File 0.1.3 - Annoying Curiosity

Mengganggu! Sangat mengganggu!

Lupakan latihan piano. Di rumah, Watson tidak fokus melakukan kegiatannya karena terganggu oleh misteri pohon sakura. Lihat dia, menekan terlalu kasar not piano. Tidak memperhatikan buku partitur. Tidak menyesuaikan irama.

Singkat kata, otaknya lagi kusut.

Kenapa? Kenapa dia tidak bisa melupakannya? Padahal Watson sudah berjanji tidak akan bermain misteri lagi. Dia sudah berjanji akan berhenti dari dunia detektif. Kenapa rasa penasaran, rasa ingin tahu, justru mengoyahkannya?!

"Sadarlah, Watson. Ingat janji yang kamu buat. Jangan mengingkarinya."

Apakah Watson harus bergabung ke klub Aiden agar gangguan itu hilang? Apakah dia harus membantu Aiden menyelesaikan misteri pohon sakura yang mengganggu agar hatinya bisa tenang?

"Tidak akan." Watson menutup piano, menyudahi latihannya. "Aku tidak akan kembali lagi. Aku sudah memutuskan untuk berhenti. Laki-laki harus memegang perkataannya."

Tapi masalahnya Aiden belum menyerah.

Watson menatap datar formulir pendaftaran klub detektif di atas meja. Dia pikir itu semacam berkas untuknya, secara dia murid baru. Setelah membaca rupanya formulir Klub Detektif Madoka.

"Nah! Kamu tinggal menandatangani surat ini dan aku akan memberinya ke pihak konsil. Dengan begitu, mereka akan mulai mencatat tugas harianmu di klub lalu melaporkannya pada wali kelas kita." Seperti biasa, untuk meluluhkan hati Watson, Aiden tampil berbunga-bunga di hadapannya. Cuman di depan Watson, orang lain mah ogah.

Watson memperhatikan wajah berseri Aiden. Cewek itu menguncir tinggi rambutnya dan memakai pita merah jambu dengan tepi yang bercorak putih. Alhasil, mahkota pirangnya itu mekar layaknya surai. Anting-antingnya juga terlihat sepaket.

"Begini ya, kamu tidak dengar? Aku tidak ingin bergabung ke klubmu. Kenapa kamu terus mendesak? Perbuatanmu membuatku tidak nyaman."

"Bukan tidak ingin, tapi belum mau."

Sekarang bagaimana bagusnya? Apa Watson tanda tangani saja supaya Aiden berhenti mengganggu jam paginya di sekolah? Tiga hari duduk di kelas itu, Aiden rutin menghampiri meja Watson, terus-terusan mengoceh tentang klubnya.

Di lain hati, Watson tidak mau bergabung dengan klub Aiden yang sudah jelas mempunyai visi-misi dunia berdarah. Dia tidak mau berurusan dengan hal-hal berbau misteri. Tapi...! Jika dia terus menghindar seperti itu, Watson sendiri yang resah berkepanjangan kalau rasa ingin tahunya tak diatasi.

"Kamu tidak salah mengajakku bergabung? Aku sama sekali tidak berbakat." Pada akhirnya hanya itu yang bisa Watson sampaikan, kehabisan ide melawan si pemaksa Aiden.

"Siapa bilang kamu tidak berbakat?" Aiden malah bertanya balik. "Justru kamu yang paling berbakat di antara kami, Dan. Kamu bisa mengetahui namaku dengan cepat. Asal kamu tahu, kami membutuhkan waktu berminggu-minggu untuk membuat kode 41630. Tidak mudah menjabarkannya. Tetapi kamu beberapa menit mampu menguraikan kodenya."

Watson memutar otak, tak habis akal. "Aku asal menebaknya."

