File 0.1.4 - That Tree Has a Secret

Pohon sakura di belakang sekolah menyimpan sebuah rahasia. Bahkan Watson merasakannya sejak melihat pohon itu dari jendela perpustakaan. Baiklah, coba kita lihat apa yang sebenarnya disembunyikan. Akan Watson ungkap rahasia bau busuk misterius ini. Kasus pertamanya semenjak menutup buku dari dunia detektif.

Hellen berdeham sejenak. Aiden di sebelahnya ikut menyimak sambil mencomot cemilan di meja. Sedangkan Jeremy masih menatap masam Watson, namun telinganya tegak mendengarkan diskusi.

"Ada rumor yang mengatakan setiap murid-murid duduk atau bermain-main di dekat pohon sakura, mereka selalu mencium bau busuk menyengat di sekitar sana. Mereka sering kali mengeluh pada petugas kebun agar segera mencari asal busuk tersebut dan membersihkannya. Tetapi nihil, petugas kebun tidak menemukan apa pun. Entah dari mana bau busuk ini berasal, tidak ada yang tahu."

"Lalu apa yang terjadi?" Watson bertanya.

"Awalnya keluhan ini dianggap masalah sepele oleh Dewan Siswa dan Dewan Guru. Bisa saja itu bangkai hewan atau sisa sampah makanan yang mengalami proses pembusukan. Tetapi, hari demi hari bau busuk itu semakin parah. Bahkan masuk ke perpustakaan lewat ventilasi dan jendela. Rumor ini pun membayang-bayangi penjuru sekolah. Tidak ada yang mau masuk ke perpustakaan, bahkan guru-guru pun."

Dan mereka justru mengunci perpustakaan membuat bau busuk itu mengumpul di dalam. Watson mengembuskan napas, mengambil keripik di mangkok. Delapan detik, tangannya terhenti di udara. Mematung sesaat menyadari sesuatu.

Tidak, tunggu. Watson mengelus dagu. Bagaimana jika penyebab bau juga ada di dalam perpustakaan? Dewan Guru menyuruh petugas kebersihan memalang seluruh pintu angin ruangan, membiarkan bau busuk mengendap di sana. Tak mungkin kan makin hari bau busuk itu malah tercium pekat seolah kadar baunya tidak berkurang sedikitpun walau sumbernya telah dikunci.

Lagi pula Watson tidak tahu bentuk dari bau busuk ini. Beda benda, beda zatnya, beda jangka waktunya. Apa itu benar-benar bangkai hewan, sampai makanan, atau sesuatu yang lain. Terkubur entah di mana.

"Dan? Dan!"

Lamunan Watson buyar. "Ada apa?"

"Kenapa kamu malah bengong..." Wajah Aiden mendadak berubah antusias. "Jangan-jangan kamu menemukan sesuatu dari penjelasan singkat barusan?!"

"Ah, bukan begitu."

"Huh! Sesuai dugaan, tidak ada yang bisa diharapkan oleh anak ini! Dia tidak memiliki insting seorang detektif—pletak!" Kalimat Jeremy terpotong karena Aiden menyentil kening anak bermulut otot itu.

"Tidak ada yang mengajakmu berbicara." Aiden menatap Jeremy penuh penekanan.

"Ma-maafkan hamba, Tuan Putri."

Watson tidak menghiraukan Aiden dan Jeremy karena pikirannya mulai bergerak bagai roda berdebu usang yang kembali digunakan. Watson tidak bisa menahan rasa gairah semangat ini.

"Apa yang terjadi setelahnya?"

"Karena terlalu banyak keluhan, Dewan Siswa pun meminta bantuan pada kami agar secepatnya mengurus misteri ini, namun kami buta petunjuk. Sudah berhari-hari menyelidiki keadaan di sana dan kami tetap tidak menemukan apa-apa."

Watson bergumam sendiri. Tangannya mencomot keripik, membiarkan Aiden dan Jeremy masih perang mulut di sebelah meja.

"Sekitar dua hari, Dewan Siswa mendapatkan laporan baru dari seorang murid." Hellen berkata lagi.

"Laporan apa?"

"Ada yang bilang bau busuk itu sudah menghilang," ucap Hellen serius.

Watson berhenti mengunyah, mencerna ucapan Hellen. "Menghilang? Kenapa?"

"Itulah membuat kami bingung, Dan." Akhirnya Aiden berhenti adu mulut dengan Jeremy. Dia mendesah panjang, duduk meluruskan kaki dan tangan di atas meja. "Tidak mungkin bau busuk itu menghilang begitu saja sementara perpustakaan masih dihantui bau menyengat."

