rapuh seorang manusia minim ekspresi seperti Watson sedang menangisi salah satu temannya.
Mereka berdua saling tatap, kompak menggelengkan kepala. Tak pernah juga mereka menyalahkan Watson atas insiden tersebut.
"Itu bukan salahmu, Dan—"
"SALAHKU! JELAS SALAHKU! Jika saja aku tidak meminta Stern tetap tinggal di sekolah, jika saja kita tetap bersama... Ini takkan terjadi. Aku mengulangi kesalahan yang sama. Teman macam apa aku ini." Watson menutup mukanya. Ingatan masa lalu terkenang menambah penyesalan.
Jeremy menghela napas pendek. Dia marah, tentu. Dia takut, tentu. Jeremy sudah berjanji akan melindungi Hellen, itulah sumpah yang dibuatnya sejak kecil. Tangannya sejak tadi keringatan, mencoba berpikir positif, menepis setiap pikiran negatif yang bermunculan.
Tapi sekarang, apa yang bisa Jeremy lakukan? Hellen diculik oleh penjahat utama Moufrobi. Tak ada petunjuk tertinggal. Watson sendiri berhasil dikalahkan secara mental. CL licik sekali mempermainkan emosi orang.
Apakah Jeremy tak bisa melindungi siapa pun? Apakah Hellen akan bernasib sama dengan Erika dan kakaknya Jerena? Apakah Jeremy akan kehilangan orang berharga lagi? Tidak akan! Jeremy tidak mau ditinggalkan lagi!
Watson harapan satu-satunya.
Jadi, Jeremy membungkuk menyejajarkan diri dengan Watson yang sibuk menangis, menepuk pundaknya. Cowok itu tersentak. Menatapnya intens.
Di luar dugaan, Jeremy justru memeluk Watson. "Itu bukan salahmu, Kawan. Itu juga salahku, menyetujui idemu. Salah Aiden, menahan Hellen ke rumah sakit setelah kasus Andeng selesai. Salah kita semua tidak menerapkan visi bersama-sama setiap saat. Bukan salahmu. Jangan tanggung bebannya seorang diri."
Ini menyakitkan. Watson menggigit bibir. Kenapa Jeremy tidak memukulnya seperti yang dilakukan Lupin dulu hari? Dialah penyebab Hellen diculik. Harusnya Jeremy marah padanya! Harusnya Aiden dan Jeremy mulai mengatainya!
"Jeremy benar, Dan," gumam Aiden bungkuk di sebelah Watson. Tersenyum teduh. "Semuanya berawal dari ajakanku. Aku lah yang mengajakmu bergabung ke klub kami. Pelajaran terbaiknya kita bisa sampai sejauh ini karena ajakan tersebut. Aku terlalu memaksamu selama ini. Maafkan aku, Dan. Aku seharusnya tidak memaksamu menjadi ketua kami."
"Salahku..."
Aiden menggeleng, memegang tangan Watson, mengusap-usapnya. "Bukan salahmu, bukan salahmu. Kita akan membagi bebannya. Takkan kubiarkan kamu mengangkatnya sendiri."
"Akulah beban sesungguhnya..."
Giliran Jeremy menggeleng. "Kamu bodoh, ya. Kamu pikir kasus kita selama ini selesai oleh siapa jika bukan dirimu."
Aiden dan Jeremy sama-sama memegang tangan Watson. Mereka merapat satu sama lain, saling mempertemukan kepala. Jarum jam tiba di angka enam, setengah sebelas malam.
"Kita punya tugas terakhir, yaitu menyelamatkan rekan tim kita. Apa pun yang terjadi, kita sudah tiba di garis finis. Tidak boleh mundur."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top