File 0.1.5 - Dispute in Crime Scene
"Kenapa kamu bisa seyakin itu? Bagaimana jika analisismu salah? Kamu akan mempermalukan sekolah kita."
Watson berhenti menulis, menatap datar buku hariannya sambil melamun. Perkataan Jeremy tadi sore terus terngiang di otaknya sejak makan malam berlangsung. Sederet kalimat yang membuat ketidakpercayaan Watson akan bakatnya kembali.
Jujur, Watson merasa ragu dan cemas. Apa dia akan mempercayai kemampuan deduksinya atau tetap berpikir tidak memiliki potensi? Watson tidak tahu. Dia tidak bisa tidur dan memilih mencatat. Mencoret-coret buku diari.
Jika yang dia katakan benar, maka Watson mendapatkan alasan kembali ke dunia detektif. Sekaligus mencari apa yang sebenarnya terjadi di Pockleland. Jika yang terjadi sebaliknya, Watson tidak tahu harus melakukan apa setelahnya.
Dia melanggar sumpahnya sendiri dan tidak mendapatkan apa-apa. Bunuh diri dan menyusul orangtuanya? Mungkin, kalau Watson tidak punya tujuan hidup lagi.
Tapi, walau Watson tidak percaya bakat detektifnya, kenapa dia dipercaya oleh banyak polisi? Bukankah itu artinya kemampuannya diakui?
Esoknya, Watson mengerjap tiga kali. Pandangannya lurus.
Di depan gerbang sekolah, berbaris mobil patroli sekaligus mobil tim forensik dan tim Unit Investigasi. Terdapat lima konstabel menghalangi para siswa yang baru datang, menjaga gerbang sekolah, mengunci agar mereka tidak masuk ke dalam.
Apa yang terjadi? Kenapa ada mobil polisi di sini? Kenapa mereka melarang para siswa masuk? Watson berhitung dalam hati. Jika mereka dilarang masuk, berarti Aiden dan yang lain pasti menunggu di suatu tempat.
Menoleh ke kiri dan kanan, Watson tidak menemukan siapa pun selain murid-murid berwajah asing dari kelas lain. Asyik berceloteh dengan teman mereka, mengabaikan Watson yang penuh kebingungan. Ini membuat Watson gemas akan apa yang sedang terjadi.
Jangan-jangan ada tersangka penyuapan? Atau narkoba dan kekerasan di luar sekolah, mungkin? Atau-atau, ada guru yang membocorkan soal ujian nasional. Celaka! Mungkinkah deduksi Watson salah besar?
Line!
Terdengar notif aplikasi dari ponsel Watson. Dia spontan merogoh saku, mengeluarkan gadget kecil tempat sumber pengetahuan orang-orang secara online. Ada mainan kunci bola berbulu menggantung di ujung ponsel.
Kening Watson bertaut. "Dari Aiden? Dia dapat id-ku dari mana? Padahal dia tidak minta, dan pastinya aku ogah memberitahu."
Tidak mau berpikir aneh-aneh—kalau ternyata Aiden adalah stalker andal atau mempunyai teman seorang peretas—Watson langsung saja menekan balon obrolan tersebut.
Kamu sudah datang, Dan?
Watson sekali lagi menoleh ke sekeliling, memastikan kalau Aiden dan yang lain tidak ada di sana. Jarinya menari di layar ponsel, menghiraukan kicauan oknum di sekitarnya.
Aku di depan gerbang. Apa yang terjadi?
Setelah membalas pesan Aiden, Watson hendak memasukkan kembali ponselnya ke saku. Tetapi ponselnya berdering lagi, berkat notif dari balon percakapan yang sama. Aiden membalas pesannya tak cukup dua detik.
Apakah Aiden berada di rumah? Kok bisa fast respon? Watson menahan rasa bingungnya, menekan balasan dari Aiden.
Kamu buruan sebut namamu ke para polisi di gerbang, lalu cepat datang ke pohon sakura!
Dulu pemaksa, bersikukuh mengajak Watson bergabung ke klubnya. Sekarang seenak hati memerintah Watson, mentang-mentang dia senior-nya di dalam klub. Siapa yang tidak kesal diperlakukan seperti itu?
Beruntung, Watson tidak terlalu peduli pada masalah kecil itu—dia benar-benar punya banyak tabung kesabaran.
Tak perlu berpikir dua kali, Watson mematikan ponselnya tanpa membalas, lantas menerobos rombongan murid yang masih merumpi ria satu sama lain. Sesampainya di depan, Watson langsung saja melakukan apa yang diperintahkan oleh Aiden.