"Jadi maksudnya, bau itu hanya hilang di kawasan pohon sakura?" tanya Watson menelan keripik di mulut. Tidak ada ekspresi apa pun tercetak di wajahnya.

Merasakan perubahan drastis dari Watson, Aiden menelan ludah, menjawab gelagapan. "I-iya. Tapi berita itu cuman bertahan dua hari. Besoknya bau busuk itu kembali menguasai daerah pohon sakura seakan melarang para murid bermain di sana. Jadi lah mereka memilih makan siang di taman depan. Padahal istirahat di bawah pohon sakura itu enak. Kita bisa melihat keindahan daun pohon serta menghirup keharumannya."

Watson tersentak demi mendengar kalimat terakhir yang diucapkan oleh Aiden, spontan bangkit dari kursi. Karena dia bangkit terlalu mendadak, yang lain nyaris terjungkal jatuh ke lantai. Hellen yang refleks memegang dada, jantungan. Aiden dan Jeremy sama-sama mengumpat kaget.

"Aduh, Dan! Kalau mau berdiri kasih aba-aba dong! Jangan main bangkit saja! Aduh, jantungku." Aiden mengelus-elus dada, memastikan apakah jantungnya masih berdetak normal atau sedang meraton lari.

Watson tidak menjawab. Dia bergegas meninggalkan meja diskusi, menarik pintu klub. "Aku pergi dulu."

"Eh, mau ke mana?"

"Kebun belakang. Jika kalian mau ikut, pastikan memakai masker."

-

"Mau ngapain kamu ke sini, heh?" Jeremy berkomentar sinis. Dia berkacak pinggang menatap Watson yang sama sekali tidak memakai penutup hidung apa pun. "Kamu ingin pingsan karena aromanya lalu diangkut oleh Aiden ke kamar kesehatan? Kamu rupanya tukang cari perhatian, ya. Kesanku makin buruk padamu."

Aiden menyikut pinggang Jeremy, melotot. "Jaga bicaramu sebelum kujitak kepalamu sampai benjol seminggu."

Orang-orang kebanyakan akan emosi dicemooh terus seperti itu, beruntun pula. Tetapi beda dengan Watson. Dia bahkan tidak marah sedikit pun pada celaan Jeremy.

"Memastikan sesuatu." Watson membalas pendek. Dia melangkah selangkah ke pohon di depan mereka, meringis. Sialan! Bau itu benar-benar busuk.

"Dan, kamu takkan kuat menahan baunya tanpa masker. Aku bawa cadangan nih." Aiden berseru cemas pada Watson yang nekat berdiri lebih dekat dengan batang pohon sakura tanpa menggunakan penutup hidung.

"Tidak usah. Justru itu yang kuinginkan."

Aiden dan Hellen saling tatap. Apa yang barusan Watson katakan?

Watson mendongak. Dilihat dari dekat, pohon sakura benar-benar indah dan anggun. Kalau saja bau busuk itu menghilang, Watson akan menjadikan tempat ini untuk tiduran saat jam makan siang tiba, berguling-guling di bawah siraman daun pohon menikmati keharumannya.

Watson termangu terhadap ucapannya sendiri. Keharuman ya...

"Hei, sejak kapan para murid mulai mencium aroma busuknya?" Sedikit demi sedikit, Watson mendapatkan petunjuk. Sebuah gagasan gila baru saja terlintas di benaknya.

"Dua minggu sebelum musim semi. Kenapa memangnya?"

"Apakah pohon ini mengeluarkan bau yang sangat harum?" tanya Watson lagi.

Hellen yang menjawab. "Bahkan bunga sakura bisa diolah menjadi alat kosmetik atau sabun mandi. Kenapa sih memangnya? Kamu dapat sesuatu, Watson?"

Baru saja Watson ingin menjawabnya, dia tersentak begitu menarik tangan dari batang pohon. Ada serpihan kayu seperti remah-remah menempel di telapak tangannya. Dia mengetuk batang pohon sakura dengan tatapan misterius yang tak bisa diungkapkan lewat kata-kata. Bingo! Jadi begitu rupanya. Dia paham sekarang.

"Hei, Dan, kenapa senyum-senyum begitu? Kamu tidak lagi kesurupan karena bau busuk itu, kan?" seru Aiden mengaburkan lamunan Watson untuk kedua kalinya. "Memangnya apa sih yang mau kamu cari di sini? Duh, busuk banget. Pengen muntah."

"Pertama-tama, ayo kita kembali ke klub. Karena ini sudah pukul lima lewat, kita masih punya waktu mendiskusikan masalah pelik ini." Watson berkata datar seraya berbalik membelakangi pohon sakura.

Yang lain tanpa banyak bicara mengekori langkah Watson dari belakang, meninggalkan dedaunan pohon sakura yang rontok ditiup angin sore.