"Hehehe, kamu tidak bisa menipuku, Dan!" Aiden senyam-senyum merasa berhasil mengalahkan Watson secara telak. "Aku bisa melihat apakah orang itu sedang berbohong atau tidak lewat matanya. Kamu barusan sempat mengganti pandangan beberapa detik. Itu menandakan bahwa kamu sedang memikirkan jawaban lain. Apa aku salah?"

Watson meringis kesal. Sepertinya dia harus berhati-hati saat bergaul dengan Aiden. Cewek itu punya kemampuan pendeteksi kebohongan—anggap saja begitu. Bisa gawat Watson umbar rahasia secara tidak sengaja.

"Aku bilang tidak mau ya tidak mau. Jangan paksa aku." Watson dongkol.

"Aku harus memaksa demi kebaikan dan kenyamanan sekolah ini, Dan! Mengertilah!"

Keras kepala banget sih.

"Mungkin kamu benar, aku menyukai misteri dan detektif." Watson berkata selang diam sepuluh detik, tanpa ekspresi. "Tapi itu sudah lama. Aku memutuskan berhenti dari dunia detektif karena suatu hal. Kamu tak bisa memaksaku."

"Tidak apa kan mengulanginya sekali lagi walau sulit? Tidak ada salahnya mencoba, kan?" Aiden membujuk lebih lunak.

Mengulanginya...

Apa dengan mengulanginya Watson bisa tenang? Apa rasa sedihnya bisa menghilang? Apa dengan memulainya lagi Watson bisa tersenyum lagi? Dia bukan detektif.

Menghela napas panjang, Watson meraih pena hitam di atas meja. Posisinya tersudut. Tidak bisa menolak, tidak bisa menghindar, tidak bisa juga menjawab perkataan Aiden. Egonya berhasil Aiden kalahkan. Apanya yang laki-laki harus memegang perkataannya.

Lagi pula Watson masih penasaran pada pohon sakura di belakang sekolah. Apa yang sebenarnya terjadi di sana sampai anggota konsil meminta bantuan pada klub Aiden? Watson ingin tahu. Watson mau rasa ingin tahunya tenang.

"Yes!" Aiden meloncat senang kayak anak kecil berhasil membujuk ibunya membelikan mainan baru. Dasar cewek aneh.

Watson menopang dagu, menatap lapangan luas lewat jendela kelas. Dia sejenak sempat menyesali perbuatannya, merasa telah melanggar janji yang dia buat sendiri. Tapi, demi melihat wajah gembira Aiden, Watson menghela napas pendek.

Kalau seperti ini, tidak apa-apa juga.

Kriing!!

Bel masuk berbunyi, tanda proses belajar mengajar akan segera dimulai. Semua penghuni di kelas Watson bergegas duduk di kursi masing-masing, menunggu kedatangan guru jam pertama datang.

Aiden ikut duduk di bangkunya, menyembunyikan lembaran formulir—bukti bergabungnya Watson ke Klub Detektif Madoka secara resmi—ke dalam tas. Bisa saja Watson berubah pikiran, mencuri dan merobeknya, lalu pura-pura tidak tahu. Aiden harus mengamankan kertas itu.

Watson beralih mengeluarkan buku catatan dan buku paket yang dia pinjam lusa lalu, memasang wajah serius saat menatap buku paket Fisika. Otaknya perlahan bekerja bak kaset tua yang kembali diputar.

Pohon sakura. Bau busuk di perpustakaan. Rumor. Kebun belakang sekolah.

Watson akan mencari tahu rahasianya.

*

"Bagaimana sekolah barumu? Apa kamu sudah mulai terbiasa dengan lingkungan di sini?"

Watson menoleh, menghentikan aktivitasnya mengupas apel, menjawab datar. "Tidak ada yang spesial. Semuanya hampir sama seperti di New York."

Bedanya di sini, Watson menemukan gadis ajaib pemaksa pantang menyerah yang suka tebar pesona tidak jelas. Takkan mau melepas targetnya sampai keinginannya dituruti. Menyebalkan memang, tapi yang paling menyebalkan adalah Watson yang tidak bisa marah atau menolak.