Benar saja yang dikatakan Aiden. Polisi penjaga TKP itu mempersilakan Watson masuk ke dalam tanpa banyak tanya. Murid-murid yang dibatasi police line tentu saja protes tidak terima. Kenapa Watson diperbolehkan masuk sementara mereka tidak? Apa salah mereka? Ini tidak adil!
Watson masuk ke halaman sekolah dengan raut wajah cemas.
Kenapa firasatnya tak enak?
*
"DAN! Akhirnya kamu datang juga!" Aiden berseru senang begitu melihat batang hidung Watson. Lelaki itu akhirnya ikut bergabung di taman belakang. "Kami sudah menunggumu sejak tadi, loh."
Watson memperhatikan dari jauh. Cewek itu mengganti rambutnya lagi, tetapi kali ini lebih unik dan susah; Aiden menjalin rambutnya ke belakang—model lipan, lalu memberi masing-masing dari jalinannya dengan lin biru. Paling bawah Aiden mengikatnya dengan pita parcel (kain) berwarna kuning-biru. Dia membiarkan rambut bagian depan yang kiri dan kanan tergerai bebas. Aneh, tapi indah.
Aduh, melihat rambut Aiden yang gonta-ganti tiap hari membuatku jadi terbiasa menjelaskannya. Watson memanyunkan bibir, memiliki hobi baru semenjak mengenal Aiden.
Watson melirik ke samping. Hellen berdiri di sebelah Aiden bersama Jeremy yang tampak mendengus masam. Untunglah Hellen tidak terjangkit virus Aiden.
Belum genap Watson sampai, Aiden langsung menunjuk sosok Watson pada seorang petugas kepolisian yang membelakangi mereka bertiga. Langkah Watson langsung terhenti, membelalakkan mata kaget.
Itu salah seorang anggota Unit Investigasi—detektif kepolisian! Perawakannya sekitar tiga puluh-an tahun, memakai jaket kulit lengkap dengan sarung tangan hitam, dan berwajah garang.
Ah, sial. Watson merutuki diri dalam hati, telat kabur dan menghilang dari pandangan pria tersebut karena dia sudah duluan melihat Watson. Tubuh Watson mulai gemetaran. Kalau tahu kalau ada detektif di sini, Watson takkan mau masuk ke TKP.
Terakhir kali Watson bertemu dengan seorang petugas kepolisian adalah di taman bermain Pockleland, saat dia liburan. Terakhir kali Watson bertemu Inspektur yang meminta bantuan untuk menangani sebuah kasus, Watson menolaknya tanpa basa-basi.
Itu bukan perpisahan baik, mengingat Watson pindah negara tanpa memberi kabar apa pun pada beliau. Watson sudah memutuskan berhenti dari dunia pembunuhan dan ingin memulai hobi baru—yang ternyata gagal.
Bagaimana jika berhubungan lagi dengan suatu kasus, membuat detektif kenalan Watson di New York tahu bahwa Watson gagal meninggalkan hobinya? Segala kasus yang pernah dia urus sewaktu sekolah dasar akan diketahui oleh seluruh anggota polisi di wilayah ini.
Tidak boleh, jangan sampai itu terjadi.
Jika bukan karena Aiden, Watson akan berhenti dari pekerjaannya membantu polisi. Selalu ada penghalang yang membuatnya tidak jadi melupakan dunia berdarah. Watson membenci dirinya yang tidak percaya pada deduksi sendiri untuk menemukan kebenaran.
"Jadi kamu yang menemukan posisi tubuh korban?" Pemuda berstatus detektif Unit Investigasi berdiri di depan Watson yang masih berkelana di masa lalu. "Bisa ikut aku ke kantor untuk menjelaskannya secara detail?"
"A-aku hanya ...." Watson gelagapan. Ke kantor katanya? Dia mau mengajak Watson ke ruang interogasi? Tidak mau! Itu adalah tempat yang paling tidak ingin Watson kunjungi!
Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Kenapa Watson tidak mencium aroma busuk itu lagi? Kenapa ada banyak detektif dan police line di kebun belakang sekolah? Apa yang mau mereka lakukan di Madoka?
Watson hendak bertanya pada Aiden, meminta agar gadis itu menjelaskan apa yang terjadi. Tetapi, tiba-tiba Watson termangu. Jangan bilang kesimpulannya kemarin benar? Tubuh korban ada dalam batang pohon? Deduksinya benar?
