Vers 1.3 -- Kill or to be Killed

Ruangan Profesor Xander terasa seperti terpisah dari dunia luar. Cahaya redup dari lampu sorot langit-langit menyelimuti ruangan yang dihiasi dengan perpustakaan penuh buku-buku tebal. Di tengah ruangan, sebuah meja besar terlihat teratur dengan tumpukan dokumen dan barang-barang lain yang teratur di atasnya.

Vesta dan Frances berdiri di ambang pintu, merasakan aura yang tidak mengenakkan yang terpancar dari dalam ruangan. Vesta menatap Frances, mencari kepastian dalam pandangan temannya.

"Kau yakin Profesor Xander tidak ada di dalam?" tanya Vesta, suaranya berbisik-bisik dalam ketidakpastian.

Frances menatap jendela ruangan, mencoba melihat ke dalam dengan lebih jelas. "Harusnya tidak ada, aku yakin," jawabnya dengan keyakinan rendah.

Namun, sebelum mereka bisa memutuskan langkah berikutnya, Willem tiba-tiba membuka pintu ruangan tanpa ragu. Dengan langkah mantap, dia melangkah masuk, memecah ketegangan yang menyelimuti Vesta dan Frances.

Tapi, segera setelah masuk, Willem mematikan langkahnya. Suasana ruangan terasa semakin hening, hampir seperti menahan napas, ketika mereka menyadari bahwa ruangan itu tidak sepenuhnya kosong. Di pojok ruangan, di balik tumpukan buku, terdapat bayangan sesosok lelaki dewasa sedang berdiri tegak.

"Hey!" teriak Willem tanpa takut.

Namun, setelah satu teguran tersebut, bayangan pria itu segera pergi. Willem yang melihat pergerakan tersebut langsung berlari menghampiri. Sesampainya di tempat tumpukan buku, Willem tidak mendapati apa pun di sana. Sedangkan, Vesta dan Frances baru menyusul di belakang Willem.

"Ada apa, Willem?" tanya Vesta penasaran.

"Aku melihat ada bayangan seseorang di sini." Ketika Willem mengatakan hal itu, lampu ruangan yang semula redup pun menyala. Frances yang menghidupkan ruangan. "Tapi, tidak ada," lanjut Willem dengan kalimat yang sempat tertahan.

Ting!

[Congratulation! The level of each Catastrovesta member rises]

[Alert! Locked up in the room, please kill your two comrades]

[Side Quest: kill parasites (0/2)]

Hologram biru yang muncul di tengah ruangan segera menghentikan Vesta dalam larinya menuju pintu. Dia menoleh dengan cepat, matanya terbelalak saat melihat pintu ruangan Profesor Xander tertutup rapat dengan sendirinya. Vesta meraih gagang pintu dengan gemetar, mencoba membukanya dengan segala cara yang dia tahu. Dia mengetuk dengan keras, memohon agar pintu terbuka, tetapi usahanya sia-sia.

Frances dan Willem, yang berdiri di belakang Vesta, saling bertatapan dengan ekspresi cemas. Mereka merasakan ketegangan yang memenuhi udara di dalam ruangan, menyadari bahwa mereka terjebak dalam situasi yang berbahaya. Sementara itu, deru napas berat mereka saling bersahutan, menggambarkan ketegangan yang melilit.

"Ini adalah jebakan!" seru Willem dengan suara penuh keputusasaan.

Dia melangkah mendekati Vesta, mengeluarkan pedang dari gelang Catas Monitor yang melekat di pergelangan tangannya. Dengan gerakan gesit, Willem menancapkan ujung pedang ke pintu, mencoba membukanya dengan kekuatan fisik.

Dia merasa getir dalam hati saat mengeluarkan tenaganya untuk membuka pintu, karena meski tidak pernah mengungkapkannya, dia tidak pernah benar-benar ingin menyakiti rekan timnya. Tetapi situasi mereka saat ini memaksa dia untuk bertindak, dan keputusan sulit harus diambil dalam sekejap. Titik-titik keringat mulai muncul di pelipis Willem, menandakan ketegangan yang menghantui pikirannya.

"Ruangan apa sebenarnya ini?" tanya Vesta, suaranya penuh dengan kebingungan dan kecemasan.

