File 0.1.1 - A New Student Who Lost His Emotions
Tiga tahun kemudian ....
<Musim Semi, 21 Maret 2021>
"Miss Di datang! Kembali ke kursi!" Ketua Kelas berseru. Sudah menjadi tugasnya memantau selasar kelas setiap bel masuk berdering.
"Oh, ayolah. Aku baru saja mau push rank. Miss Di 'nggak kecepatan tuh datangnya?"
"Tak usah sok gaul. Itu tidak membuatmu keren. Lagi pula sekarang sudah pukul setengah delapan. Jangan melunjak deh."
"Berhenti mengoceh kalian! Cepat duduk!"
Baiklah, ini mungkin sedikit klise di pembukaan suatu cerita, namun bukan masalah. Sesekali tidak apa lah memasukkan elemen klise.
Penghuni kelas yang tadinya sibuk dengan aktivitas masing-masing, heboh layaknya pasar malam, bergegas duduk di bangku. Ketua Kelas ikut duduk sopan di kursi sambil menunggu kedatangan Miss Di yang tinggal beberapa langkah lagi.
Anehnya, pagi ini Miss Di tidak datang sendiri. Seorang remaja laki-laki berambut hitam kusut mengekori langkahnya dari belakang. Tiada ekspresi cerah tercetak di air mukanya, justru terlihat datar dan murung. Dia terus menundukkan kepala menatap lantai keramik. Bahkan saat Miss Di masuk ke dalam kelas, laki-laki itu tetap tidak mau mengangkat kepala.
Dimulailah adegan bisik-bisik yang kentara. Siswa-siswi di kelas bergosip ria. Pandangan mereka fokus ke satu titik—yaitu cowok di depan kelas. Siapa dia? Ada apa dengannya? Apa yang menarik dari keramik putih di lantai? Kenapa rambutnya kusut seolah tidak disisir?
"Baiklah, murid-murid, hari ini kita kedatangan teman baru pindahan dari New York." Miss Di membuka percakapan tanpa kalimat basa-basi. Suara datar nan tegas. "Dia akan bergabung dengan kalian sampai naik kelas. Miss harap kalian bisa berteman baik dengannya."
Para murid langsung berseru mendengar kata New York. Kaum Hawa yang berseru senang karena mendapat target baru buat pedekate, dan Kaum Adam yang berseru antusias mendapat teman baru dari luar negeri—setidaknya ada yang membantu mereka saat pelajaran bahasa.
Lelaki yang berdiri di depan kelas akhirnya mengangkat kepala setelah diberi kode oleh Miss Di. Semua murid berkelamin perempuan refleks menjerit lebay.
"Namaku Watson Dan. Salam kenal."
Dasarnya baby face, berkulit putih susu, rambut hitam legam yang kusut, suara pelan lucu, merupakan kombinasi sempurna untuk tipikal cowok idaman di kelas tersebut. Pantas saja mereka auto mimisan massal.
Kabar baiknya murid-murid cowok di kelas itu tidak memandang popularitas. Reaksi teman-teman sekelas mereka adalah reaksi wajar ketika melihat kedatangan murid baru dari negeri lain. Mereka cenderung friendly, menatap Watson ramah dan bersahabat.
Miss Di menepuk pundak Watson. "Dia homeschooling selama tiga tahun, jadi tidak tahu bagaimana sistem sekolah normal. Miss minta tolong pada kalian untuk membantunya jika dia kesusahan."
"Siap, Miss!"
"Salam kenal, Watson, semoga betah dan nyaman di sini. Kalau ada keluhan, langsung melapor padaku. Sebagai Ketua Kelas yang baik dan dermawan, akan kujamin kenyamananmu di kelas ini."
"Watson imut, deh! New York banget! Booking nomormu, dong!"
"Gila! Kamu betah belajar di rumah tiga tahun? Mengerikan! Aku saja dua jam sudah bosan ingin main ke luar."
"Duduk sama aku sini, Watson. Biar kuberitahu keburukan dan aib kelas ini."
"Hei, dia masih baru. Jangan bikin dia bingung, dong. Kasihan. Tuman kamu mah."
"Lihat sini dong, Watson."
Tak peduli dengan cipika-cipiki para murid, Miss Di mempersilakan Watson duduk paling ujung, di belakang meja seorang gadis berambut bak donat. Watson mengangguk, melangkah sayu menuju bangku yang ditunjuk beliau.