"Inspektur Deon!" panggil anak buah dari pemuda di depan Watson. Dia membawa selembar berkas, berlarian kecil ke arah mereka berdua.
"Kami sudah mengidentifikasi korban," ucapnya memberikan lembaran kertas tersebut pada pemuda bertampang sinis iyu. "Namanya Rachleia Moon, 7 tahun. Dia sudah menghilang sejak awal bulan Januari. Terakhir dia terlihat adalah saat pulang dari sekolahnya, sekolah dasar Dorias."
Deon menggaruk kepala gemas, lalu menghela napas kasar. "Cih, lagi-lagi kasus penculikan dan pembunuhan anak-anak. Kapan kasus ini berakhir, ya ampun."
Rekannya berbisik, "Mungkinkah ini ulah Child Lover? Hanya dia yang suka menculik anak-anak dibawah umur, mencabuli mereka dan membunuhnya."
"...." Watson tak sengaja mendengar bisikan rekan Deon karena dia tepat berada di depan mereka.
"Jangan terlalu cepat menyimpulkan," sanggah Deon sembari memijat pelipis. "Bagaimana kondisi tubuh korban?"
"Ah, iya! Tubuh korban sudah diurus oleh tim forensik. Tidak ada yang aneh di dalam tubuh korban. Semuanya baik-baik saja, kecuali ... kepala korban." Sang Rekan Tim Deon menjawab ragu, menggantung kalimatnya.
Aiden dan Hellen saling tatap. Jeremy hanyut dalam pikiran. Sedangkan Watson memasang raut wajah serius.
"Ada apa dengan kepala korban?" tanya Deon, menaikkan satu alis ke atas demi melihat rekannya yang berbicara ragu.
"Kepala hingga leher korban menghilang. Pelaku memenggal kepala korban dan menyembunyikannya."
DEG! Baik Deon atau anggota Klub Detektif Madoka, mereka sama-sama kaget mendengar info mengejutkan itu.
Watson terdiam. Kepala korban hilang? Maksudnya, pelaku memotong leher korban lalu memisahkannya dari tubuh korban? Perbuatan macam apa ini.
Jadi, kesimpulan Watson memang benar. Suara gema saat Watson mengetuk batang pohon itu berasal dari ruang—dalam batang—yang telah dikikis lama oleh si Pelaku. Tapi, satu hal yang tidak Watson mengerti.
Kenapa pelaku harus meletakkan mayatnya di sini? Di Madoka? Korbannya anak-anak, 'kan? Harusnya pelaku mengubur tubuh korban di sana. Pasti ada sesuatu yang diinginkan oleh pelaku. Entah itu membuktikan keberadaannya agar semua massa panik atau dia hanya iseng mendapatkan ide brilian untuk menyembunyikan tubuh korban jauh dari sekolah korban.
"Dia menyembunyikan kepala korban di suatu tempat, dan membuang jasadnya ke dalam batang pohon sakura," kata rekan Deon memberitahu. "Saat ini kami masih mencari di mana kepala korban. Mungkin saja terkubur dalam di bawah pohon sakura. Pihak sekolah sudah memberi izin untuk menebang pohon sakura supaya kasus ini bisa ditutup secepat mungkin."
Deon mengelus dagu, tampak menimang semua kemungkinan-kemungkinan.
"Inspektur, sudah jelas CL dalang dalam kasus ini! Hanya dia yang mampu membuat perbuatan kejam dengan memenggal kepala korbannya!" seru rekan Deon, bersikukuh pada dugaannya. Sementara TKP makin sesak oleh kedatangan ambulans.
Deon mengernyit. Waktu mereka sangat terbatas demi mencari kepala korban yang hilang. Sama sekali tidak ada yang bisa dijadikan petunjuk untuk menemukan kepala korban.
Ah, benar juga. Yang menemukan jasad korban adalah anggota klub detektif dari sekolah ini, 'kan?
Dari tadi, dibanding memikirkan dalang pembunuhan Rachleia, Deon lebih memikirkan bagaimana cara anak-anak kelas satu remaja biasa bisa menemukan tubuh korban yang terbilang cukup sukar untuk dicari. Siapa sangka pelaku meletakkannya di dalam batang pohon?
Anak-anak itu berbakat, Deon bisa merasakannya. Terutama anak lelaki yang baru datang tadi. Dia pasti menyimpan sesuatu.
Deon menoleh ke belakang, tersentak. "Lho? Ke mana anak tadi?"
"Teman-temannya juga tidak ada ...."