-

Ruang Dewan Siswa.

Di luar pengetahuan Watson dan yang lain, rupanya ada yang memantau pergerakan mereka sejak tadi dari kaca jendela lantai tiga. Mengamati dari kejauhan.

"Wah, sepertinya mereka jadi terburu-buru berkat ancaman yang kamu berikan, Apol, sampai nekat pergi ke lokasi perkara," kata orang yang melihat empat anggota klub detektif dengan teropong. "Dan kelihatannya mereka mempunyai member baru."

"Lho? Bukannya itu anak baru pindahan dari New York? Dia dari kelas 10A, kan?" celetuk cewek pendek ikut melihat situasi. "Tuh, kan, aku benar. Dia si anak baru pendiam yang digosipkan itu!"

"Wah, wah, ini semakin menarik saja."

Apol, ketua konsil Madoka senior high school, meletakkan cangkir teh kembali ke piringnya, duduk dengan elegan memimpin keenam rekan-rekannya. Dia tampak berkelas sekali. Parasnya tampan, apalagi dia mempunyai mata sipit sampai bola matanya tak terlihat.

"Watson Dan, ya? Dia anak yang menarik. Aku sempat membaca surat pindahnya. Berasal dari New York, yatim piatu, dan homeschooling tiga tahun." Apol berkata pelan.

"Buset! Tiga tahun! Dia kuat tidak bertemu manusia-manusia bumi selama itu? Astaga, astaga. Rekor! Aku sehari saja gerah. Bergegas ingin shopping di mal."

"Siapa tahu, kan, dia mogok masuk sekolah umum sejak kematian orangtuanya dan akhirnya melanjutkan studinya di sini." Apol mengangkat bahu.

"Benar juga. Kudengar orangtuanya tewas karena pengeboman besar-besaran di Pockleland. Anak yang malang."

Apol tertawa renyah. "Untuk sekarang, kita pantau saja dulu. Kita belum tahu, apakah seekor tikus kecil bisa lepas dari terkaman harimau? Habisnya, tikus yang satu ini berbeda dari tikus-tikus lainnya."

"Kamu yakin, Apol? Menargetkan anak baru yang bahkan belum genap seminggu bersekolah di Madoka. Kurasa itu keterlaluan." Cewek yang dari tadi berdiri di samping kursi Apol, akhirnya ikut andil ke pembicaraan.

"Hehehe, makanya aku bilang memantaunya dari jauh-jauh hari. Tenang saja, aku takkan melewati batas privasi orang kok." Apol menjawab yakin. "Aku tertarik karena aku rasa aku sama dengannya."

Anggota konsil yang lain hanya bisa menatapnya datar serta helaan napas panjang. Mereka tidak akan bisa melawan obsesi Apol.

"Watson Dan, ya?"

-

"Tunggu, apa? Keanehan?" Hellen mengernyit. "Apa maksudnya coba?"

Watson mengangguk. "Para murid mulai mencium aroma busuk itu saat pohon sakura belum mekar alias sebelum musim semi datang."

Aiden dan Hellen memiringkan kepala. Tidak mengerti. Kecuali Jeremy yang terlihat tahu segalanya.

Watson heran kenapa mereka bertiga bisa mendirikan klub itu, beralih mendesah datar. "Coba pikirkan, aku datang ke sini hampir di pertengahan musim semi. Sementara bau busuk itu sudah memang menyengat sejak aku belum datang, sehari sebelum masuknya bulan musim semi."

Mereka bertiga menyimak serius.

"Lalu tiba-tiba ada murid yang melaporkan bahwa bau busuk itu menghilang saat awal-awal musim semi datang, sementara bau di dalam perpustakaan masih tercium. Tetapi dua hari kemudian, bau itu kembali menyelimuti pohon. Bukankah itu terdengar aneh? Rasanya ada sesuatu yang disembunyikan di sana." Watson menyambar segelas air di meja, meneguknya beberapa kali teguk. Rasanya sesak mengoceh panjang setelah berminggu-minggu berbicara seperlunya saja.

Aiden mengusap-usap dagu, berpikir. "Itu berarti, saat berita itu tiba, bau busuk di pohon sakura tidak benar-benar menghilang?"

Watson mengangguk.

"Kenapa bisa begitu?" tanya Hellen gemas.

"Itu karena bau harum yang dikeluarkan pohon sakura," ucap Watson datar meletakkan cangkir ke atas meja kemudian memasukkan satu tangan ke saku celana. "Alasan mengapa berita tentang bau busuk itu menghilang adalah pohon sakura mengeluarkan bau harum yang menusuk. Bau harum ini menyamarkan bau busuk tersebut. Dan mungkin, para siswa memeriksanya sekali lagi ketika dua-tiga hari setelah puncak datangnya musim semi. Tentu bau harum pohon sakura di hari pertama berkurang. Otomatis bau busuk itu pun kembali tercium."