Dari sana, murid-murid sekelas sadar bahwa Watson adalah jenis siswa pendiam. Lihatlah, dia kembali menundukkan kepala ke bawah seolah tidak mau wajahnya dilihat orang lain. Dia kembali mengunci mulutnya rapat-rapat seolah bisu. Akan susah berteman dengan pendiam dan penyendiri.
Selama dia melewati para murid bergender cewek, sorakan kagum yang dia dengar. Mata mereka berbinar-binar seakan melihat emas batangan berjalan. Padahal, Watson, 'kan, makhluk hidup.
Kemudian, ketika Watson melewati meja gadis di depan kursinya, ujung mata Watson melirik sekilas. Diperhatikan sekali lagi, itu bukan rambut donat, tapi modelan space double buns.
Hanya cewek berambut donat itu yang tidak berkomentar seperti murid-murid cewek lain. Dia seakan menganggap Watson cuman angin lalu yang numpang berembus sebentar. Yah, Watson juga tidak memedulikannya.
"41630. Itulah namaku."
Bahkan belum genap bokong Watson menyentuh permukaan kursi, cewek di depannya sudah bergumam tak jelas. Mengucapkan lima angka yang tidak Watson mengerti. Apa perlu kode untuk duduk? Atau mungkin Watson yang terlalu memikirkannya? Dia bisa saja melafalkan sebuah bilangan.
Watson memilih untuk tidak menghiraukan gumaman gadis tersebut. Miss Di sudah memulai pelajaran, menyuruh murid-murid membuka buku paket matematika.
Tiba-tiba Watson terdiam, yang lain sudah tenggelam pada tulisan di papan tulis. Aduh, dia, 'kan, belum punya satu pun buku! Cuma punya beberapa buku tulis kosong.
"Jadi, selain tunawicara, kamu juga tunarungu?" bisik gadis di depan. Dia memainkan bolpoin, entah mendengarkan penjelasan Miss Di atau tidak. "Sepertinya kamu tidak punya harapan."
Dia berbicara denganku? Siapa yang tunawicara? Watson membatin, menaikkan satu alis ke atas, berhitung hendak keluar meminjam buku ke perpustakaan atau meminjam pada anak di meja lain. Watson juga belum tahu di mana letak pustaka. Nanti dia malah tersesat.
Tapi, mana mungkin dia mau meminjam buku sama gadis aneh di depannya! Tahu-tahu sudah dikasih kode nomor asing. Bikin merinding.
Gadis itu menopang dagu, memutar-mutar bolpoin biru di tangan. Tatapannya menerawang. "Watson, nama belakang Dr. John Hamish Watson—yang merupakan kaki tangan Holmes dan orang kepercayaannya. Dokter genius kawan karib Holmes sekaligus teman curhat Holmes setiap kali dia bercerita tentang kasus. Rata-rata orang tua yang memberi nama anak mereka dengan nama depan atau belakang suatu karakter ciptaan Conan Doyle, berarti pecinta misteri. Merujuk nama depanmu Watson, kupikir kau bisa menebak kode tersebut. Tapi, sepertinya aku salah besar, ya? Mempunyai nama detektif bukan berarti juga memiliki jiwa detektif."
Rasa-rasanya bukan hanya dia yang memiliki nama Watson, deh ....
Pilihan Watson sekarang ada dua: menjawab perkataan gadis itu, atau tetap memilih diam dan segera keluar menuju perpustakaan.
Jika Watson memilih opsi pertama, cewek itu pasti akan terus membeo. Kalau Watson memilih opsi kedua, cewek itu akan berpikir Watson seorang pengecut karena melarikan diri. Dua-duanya tidak ada yang menguntungkan Watson.
Jadi, Watson memilih alternatif ketiga, yaitu abaikan saja. Pilihan aman.
Selang beberapa detik berpikir, Watson bangkit dari kursi sembari menunjuk tangan. Gadis di depan meja Watson sontak menengok ke belakang, juga anak-anak yang lain.
Miss Di menoleh. "Ada apa, Watson?"
"Saya izin meminjam buku." Singkat, padat, dan jelas. Sepertinya sudah menjadi kebiasaan bagi Watson untuk berkalimat pendek, atau mungkin dia punya alergi berbicara panjang.