Apakah Aiden mempunyai ilmu hitam yang bisa memaksa targetnya untuk tunduk pada perkataannya? Watson rasa tidak. Sifat hiperaktif Aiden itu kelihatannya murni dari lahir tidak dibuat-buat.

Tunggu, kenapa Watson jadi membahas Aiden?

"Apa kamu sudah mempunyai teman? Mengikuti kegiatan klub?" tanya lelaki berjas hitam yang duduk bersilang kaki di sofa sambil memegang koran. Perawakannya mirip orang-orang berprofesi CEO. "Kusarankan kamu ikut klub musik. Kamu menyukai piano, kan? Jika kau melatih bakatmu sejak masa-masa kini, aku yakin kelak kamu akan jadi pianis yang hebat."

Watson mendengus tak suka, batal memakan apel segar di atas meja. "Itu bukan urusan Paman. Aku sendiri yang memutuskan hendak mau bergabung klub apa."

Merasa lawan bicara membantah ucapannya, lelaki yang Watson panggil dengan sebutan 'paman' tergelak seolah dengusan Watson adalah hal lucu. Itu tentu membuat Watson mengernyit jengkel.

"Apanya yang lucu?"

"Kamu dan temperamenmu, mirip dengan sifat Ayahmu waktu remaja dahulu. Mudah sekali marah dengan hal-hal kecil," ucapnya menopang dagu, menjadikan tangan sofa sebagai sandaran. "Kamu benar-benar anaknya."

"Apa-apaan itu..." Watson menghela napas panjang, sama sekali tidak mengerti sifat Pamannya yang kadang labil kadang dewasa. Apa dia anak kecil? Tidak sadar umur.

Beaufort Dan. Seorang direktur utama sebuah perusahaan permen terkenal di Inggris. Dia terpaksa meninggalkan istri dan anak-anaknya demi merawat Watson atas wasiat kakaknya yang sudah meninggal tiga tahun lalu.

Sebagai seorang adik yang menghormati permintaan kakak, Beaufort pun membeli rumah besar untuk tempat tinggal Watson serta mengurus semua keperluan sekolahnya. Karena Watson menolak menjadi murid Alteia, Beaufort pun terpaksa memilih sekolah yang pas untuk Watson.

"Biar kuperjelas, aku ada di sini karena Ayahmu. Tak kurang tak lebih. Jika tidak, aku takkan sudi meninggalkan istri dan anak-anakku untuk menemanimu. Jadi kuharap kamu mengikuti aturan—"

Watson bangkit dari kursi, memutus perkataan Beaufort. Dia berbalik membelakangi beliau, menatap lewat ujung mata. "Aku sudah tahu, tak perlu Paman ingati lagi. Di rumah ini aku hanya seorang penumpang," katanya melangkah menaiki anak tangga ke lantai dua, tak mengucapkan sepatah kata lagi.

Beaufort menghela napas.

Kepribadian dingin itu muncul tiga tahun lalu. Beaufort sempat curiga pada mental anak itu, apakah dia masih waras atau tidak. Tapi mengingat IQ-nya di atas rata-rata, Beaufort tidak bisa menolak fakta bahwa Watson seratus persen normal.

Psikolog sudah memberitahu bahwa psikis Watson berubah demikian karena traumanya melihat kedua orangtuanya mati tepat di depannya.

Selepas punggung Watson menghilang, muncul seorang laki-laki lain berpakaian serba putih dari balik tangga keramik. Dia memakai kacamata dan memegang sebuah papan dengan selembar data kesehatan.

"Bagaimana keadaannya?" tanya Beaufort pada pemuda berseragam putih tersebut.

"Untuk saat ini normal. Kamu harus lebih banyak memberinya perhatian. Tiga tahun waktu lama, namun kita tak bisa menolak fakta bahwa dia sendiri yang menyaksikan kematian orangtuanya. Mentalnya pasti terguncang."