Hellen meletakkan jari ke dagu. "Jadi bau busuk itu apa? Asalnya dari mana?"

"Mayat." Watson menjawab datar. Aiden dan Hellen refleks menoleh padanya. "Itu juga alasan aku tidak menutup hidungku untuk memastikan bau apa itu sebenarnya. Bau busuk itu adalah bau anyir yang identik dengan darah."

"Jadi, kamu mau bilang ada mayat yang terkubur di bawah pohon sakura itu?" tanya Jeremy menatap Watson sinis. Yang ditatap hanya memasang raut wajah triplek. "Sudah kuduga, tidak ada yang bisa kuharapkan darimu. Pemikiranmu tidak jauh lebih denganku."

Tanda jengkel hinggap ke kening Aiden. "Jeremy, kamu ini tidak kapok dibilangin—"

"Aku sudah tahu, Aiden!" sela Jeremy marah. "Semua yang dia katakan itu, aku sudah tahu."

"Eh?" Aiden dan Hellen tidak mengerti.

"Aku tidak memberitahu kalian karena tidak mau membuat kalian khawatir atau takut." Jeremy membuang wajah ke samping. "Aku sudah meneliti keadaan tanah di sekitar pohon sakura. Bersih, subur, dan tidak ada tanda-tanda bongkahan. Aku juga tidak tahu kapan mayat ini dikubur. Jika sudah sebulan atau beberapa minggu, maka air hujan bisa menutupi tanahnya yang bertumpuk menjadi rata kembali. Seolah tidak ada apa-apa di sana."

Aiden dan Hellen diam.

"Apakah sungguh dikubur di bawah sana? Atau itu hanya jebakan? Aku tidak mengerti. Lagi pula, kita tidak tahu motif pelaku. Kenapa pelaku membunuh dan menguburkan tubuh korban di sekolah kita? Madoka? Apa pelaku memiliki dendam pribadi pada salah satu penghuni sekolah ini? Dan lagi, kita juga tidak tahu kenapa bau itu juga ada dia dalam perpustakaan," jelas Jeremy panjang lebar.

Watson terdiam.

"Aku sudah bersusah payah menggali informasi demi informasi bahkan sampai tidak tidur, tapi kamu malah memasukkan orang lain ke dalam tim ini! Tidak memandang kerja kerasku! Siapa yang tidak kesal usahanya diabaikan oleh rekan kepercayaannya? Ini tidak adil—"

"Lalu kenapa kamu tidak memberitahu kami?" potong Aiden mengepalkan tangan.

"Apa ...."

"Kalau kamu ingin hasil kerja kerasmu dipuji, kalau kamu ingin disanjung, kenapa kamu malah diam pura-pura tidak tahu?! Kamu bisa memberitahuku dan Hellen kalau kamu menemukan petunjuk! Tetapi kamu... tidak mengatakan apa-apa." Aiden berseru sembari menundukkan kepala ke bawah, antara marah dan kecewa.

Hellen hanya bisa diam, tidak ikut berkomentar.

"Aku ...." Jeremy kehabisan kalimat.

Watson menoleh pada jam berbentuk topi Holmes di dinding. Jarum panjang sudah tiba di angka enam, sedangkan jarum pendek di angka tujuh. Tak terasa malam hampir datang dan mereka malah membahas topik lain.

Bukan berarti Watson tidak peduli pada masalah mereka, namun Watson harus menyelesaikan kasus pohon sakura hari ini juga supaya besok mereka memulai pencarian tubuh korban.

"Hei," Watson membuka suara untuk mencairkan suasana pekat di ruang klub. "Apa kamu sudah memeriksa batang pohon?"

"Apa maksudmu?" sahut Jeremy masam.

Entah ada berapa tabung kesabaran yang dimiliki oleh Watson, dia tetap tidak memedulikan cara Jeremy memandangnya. Hanya satu yang Watson inginkan; menyelesaikan masalah pohon sakura.

"Tadi sekilas, aku melihat ada bagian merengkah di atas pohon seolah ada yang menyibak ranting-ranting untuk naik ke tangkai tertinggi. Saat aku mengetuk batang pohon, aku mendengar suara gema dari dalam batang tersebut. Juga serpihan kayu di bagian luarnya."

Jeremy membulatkan mata kaget, begitu juga dengan Aiden dan Hellen.

"Bisa jadi tubuh korban ada dalam batang pohon yang telah dikikis oleh pelaku."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top