File 0.1.2 - Want to Join Our Club?

"Hei, Watson."

Pemilik nama menoleh ke si pemanggil, wajahnya datar. Itu adalah Aiden. Hari ini dia mengganti gaya rambutnya menjadi kuncir dua dengan ikat rambut merah muda. Sepertinya dia baru datang.

Bukannya duduk di kursinya, Aiden malah berdiri di depan meja Watson yang sedang fokus menyalin daftar pelajaran. Tentu saja tindakannya itu membuat atensi Watson jadi terganggu.

"Kenapa?"

Aiden tersenyum manis, menebar filter bunga kecantikan—biasanya mampu membuat bangsa lelaki klepek-klepek. Rambut emas dan mata merah muda menambah kesan kemanisan. Tapi sayangnya, itu tidak berpengaruh pada Watson. Dia menatap masam.

"Aku belum memperkenalkan diri," ujar Aiden merapikan anak rambut di dahi. Dia menjulurkan tangan, tersenyum ramah. "Namaku Aiden Eldwers. Seorang sekretaris sebuah klub."

Watson mengikuti arus perkenalan, menjabat tangan Aiden. Mengingat cewek itu duduk di depannya, dia pasti akan menjadi partner Watson sampai naik ke kelas dua. Watson tidak mau memberinya kesan buruk.

Tapi di luar dugaan, Watson telah membuat pilihan yang salah.

Aiden menarik tangan Watson untuk mendekat ke kepalanya, menyeringai puas, lantas berbisik, "Karena kamu berhasil menebak namaku, kamu lulus seleksi rahasia klub kami. Kamu sudah boleh datang nanti siang."

Lebih di luar dugaan Watson membalas perkataan Aiden. Dia melepaskan jabatan tangan Aiden. "Maaf, aku tidak tertarik."

Tanda jengkel mulai bermunculan di wajah Aiden, kesal ditolak mentah-mentah.

Tidak boleh! Aiden tidak boleh menyerah secepat itu. Dia sudah membulatkan tekad akan mengajak Watson bergabung ke klubnya. Sebagai sekretaris klub, Aiden harus mempunyai keteguhan hati yang kuat dalam menarik perhatian calon anggota.

"Kamu harusnya berterima kasih padaku karena mau merekrutmu tahu! Aku yakin kamu belum tahu tentang nilai ekstrakurikuler. Setiap murid di Madoka diwajibkan mengikuti satu klub. Jika tidak, jangan harap kamu naik kelas." Aiden mengatakan poin yang penting, separuh berharap Watson termakan ucapannya.

Berhasil! Kalimat serius Aiden berhasil membuat tangan Watson yang sibuk mencoret-coret buku berhenti. Ajakan yang tepat sasaran. Aiden tertawa puas dalam hati.

"Benarkah?"

"Tentu saja!" seru Aiden manggut-manggut, meneruskan umpan. "Keaktifanmu dalam klub juga dinilai. Apakah kamu melakukan kegiatan tertentu atau hanya duduk buat numpang nama saja."

"Memangnya kamu mendirikan klub apa?"

Akhirnya! Akhirnya muncul juga pertanyaan yang paling ditunggu-tunggu Aiden! Tinggal satu langkah lagi agar Watson bisa masuk ke perangkap Aiden sepenuhnya.

Aiden berdeham pelan, berkata mantap, "Klub Detektif Madoka!"

Demi mendengar kata detektif, ekspresi wajah Watson seketika berubah seratus delapan puluh derajat. Dia menghadap ke meja, melanjutkan pekerjaannya sebelum bel masuk berbunyi. Aiden telah mengucapkan kata tabu bagi Watson.

"Pergilah. Jangan berbicara lagi denganku."

Aiden mengedipkan mata tiga kali. Eh, ada apa? Apakah Aiden mengatakan sesuatu yang sensitif? Tetapi, tidakkah Watson memikirkan alasan kenapa Aiden tertarik padanya jika bukan bersangkutan dengan dunia misteri?

"Kenapa, Dan?" tanya Aiden sok akrab.

"Aku tak minat." Watson menjawab datar, sibuk menulis daftar pelajaran.

"Lho, kenapa? Bukannya kamu tertarik hendak bergabung? Bagaimana dengan nilai ekstrakurikulermu nanti?" Aiden berseru tidak percaya melihat Watson yang berubah pikiran seperkian detik.