Miss Di mengelus dagu. "Oh iya, kamu baru pindah ke sini jadi tidak punya buku materi," gumamnya lantas menatap murid yang duduk di barisan terakhir bagian depan. "Ketua Kelas?"
Tanpa perlu disuruh, sang Ketua Kelas beranjak dari kursi, menatap Watson. "Ayo, ikut aku, Watson. Akan kutunjukkan jalannya sekalian keliling sekolah."
Watson mengangguk samar. Mereka berdua beranjak keluar dari kelas, sisanya kembali fokus menyalin isi papan tulis ke buku catatan. Sesekali bertanya pada Miss Di.
"Cih." Terdengar decak sebal sebelum Watson meninggalkan kursi. Gadis di depan meja Watson bersungut-sungut, ikut menyalin dengan kasar.
Watson bergumam sendiri. Kalau dilihat dari jauh, gadis itu lumayan cantik dan manis. Ditambah warna rambut pirang panjang. Daripada seorang murid, gadis itu lebih cocok dikatakan seorang putri. Watson menghela napas pendek.
"Aiden."
Gadis itu spontan menoleh kepada Watson, menatap kaget.
"Itu namamu, kan?" kata Watson melambaikan tangan. Dia menyusul langkah Ketua Kelas yang sudah berdiri di luar pintu. Dengan begini, dia bisa pergi tanpa perlu mendengar kicauan gadis itu. Di sisi lain, Watson juga berhasil menjawab perkataannya. Tapi, Watson gagal mempertahankan opsi ketiga.
Selepas kepergian Watson, gadis itu tersenyum misterius.
-
"Aku belum mengenalkan diri," Ketua Kelas berhenti melangkah, membuat Watson mau tak mau ikut menghentikan langkahnya. Dia mengulurkan tangan, tersenyum ramah. "Namaku Kiri Karasu. Senang berkenalan denganmu, Watson."
Watson menerima jabatan tangannya. Kiri? Nama yang unik. Apa ada kembarannya, ya? Kanan, mungkin. Left dan Right.
"Hahaha! Kamu pasti sedang memikirkan namaku, 'kan? Kamu benar! Namaku aneh dan janggal didengar. Tapi, meski begitu aku tetap senang dengan nama tersebut," oceh Kiri ceria. Dia melangkah riang memandu.
Watson menggeleng. "Namamu bagus."
Kiri lagi-lagi berhenti melangkah, menoleh menatap Watson kaget.
Yang ditatap justru balik menatap datar. "Apa?"
"Kamu barusan membalas perkataanku!" serunya senang, melanjutkan langkah yang tertunda. "Kupikir kamu benar-benar tipe cowok dingin, tapi rupanya tidak juga. Setidaknya itu menurut pendapatku."
"Aku hanya malas berbicara."
"Tapi, kalau kamu begitu terus nanti tidak dapat teman, loh." Kiri mengerucutkan bibir, berbicara santai seolah Watson adalah teman yang sudah lama tak bertemu. "Apalagi kamu pindahan dari New York, jelas butuh bantuan teman-teman untuk mempelajari lingkungan luar atau dalam sekolah."
"Tidak apa-apa," sahut Watson.
"Bagaimana kalau begini—" Untuk yang ketiga kalinya Kiri menghentikan langkah, menatap Watson dengan senyum cerah. "—aku akan menjadi temanmu dan membantumu mengajari hal-hal yang kuketahui! Tapi, dengan syarat, kamu juga harus membantuku kalau aku dalam kesulitan. Bagaimana? Penawaran yang menarik, 'kan?" lanjutnya sambil goyang-goyang tak jelas.
"Oh, itukah perpustakaannya?" Watson menjawab lain, menunjuk ruangan yang tak jauh di depan mereka. Ada papan tergantung di atas pintu ruangan tersebut.
Kiri membuang wajah ke samping, merajuk, tetapi tetap mengingatkan Watson, "Kusarankan kamu harus mencari buku-bukunya dengan cepat. Kamu akan pingsan jika berlama-lama di dalam."
Eh? Watson tidak mengerti. Sudah begitu, Kiri tidak membantunya memilih buku? Katanya Ketua Kelas dermawan.
Kiri menjawab dengan nada ketus—masih kesal dengan Watson yang mengabaikan ajakan pertemanan. "Di dalam ada bau busuk yang menyengat. Kepala Sekolah sudah berkali-kali menyuruh para pengurus sekolah untuk mencari penyebab bau tersebut agar siswa bisa nyaman membaca buku. Tetapi, jangankan menemukannya, mereka bahkan tidak tahu sumber bau itu."