Beaufort mengembuskan napas panjang. "Maaf merepotkan, Reed. Aku seperti ini karena dia putra tunggal kakakku. Kamu tahu sendiri aku adalah adik yang berbakti."

Pemuda itu, Reed Radley, memejamkan mata. "Humormu tidak pernah berubah."

"Ayolah, puji aku sedikit."

"Kamu, jauh di lubuk hatimu, kamu menyayanginya, kan?" sergah Reed berhasil membuat Beaufort terdiam di tempat.

*

Semburan konfeti menyambut Watson.

"Selamat bergabung ke Klub Detektif Madoka, Watson Dan!" sambut Aiden dan Hellen serempak menembakkan terompet ke wajah Watson yang baru membuka pintu.

Watson menyingkirkan kertas pernak-pernik yang menempel di anak rambut, menatap datar mereka berdua. "Apa yang sedang kalian lakukan?"

"Apalagi memangnya? Menyambut kedatanganmu dong! Hari ini kamu resmi menjadi anggota klub kami!" sorak Aiden senang, melempari Watson dengan kertas origami yang sudah dia potong kecil-kecil.

Watson menatap Aiden. Hari ini cewek itu menggeraikan rambutnya namun mengepang bagian atas membentuk bando lantas dijepit dengan bros bunga kecil warna-warni. Sungguh cantik dan feminim.

"Ng? Ada apa?" Aiden berkedip tiga kali masih dengan senyuman merekah di bibir.

"Kamu sepertinya hobi menghias rambut. Kulihat tiap hari kamu menukar terus gaya rambutmu." Watson bertanya setengah tertarik, mencomot kue yang disodorkan oleh Hellen.

"Hohoho, akhirnya kamu menyadari kebiasaanku. Matamu jeli juga, Dan. Biasanya anak-anak di kelas takkan ada yang sadar." Seolah sudah menunggu pernyataan itu, Aiden mengibas rambut emasnya, tersenyum cemerlang. "Kamu benar! Aku ini seorang hairstyle, selalu tampil beda dari yang lain."

"Hoo." Watson tidak tertarik, lebih tertarik dengan kue di tangan Hellen. "Ini enak sekali. Beli di mana?"

Hellen menjawab canggung, tidak enak pada Aiden yang kena kacang. "A-aku membuatnya sendiri."

"Hebat. Buatan sendiri sudah seenak ini. Kamu nanti bisa jadi tukang bikin kue."

"Jangan mengabaikanku dong!" teriak Aiden di belakang Watson, kesal sampai ke puncak kepala. Wajahnya cemberut. Pertama kalinya ada cowok yang berani mengacuhkan si cantik putri Aiden.

Watson menoleh kepada Aiden, memberinya sepotong kue. "Mending makan kuenya daripada cemberut mulu."

Aiden menerimanya tanpa banyak bicara, kemudian menatap Watson lamat-lamat.

Watson itu cowok aneh. Begitulah kesan pertama Aiden pada Watson. Jarang berekspresi, sukanya masang mimik datar. Dingin tapi tidak juga. Pendiam tapi tidak tega mengabaikan orang. Yah, walau pas masuk kelas dia sangat cuek dan sinis terhadap Aiden. Apalagi pas penolakan kemarin. Apakah orang New York itu dominan misterius?

Tapi, satu hal yang pasti. Aiden tahu, Watson itu pintar dan memiliki insting seorang detektif. Aiden yakin seratus persen Watson punya bakat detektif yang entah kenapa terlihat tidak percaya pada kemampuannya itu.

"Dipikirkan lagi, sudah kuduga, aku keberatan menerimanya sebagai ketua klub, Aiden!"

Baik Watson, Aiden dan Hellen, mereka bertiga sama-sama menoleh serentak ke suara protes barusan.