"Tidak jadi." Watson menutup buku, bangkit dari kursi, lantas melangkah gontai menuju meja Kiri—cewek itu sedang bercengkerama dengan teman sebangkunya. Watson telah menyalin semua daftar dan buku-buku yang mesti dipinjam. "Aku akan ikut klub lain. Thanks for the information and goodbye."

"Tunggu, hei! Tunggu! Apa maksudmu bilang selamat tinggal, hah? Dan, tunggu!"

Watson tidak mengindahkan panggilan Aiden, terus melangkah ke meja Kiri. Dia sudah berjanji akan berhenti bermain detektif-detektifan. Watson sudah mengubur dalam-dalam hobinya itu, membuangnya ke dasar laut. Dia membenci dunia detektif.

Mulai sekarang, Watson harus mencari hobi baru. Untuk lelaki remaja tahap pertumbuhan sepertinya, mungkin basket atau jenis olahraga yang lain. Apa sebaiknya dia masuk ke klub kebugaran jasmani saja, ya? Mumpung tubuh Watson masih belum sesubur anak laki-laki kebanyakan, ini bisa jadi kesempatan emas buat Watson belajar bela diri.

Ngomong-ngomong, bukankah Kiri adalah anggota klub melukis? Watson bisa meminta tolong padanya untuk mendaftarkan diri sebelum si Aiden menyeret Watson secara paksa ke klub buatannya.

"Kiri."

Yang dipanggil berhenti berbincang, menoleh ke sumber suara. "Oh! Pagi, Watson. Sudah selesai menyalinnya?"

"Ya, terima kasih sudah mau meminjamkannya padaku." Watson mengembalikan buku bersampul cokelat tua kepada pemiliknya yang asli. Wajah dan intonasi suara sama-sama datar tak bertenaga.

"Jangan kaku begitu dong! Santai saja. Kami tidak akan memakanmu kok."

"Watson terlalu manis untuk dimakan." Terseling nada menggoda di intonasi suaranya.

"Apa kamu mau mengatakan sesuatu?" Kiri bertanya, heran melihat Watson masih berdiri di samping mejanya seolah hendak menyampaikan sepatah kata. "Bilang saja! Apa pun demi kenyamanan murid baru."

Watson memejamkan mata. "Apakah klubmu masih memerlukan anggota baru? Aku hendak—" Kalimat Watson terputus karena mulutnya dibekap oleh tangan seseorang dari belakang. Kiri dan teman sebangkunya mengerjap kaget.

Siapa lagi kalau bukan si cewek agresif alias Aiden. Tampaknya dia kekeuh sekali mengajak Watson bergabung ke klubnya.

Aiden tersenyum cengegesan, menyembunyikan Watson ke balik punggungnya. "Ah, bukan apa-apa! Orang ini tadi mengigau, otaknya kusut. Jangan didengerin!"

"Sejak kapan kalian akrab?"

Watson mendengus. "Apa yang kamu lakukan?"

Aiden menginjak kaki Watson membuat cowok pendiam itu menjerit tertahan. Dia berusaha melepaskan pegangan tangan Aiden, namun pegangannya terlalu kuat untuk ukuran anak cewek.

Jangan bercanda! Tenaga cewek ini kayak gajah! Watson menyerah melawan, tak berdaya. Kekuatannya masih jauh di bawah Aiden.

Kiri kebingungan melihat ekspresi Watson yang meringis. "D-dia baik-baik saja?"

"Oh, jelas! Ya, kan, Dan?" Aiden menatap Watson dengan pandangan maut. Tidak ada baik-baiknya. Aiden yang lemah lembut, gemulai, dan anggun menghilang entah ke mana.

Aktingnya sudah di kelas atas. Watson menelan ludah, tidak punya pilihan selain mengangguk. Kakinya bisa bengkak kalau Aiden semakin menambah tenaga pijakannya.

-

Pukul sepuluh lewat sepuluh, bel tanda istirahat berbunyi nyaring.

Watson baru saja mau berdiri dari kursi, menyusul teman-teman lain menuju kantin untuk mengisi perut, namun Aiden sudah berdiri di depannya sambil berkacak pinggang, memblokir jalan Watson.

Cobaan apalagi ini? Masa dia mau melarangku ke kantin? Kecuali kalau Aiden mau mengajaknya makan bareng. Watson mengusap wajah gusar. "Sekarang apa? Aku lapar."