"Apa sudah diperiksa di bawah tanah?" Gawat juga. Perpustakaan adalah tempat pengetahuan. Jika tempat itu ditutup dan dikunci, bagaimana cara Watson mempelajari lingkungan baru?
Kiri menggeleng tegas. "Sekolah ini tidak didesain mempunyai ruang bawah tanah, Watson. Ayolah, ini gedung menuntut ilmu bukan kantor."
"Mungkin ada murid menggali tanah untuk menyimpan sisa sampah makanan sampai membusuk." Watson berkata lagi, kalimat pertamanya yang lebih dari sepuluh kata.
Kiri berbalik ke belakang, bersandar ke tepi pintu pustaka sambil bersedekap. "Siapa yang tahu?" Lantas, Kiri menyuruh Watson bergegas, "Aku akan menunggumu di luar. Baliknya buruan, ya. Aku tak mau menggendongmu kalau kamu pingsan di dalam."
Watson tidak membuka mulut lagi, menggeser pintu ke samping, masuk ke dalam dan kembali mengunci pintu. Jika yang dikatakan Kiri benar, maka Watson tidak boleh membiarkan baunya menyebar ke luar.
Belum cukup lima detik masuk ke perpustakaan, mata Watson langsung terbelalak, spontan menutup hidung serta mulut dengan tangan kanan. Wajahnya mual.
Apa-apaan bau busuk ini? Watson menyapu pandangan ke sekitar. Tidak ada orang di sana, hanya dia sendiri. Semua jendela ruangan dikunci rapat, tidak membiarkan udara masuk ke dalam.
"Bodoh, kalau dikunci begini baunya mana bisa hilang. Apa yang mereka pikirkan?"
Tanpa pikir panjang, Watson melesat ke rak buku, mencari buku paket yang dia butuhkan. Dia ingat buku mana saja yang ada di meja teman sekelasnya.
Kiri benar, berlama-lama di sini hanya akan membuat perut mual dan berakhir pingsan. Sekarang saja Watson sudah berkeringat dingin, tak kuat menghirup bau busuk tersebut walau sudah menutup indra penciumannya.
Bau busuk ini aneh sekali. Apa ada bangkai hewan yang dikubur di sana? Di dalam ruangan itu? Celaka, Watson mau muntah. Dia harus cepat pergi dari sini. Pikiran Watson kalut. Dia sampai menjatuhkan buku-buku dari rak karena panik.
Watson menghentikan pergerakannya, menarik napas pendek dan mengembuskannya secara perlahan. Sinar mentari menembus kaca jendela perpustakaan.
"Tenanglah, tenanglah." Watson bergumam pelan, mengatur napas. Dia mengulang kalimat yang sama berkali-kali agar rasa paniknya menghilang.
Srak! Srak! Srak!
"Ng?" Sibuk menenangkan diri, telinga Watson mendengar suara angin mengembus sesuatu dari ujung ruangan.
Srak! Srak! Srak!
Suara itu kembali terdengar. Watson bangkit dari posisi memungut buku-buku yang berjatuhan ke lantai, menatap ke asal suara. Seperti benda kering mengisik dinding.
Srak! Srak! Srak!
Ruangan terasa pengap, pasokan oksigen tipis berkat tidak ada ventilasi udara di mana pun. Ditambah ruangan dipenuhi oleh bau tak sedap. Seperti berada di kubus besar tak berudara. Peluh keringat membanjiri seragam Watson.
Watson melupakan sejenak tujuannya datang ke perpustakaan, melangkah mengikuti asal suara. Suara itu mengganggu serta memancing rasa penasaran Watson. Enak saja Watson pergi tanpa melihat objek yang berhasil mengait rasa ingin tahunya.
Watson melangkah menyusuri rak demi rak. Suara itu semakin terdengar jelas olehnya—suara angin mengembus dan merontokkan sesuatu.
Tiba-tiba langkah Watson terhenti, menatap bengong ke depan. Dia sudah sampai di ujung ruangan.
Tepat di depan Watson—terpisah dinding bangunan—berdiri sebuah pohon sakura yang tengah ditiup oleh angin kencang. Daun-daun pohon berguguran ke tanah, salah satunya terbang ke jendela sehingga menimbulkan suara berisik.
"Pohon sakura?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top