*
Watson menyusuri lorong koridor dengan langkah cepat. Jantungnya berdetak tak karuan. Separuh cemas kalau-kalau dugaannya benar untuk kedua kali. Separuh senang deduksinya membuahkan kebenaran.
Di belakang, Aiden dan Hellen mengekor. Mereka berdua susah payah mengejar langkah Watson yang bisa dibilang cukup cepat. Watson terlihat tergesa-gesa.
"Dan! Tunggu dulu, Dan! Beritahu kami, apa kamu tahu sesuatu? Kenapa kamu tiba-tiba lari ke dalam sekolah?" sorak Aiden terengah-engah.
Watson menuruni tangga dengan cepat. "Kita bahas itu nanti-nanti, Aiden. Para polisi membutuhkan bantuan. Kita harus segera memberitahu mereka posisi kepala korban."
Seketika wajah Aiden berubah jadi cerah. "Kamu mau bilang kamu sudah tahu di mana letak kepala korban, Dan? Astaga! Bilang kek dari tadi!" serunya ceria, bahkan sampai berlarian kecil untuk mensejajari langkah dengan Watson. "Kalau begitu, kita harus cepat mencarinya."
Watson sempat salah tingkah seangin melihat Aiden berlarian kecil di sebelahnya. Dilihat dari dekat, gadis itu benar-benar cantik dengan rambut pirang dan mata merah jambunya. Dia terlihat seperti seorang putri.
Secepat kilat Watson memalingkan wajah, lagi-lagi merutuk diri dalam hati. Mereka hampir sampai ke tempat tujuan.
Apa yang Watson pikirkan? Sekarang bukan waktunya untuk mesra-mesraan yang Watson sendiri tidak berminat. Mereka harus segera menemukan kepala korban, lalu melapor pada polisi supaya pelaku bisa secepatnya dicari.
"HENTIKAN TINGKAH MENGGELIKANMU ITU, WATSON! Aku sudah muak denganmu!" Seseorang berseru marah dari balik dinding.
Watson, Aiden, dan Hellen, spontan menghentikan langkah mereka, serempak menoleh ke asal suara.
Itu Jeremy! Dia ternyata mengikuti Watson sejak tadi, bersembunyi di salah satu tembok koridor. Cowok sangar itu mendekat ke arah Watson, menatap seolah Watson adalah musuh bebuyutan yang paling dia benci.
Watson menghela napas datar. Kenapa Jeremy selalu membentak Watson setiap waktu sih? Padahal Watson sudah mau bersabar dengan semua ledekannya. Kali ini dia mau apa? Tingkah menggelikan, katanya? Memang Watson habis ngapain sampai dia mengatakan hal itu.
"Kamu ingin membual lagi?" tuding Jeremy begitu tiba di depan Watson. "Kamu ingin mengada-ada soal anggota tubuh korban yang hilang untuk mencari perhatian lagi? Kamu sungguh menjijikan. Menjadikan kasus sebagai peluang untuk popularitasmu. Betapa mengenaskannya dirimu. Segitunya kamu demi mendapatkan perhatian dari Aiden dan Hellen."
Watson kira dia hanya akan mengejek seperti biasa dengan kata-kata kasar. Tetapi kali ini mulut Jeremy lebih tajam dan berbisa. Rasanya ada yang ingin meledak di dalam diri Watson.
"Kamu sungguh memuakkan. Aku tidak tahu trik apa yang kamu pakai sehingga Aiden sampai merekrutmu, tapi aku takkan pernah menerimamu di tim ini. Aku tidak butuh rekan ngemis perhatian sepertimu," cerca Jeremy lagi, sengaja benar menyulut emosi lawan bicaranya.
Kenapa, ya, Jeremy sangat membenci Watson? Kenapa Jeremy selalu beranggapan bahwa Watson bergabung hanya untuk reputasi? 'Kan yang mengajak Watson bergabung ke sana adalah Aiden. Kenapa jadi dia yang disalahkan?
Watson tidak marah, sama sekali tidak. Dia tidak peduli mau Jeremy benci atau suka padanya. Itu hak Jeremy, bukan hak Watson. Jadi, terserah kalau dia mau memusuhi Watson.
Aiden melotot marah. "Jeremy, kamu ini sebenarnya ada masalah apa—"
Jeremy menatap Aiden dengan tatapan aneh, membuat Aiden batal protes. Hellen menundukkan kepala ke bawah, tidak ingin ikut campur ke masalah antar pria.