Willem hanya menggeleng, matanya fokus pada upaya terakhirnya untuk membuka pintu. Namun, ketegangan semakin meningkat ketika sejumlah buku mulai berayun melintasi ruangan, melayang di udara seolah dipengaruhi oleh kekuatan tak kasat mata. Salah satu buku dengan keras mendarat di kepala Willem, membuatnya menoleh ke arah Frances dengan wajah terkejut.

"Sepertinya, tidak ada cara lain," ucap Frances, suaranya penuh dengan keputusasaan. Air mata mengalir di pipinya, mencerminkan ketakutan dan kebingungannya atas situasi yang mereka hadapi.

"Tidak, pasti ada cara lain. Kita tidak boleh saling bun—" Suara Vesta terputus ketika teriakan keras menghentikannya.

"CUKUP, KAU KEPARAT KECIL!" teriak Frances, suaranya memecah hening ruangan.

Dia menarik sebuah tongkat sepanjang dua meter dari saku almamaternya, dan Vesta melihatnya dengan kebingungan. Namun, sebelum Vesta bisa bereaksi, Frances sudah mengambil posisi menyerang, tubuhnya ditekuk dan meluncur ke arah Vesta dengan cepat.

Untungnya, sebelum Frances bisa mencapai Vesta, Willem dengan gesitnya menghadang serangannya dengan pedangnya yang bersinar di udara. Wajahnya terpancar kemarahan saat dia menahan serangan Frances dengan tegas. Suara benturan antara pedang dan tongkat bergema di ruangan, menciptakan dentingan logam yang menggema di udara.

"Kau ... memang benar-benar bajingan, Frances!" desis Willem, matanya memancarkan kemarahan yang tak terbendung. Dengan gerakan yang gesit, dia mengayunkan pedangnya untuk menghalau serangan Frances, menunjukkan bahwa dia siap menghadapi pertarungan yang tak terhindarkan.

"Jika kau ingin lawan yang setara, hadapilah aku, bukan Vesta!" desak Willem, suaranya gemetar oleh kemarahan yang menyala-nyala di dalam dirinya.

Tanpa menunggu lagi, Willem dan Frances langsung terlibat dalam pertarungan sengit. Mereka berdua saling serang dengan penuh determinasi, pedang Willem beradu dengan tongkat panjang Frances dengan kecepatan dan ketepatan yang luar biasa. Bunyi benturan logam dan kayu memenuhi ruangan, menciptakan suara yang memekakkan telinga.

Sementara itu, Vesta, yang berlindung di bawah meja kerja Profesor Xander, merasa dunia di sekitarnya berputar. Air mata mulai mengalir dari matanya, dan tangannya gemetar ketika dia mencoba menahan ketakutannya yang mendalam. Di tengah kekacauan itu, dia meraih hologram hijau yang terapung di hadapannya dan melihat menu data dengan perasaan gelisah.

Tak lama kemudian, kelegaan menyelimuti Vesta ketika dia melihat bahwa levelnya telah naik tiga puluh level. Balon-balon ucapan selamat terpampang di layar, tetapi melihat itu semua, pikiran Vesta justru diliputi ketakutan. Dia mencoba menghubungi Thomas untuk meminta pendapat.

"Thomas, kau bisa dengar aku?" gumam Vesta dalam hatinya, berharap agar masih terhubung dengan rekan timnya.

Namun, hampa yang menyelimuti pikirannya semakin dalam ketika tidak ada jawaban dari Thomas. Tanpa pilihan lain, Vesta memutuskan untuk melihat mega data Frances, berharap menemukan jawaban di sana. Dan saat dia melakukannya, kejutan besar menghantamnya.

Vesta terperangah ketika menemukan bahwa Frances adalah seorang pembohong ulung. Semua cerita yang pernah diceritakan oleh Frances, dari masa depannya sebagai seorang perempuan hingga asal usulnya dari tahun 2010, semuanya palsu belaka. Rasanya seperti fondasi kepercayaan Vesta runtuh seketika, meninggalkan kebingungan dan kekecewaan yang mendalam di hatinya.

"Frances bohong sebanyak itu, aku tidak tahu apa tujuannya."