"Kita akan makan di klub, makanan enak yang mewah. Kamu takkan menyesal bergabung, Dan. Ayo ikut aku!" Aiden tanpa meminta persetujuan, menarik lengan Watson, menyeretnya keluar dari kelas.

Antara tidak ada energi karena perut keroncongan atau malas melawan seretan Aiden yang terbilang kuat, Watson terlihat pasrah dan tidak berkomentar lagi saat dirinya ditarik-tarik seperti anak anjing.

Menyusuri koridor dan menembus rombongan murid yang lalu-lalang, Aiden terus menyibak kerumunan tak lupa memastikan pegangannya terhadap tangan Watson tidak lepas. Dia tersenyum kecil melihat Watson pasrah diseret.

Lima menit berlarian menerobos lautan siswa-siswi, akhirnya Aiden sampai juga ke tempat tujuan. Dia melirik Watson yang terengah-engah. Cowok itu kelihatan mau mati. Apa dia tidak pernah olahraga? Masa lari sebentar sudah membuatnya kelelahan?

Aiden memutar gerendel pintu ruangan di depan mereka, membukanya pelan. Ada papan nametag "klub detektif" tergantung di pintu, terukir dengan font ala Sherlock. Watson tidak terlalu memerhatikan karena benar-benar kelaparan.

Klek! Pintu terbuka.

"Kamu terlambat, Aiden! Makanannya keburu dingin nih!" sahut seseorang dari dalam begitu pintu terbuka. Mengomel. "Bukankah kita sepakat selalu keluar lebih dulu sepuluh menit sebelum bel berbunyi? Kamu yang membuat peraturannya, kan?"

Aiden menggaruk tengkuk yang tak gatal, duduk di kursi yang tersedia. "Maafkan aku, Hellen. Tadi ada kesalahan teknis."

"Kesalahan teknis apanya. Kamu pikir kamu sedang bermain game?" Gadis itu menatap tak mengerti, selang beberapa menit menyadari bahwa Aiden datang berdua. "Siapa dia?"

"Oh, ini dia orangnya, Hellen! Orang yang kubicarakan tadi malam." Aiden berseru tak sabaran, menunjuk Watson yang malah sibuk melihat sekeliling.

Ruangan itu sebesar ruangan tengah di rumah Watson. Ada lemari kaca dengan berbagai novel misteri bervolume-volume, tersusun rapi sampai membuat Watson berdecak kagum.

Di depan ruangan, terdapat sebuah meja diskusi dan papan tulis kaca tempat biasa Unit Investigasi menangani sebuah kasus. Ada banyak berkas berserakan di atas meja, juga gambar-gambar tak dikenal tertempel di papan. Lalu terakhir gambar pohon sakura, mirip dengan yang ada di belakang perpustakaan.

Watson tertegun. Jangan bilang Aiden dan teman seklubnya sedang mengurus tentang bau busuk di perpustakaan?

"Jadi namamu Watson?" ucap gadis berambut cokelat klimis panjang di sebelah Aiden. "Aku suka namamu. Secara, aku fans berat sama Dokter Watson. Menurutku dia adalah dokter pintar yang pernah ada."

Watson menatapnya.

"Salam kenal, namaku Hellen Stern. Aku ahli medis di klub ini. Mohon kerja samanya," salam Hellen tersenyum ramah.

Sebagai balasan, Watson menganggukkan kepala. Dia beralih menatap Aiden sambil menunjuk papan kaca di depan meja diskusi, membiarkan Hellen menuangkan sup ke mangkok baru. "Itu apa?"

Aiden tersenyum lebar, dalam hati berusaha keras mencoba membuat Watson mengeluarkan bakat terpendamnya.

"Seperti yang kamu lihat, Dan." Aiden menjawab santai, duduk menyantap sup buatan Hellen. "Itu adalah kasus terbaru yang sedang kami tangani. Misteri pohon sakura di kebun belakang sekolah."

"Pohon sakura..."

"Benar. Kamu pasti sudah masuk ke perpustakaan waktu meminjam buku saat itu, kan? Apa yang kamu hirup? Bau busuk?"

Watson mengangguk. "Ya, seperti bangkai."

"Nah," Aiden menjentikkan jari. "Kami menduga kalau bau bangkai itu ada hubungannya dengan pohon sakura yang kita bicarakan sekarang. Dilihat dari posisinya berada di belakang perpustakaan sekolah, jelas bau busuk tersebut berasal dari pohon ini. Terbawa oleh angin."