"Kita pergi, teman-teman. Kita tidak perlu mengikuti pria pencari perhatian ini. Tanpa dia sekali pun, kita bisa memecahkan kasusnya seperti biasa." Jeremy berkata serius, berbalik membelakangi Watson yang masih diam tak berekspresi.
"Calm down." Watson bergumam pelan, menenangkan diri dengan mantra kesayangannya. Mantra itu selalu berhasil setiap kali saat Watson kehilangan kendali. Bagai lagu pengantar tidur.
"Dia berhasil menemukan tubuh korban tak kurang dari sebuah keberuntungan. Apakah dia berpikir bahwa dia akan selalu beruntung? Yang ada, sekolah kita malu besar karena kesombongannya! Mau di mana muka kita diletakkin? Huh! Aku tak sudi harga diriku punah oleh orang asing—"
Grap! Aiden dan Hellen berseru tertahan. Watson sepertinya sudah tidak tahan. Dia menarik kerah seragam Jeremy, menatapnya bengis.
"Jika kamu punya waktu untuk menilai segala tindakanku, kenapa tidak kamu gunakan saja otak pintarmu itu untuk menyelesaikan kasus ini? Kenapa kamu justru mengomentari semua gerak-gerik orang yang membantumu kala kamu kehabisan petunjuk? Aku suka rela bergabung ke klub ini karena Aiden bersungguh-sungguh mengajakku. Apa kamu tidak menghargai usahanya? Kamu temannya, 'kan? Kamu pasti tahu bagaimana sifatnya.
"Andai kamu tahu, aku tidak ingin kembali lagi ke dunia misteri. Aku membencinya. Aku tidak percaya pada kemampuanku, meski semua kenalanku mengakui bakat sialan ini. Hal itu membuatku kehilangan orangtuaku. Tahukah kamu, betapa senangnya aku mengetahui bahwa asumsiku tentang pohon sakura itu benar? Setidaknya aku mulai percaya, bahwa kemampuanku dalam berdeduksi itu bukanlah bualan."
Jeremy menelan ludah. Aura Watson sungguh kental dan pekat. Tetapi, Jeremy bisa melihat bahwa mata Watson berkaca-kaca.
Watson melepaskan cengkeramannya. "Seseorang sedang bermain-main dengan kepala manusia. Aku tidak bisa membiarkan itu," sambungnya dengan mimik kosong. "Tetapi kamu malah menganggap yang kulakukan hanya keberuntungan semata, tanpa tahu aku juga berusaha melakukan yang terbaik. Berusaha membuktikan bahwa kepercayaan orang-orang itu tidak salah."
Setelah mengatakan itu, Watson pun berlalu dari pandangan mereka bertiga, melanjutkan langkah. Bisa-bisa Watson meledak jika lebih lama berdiri di sana.
Entah mau seberapa sabar pun manusia, mereka tetaplah makhluk yang bisa marah kalau situasinya memang tidak memungkinkan. Termasuk Watson.
Monster keheningan menguasai lorong koridor, menyisakan suara gema langkah sepatu Watson yang menghilang di ujung anak tangga. Tidak ada yang mau membuka suara, sampai Hellen tiba-tiba memukul kepala Jeremy.
"Puas kamu sekarang, hah?!" murka Hellen memukuli kepala Jeremy sampai puas. "Kamu sudah membuat anak orang down demi ujian bodohmu itu!"
Jeremy tergagap. "A-aku ... maafkan aku. Aku hanya ingin melihat keseriusannya."
"Dengan menjatuhkan semua usaha yang dia lakukan?! Astaga, Jeremy! Aku tidak tahu apa yang merasukimu sampai kamu mengucapkan kata-kata sekejam itu pada Watson! Kamu sampai membuat Watson mengatakan privasinya!" Hellen menepuk dahi, marah luar biasa. "Hanya karena dia anak baru, bukan berarti kamu bisa memperlakukannya seenak jidat!"
"Aku minta maaf ...."
"Tidakkah kamu melihat betapa seriusnya Watson dalam kasus ini? Dia sampai ke TKP tanpa memedulikan dirinya yang bisa pingsan kapan saja karena bau busuk itu. Aiden tidak mungkin merekrut Watson hanya untuk mencari popularitas saja!"
Selagi mereka berdua sibuk mengomel, Aiden menatap jalan yang dilewati oleh Watson. Ada kesedihan menggantung di sana.
Aiden melihatnya. Aiden melihat betapa sabarnya Watson dengan semua hinaan yang diberikan oleh Jeremy. Aiden melihat anak itu pergi dengan perasaan tertekan.
Watson Dan rupanya anak yang rapuh.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top