Di salah satu kursi rapat, seorang laki-laki sebaya tampang preman, berambut kelabu, tidak memakai seragam sekolah dengan benar, duduk menyilangkan kedua kaki di atas meja. Kacamata bertengger di wajahnya. Dia menatap Watson tak suka.

Yang ditatap balik menatap dengan ekpresi andalan. Bagi Watson, orang-orang kasar seperti lelaki di kursi itu tidak perlu diladeni. Watson malas membuang-buang tenaga.

"Jeremy, dudukmu tidak sopan!" tegur Hellen hampir melempar piring plastik tempat meletakkan kue ke cowok itu. "Harus berapa kali kuingatkan agar jaga sopan santunmu di depan kami berdua, hah?"

Jeremy Bari. Satu-satunya member cowok di klub sebelum Watson bergabung. Dialah yang dikatakan oleh Aiden kemarin, sang keamanan klub. Dilihat dari tubuhnya yang lebih "berisi" daripada Watson, dapat dipastikan cowok bernama Jeremy ini sering latihan otot ke GYM.

Watson seketika minder melihat tubuh Jeremy yang mencerminkan "cowok sejati". Apalah daya punya tubuh kerempeng tak bernutrisi kayak anak kekurangan gizi.

"Aku menolak menerima anak ini." Jeremy mengulang kalimatnya lebih jelas.

Aiden bersedekap tangan, menaikkan satu alis ke atas. "Oh ya? Tapi bagaimana nih? Aku sudah terlanjur mengajak Dan bergabung." Aliran listrik keluar dari tatapan mereka berdua.

"Perhatikan dia baik-baik, Aiden!" Jeremy menunjuk-nunjuk Watson. "Tidak ada yang istimewa dari anak ini. Aku sama sekali tidak merasakan hawa detektif darinya! Lihatlah wajah datarnya itu, dia pasti tipe cowok dingin tukang mengabaikan. Orang dingin sepertinya hanya akan diabaikan dan dibenci. Puh!"

"Duh, kamu ini ngomong apa sih." Hellen melotot sebal. Dia menoleh pada Watson yang diam mendengarkan. "Jangan dimasukkin ke dalam hati ya, Watson. Anak ini kadang suka kumat di saat yang tidak tepat. Mungkin kebiasaan buruknya."

"Kamu jangan menilai orang dari luarnya saja dong. Dan itu pintar tahu," omel Aiden mencubit pinggang Jeremy gemas.

"Biarin! Aku tidak suka tipe dingin seperti dia," protes Jeremy mencak-mencak. "Kenapa sih kamu merekrut Watson, Den? Memangnya dia bisa memecahkan sandi namamu yang telah kita ciptakan bersama-sama itu?"

"Hm! Sangat brilian!"

"Lagi pula kudengar dia murid baru di kelasmu, kan? Kamu bahkan tidak mengenalnya lebih dari seminggu!"

"Karena aku ingin mengungkap misteri pohon sakura itu secepatnya, Jeremy," kata Aiden dengan intonasi suara masih terkendali. "Jika kita tidak menyelesaikannya, konsil akan membubarkan klub ini. Aku tidak mau itu sampai terjadi."

Jeremy batal protes. Dia menatap Watson tajam. "Hei kamu, beritahu aku bagaimana caramu memecahkan kode itu. 41630."

"Aku masuk bukan karena aku mau," gumam Watson datar. "Aku bergabung karena temanmu membutuhkan bantuanku dan juga demi nilai keaktifanku. Lagian, kode murahan itu kamu sebut sandi?"

"Apa katamu?!"

"4 sama dengan huruf A. 1 adalah huruf I. 6 jika dibalik akan menyerupai not paranada seperempat yang mirip dengan hurud D kecil. 3 menunjukkan huruf E. Lalu angka 0 jika bagian bawahnya dihilangkan akan menyerupai huruf N kecil. A.I.D.E.N. Gampang, bukan?"

Ruang klub seketika hening.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top