"Kenapa?"

Aiden menatap Watson bingung. "Apanya?"

"Maksudku, kenapa kamu sampai berpikir begitu? Bisa saja penyebabnya dari dalam perpustakaan."

"Itu karena rumor." Hellen yang menjawab, menyuruh Watson duduk bergabung dengan Aiden untuk menyantap jatah makan siangnya. Watson tak mengira ada set peralatan memasak di klub itu. "Katanya setiap para murid duduk di sana saat istirahat, mereka sering kali mengeluh dan muntah-muntah. Tidak ada yang tahu apa alasan reaksi mereka seperti itu."

"Lalu?" Watson bertanya, sejenak mengumpat dalam hati karena kenikmatan sup buatan Hellen. Sialan! Rasanya seperti belaian kasih ibu!

"Tidak ada yang menanggapi keluhan itu dengan serius. Dewan guru berpikir itu mungkin hanya isu yang dibuat-buat oleh para siswa. Sampai akhirnya bau busuk tersebut menguasai perpustakaan. Penjaga dan murid kutu buku pun menjadi ogah masuk ke dalam."

Watson berhenti menyuap.

"Di sinilah kami buntu petunjuk, Dan," Aiden menghela napas kasar. "Kami tidak tahu apa sebenarnya yang menghasilkan bau busuk itu. Dewan siswa mempercayai kami supaya bisa mengatasi misteri ini secepatnya. Tetapi kami sudah mentok dua minggu sehingga mereka mendesak dan mulai mengancam akan membubarkan klub Detektif Madoka."

"Parahnya," guman Watson datar.

"Eh? Kamu mengatakan sesuatu?"

"Bukan apa-apa." Watson menggeleng, melanjutkan suapannya yang tertunda. "Apakah Student Council selalu meminta tolong pada kalian jika terjadi sesuatu?"

Brak!

Watson nyaris kesedak karena Aiden dan Hellen mendadak bangkit dari posisinya sambil menggebrak meja. Air putih di gelas Watson hampir tumpah kalau dia tidak buru-buru menenangkan meja.

"Tentu saja!" seru Aiden dan Hellen serentak, over semangat. "Kami adalah kaki tangan Dewan Siswa! Kami akan melakukan semua perintah yang diberikan oleh Dewan Siswa apa pun itu. Habisnya mereka lah yang menyetujui proposal pembentukan klub."

Watson menatap datar. Tidak berkomentar.

Aiden nyengir kuda, menunjuk diri. "Aku sebagai si tukang menyimpulkan. Hellen sebagai si ahli medis. Dan temanku satu lagi, Jeremy, sebagai kekuatan benteng pertahanan. Dia akan melindungi kita dari penjahat!"

"...."

Aiden menunjuk Watson. Wajahnya penuh dengan semburat bunga. "Lalu kamu, Dan, kamu yang akan jadi ketua klub ini! Memimpin kami untuk menemukan kebenaran!"

Watson menghabiskan sup buatan Hellen. "Terima kasih atas makanannya, Hellen. Ini makanan pertama terenak yang kumakan di kota ini," pujinya tulus dan turun dari kursi, menuju pintu keluar. "Soal ucapanmu itu, maaf, itu takkan terjadi. Aku tak pernah menyetujui ajakanmu bergabung ke klub ini. Kalian bisa mencari orang lain."

"Eh? Kamu kan sudah-"

"Kamu menyeretku dengan paksa kemari. Kamu pikir semangkok sup enak bisa kamu jadikan suapan supaya aku bisa balas budi? Entah sebanyak apa kamu menyuap, aku tidak akan masuk ke klub ini. Jangan memaksa."

"Tapi kami butuh bantuanmu, Dan!"

Watson berhenti melangkah, menoleh menatap Aiden. "Itu bukan urusanku."

Kembali ke dunia misteri? Tidak akan! Watson sudah membenci hal itu. Dia tak ingin kembali lagi. Mengingatnya saja sudah membuat kesal. Watson sama sekali tidak berbakat. Dia hanya asal bermain deduksi. Watson membenci dirinya yang percaya diri akan kemampuan detektifnya.

Tapi, soal pohon sakura.

Watson tiba di belakang sekolah, mendongak menatap dedaunan pohon sakura yang sedang mekar. Musim semi tengah berlangsung.

Ada duri busuk di balik keindahan pohon sakura. Sesuatu yang kelam terjadi pada pohon harum ini.



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top