Saat Vesta masih membaca semua mega data milih Frances, satu dentuman keras terdengar. Vesta tahu kalau itu bukan pertanda baik, dia langsung keluar dari balik meja kerja Profesor Xander. Dia bangkit dan melihat ke sebuah kekacauan di hadapannya.

Ruangan yang tertata rapi sudah hancur. Buku-buku sudah bertebaran dan seluruh penyangga ruangan seperti tiang sudah roboh. Kini, padangan Vesta tertuju pada seseorang dengan kepala yang sudah terpenggal di hadapannya.

"FRANCES!" Vesta berteriak, dia berlari dengan cepat menghampiri Frances yang tergeletak tidak berdaya.

Darah berceceran dan daging segar yang berserakan sebenarnya sudah membuat Vesta merasa mual. Di tambah kepala yang sudah terpisah dari tubuhnya menjadikan Vesta sangat pusing. Baru pertama kali ini dia melihat hal mengerikan yang benar-benar di luar nalar.

Teriakan Vesta berkali-kali pun tidak akan bisa membuat Frances kembali terbangun. Kini, satu orang lagi yang perlu dia cari di ruangan tersebut. Pandangan Vesta mencari Willem di sekeliling tidaklah sulit, ruangan tersebut tidak besar, sehingga apa pun yang ada di sana bisa dilihat dalam sekali edaran pandangan.

Mata Vesta terbelalak saat melihat tubuh Willem tertancap di dinding bagian atas. Tongkat merah milik Frances menusuk dengan telak di perut Willem. Lagi-lagi, Vesta harus menyaksikan darah yang mengalir turun seperti air terjun di dinding di hadapannya. Gelang Catas Monitor milik Willem pun sudah hancur bekeping-keping di lantai, hal ini menjadikan William tidak muncul juga.

Dalam kesedihan yang mendalam, Vesta sangat menyesal karena tidak sempat mencegah kedua rekan timnya saling bunuh di hadapannya. Dia menangis tersedu-sedu di tengah ruangan, di antara kedua jasad rekannya yang mengenaskan. Hati Vesta sangat hancur. Kini, dialah yang merasa bersalah.

Ting!

[Side Quest: kill parasites (2/2)]

[Congratulation! Vesta001 successfully passed the side quest, your level has been increased]

Perkataan yang dilontarkan oleh hologram biru membuat Vesta kehilangan akal. "BERHENTILAH BERBICARA! AKU SUDAH MUAK, BERHENTI!" Dia memukul-mukul hologram biru yang tembus dalam setiap pukulannya tersebut.

[Notification! The door to the room will soon be opened and all the mess will be cleaned up, please leave the room or you will be cleaned up too]

Pintu ruangan Profesor Keen pun terbuka dengan lebar. Angin segar menyeruak mengisi penuh udara tidak enak di dalam ruangan. Bau darah yang ada di ruangan seolah-olah bercampur dengan udara segar yang baru saja masuk.

Melihat hal itu, tanpa pikir panjang, Vesta berlari sambil menangis. Pakaiannya berlumuran darah. Dia menuruni anak tangga dari lantai sepuluh sampai ke lantai dasar. Namun, tidak ada satu pun yang memperhatikan Vesta meski dia beberapa kali berpapasan dengan orang lain.

Satu tempat yang sudah pasti akan didatangi oleh Vesta, tidak lain dan tidak bukan adalah kamarnya sendiri. Dia benar-benar merasakan serangan mental yang begitu keras seperti hantaman kuali panas yang dulu menimpa dirinya.

Sesampainya di depan kamar, Vesta langsung mengeluarkan kunci dari saku celana, kemudian membuka kamarnya dengan cepat. "Thomas! Tho ... mas?"

Lelaki yang semula berbaring dengan tenang di ranjang milik Vesta kini sudah menghilang. Bahkan, Vesta tidak tahu ke mana perginya lelaki tersebut. Pintu kamar di kunci dengan rapat, dan jendela pun masih terkunci dari dalam. Sampai mata Vesta membola untuk melihat ke sekeliling ruangan, dia akhirnya mendapati di atas lemari. Sesosok kurus berkacamata, tanpa busana, menempel di langit-langit kamar dengan cengkeraman yang kuat.

Sosok tersebut menyeringai, air liurnya menetes beberapa kali. "Apa kau mencariku, Vesta Harrison?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top