Vers 1.2 -- Whisper

Vesta, merasa dirinya harus segera bisa meningkatkan levelnya untuk bisa melihat mega data dari ketiga rekan timnya. Namun, untuk meningkatkan level tersebut, Vesta masih belum tahu bagaimana caranya. Dia tidak bisa menanyakan langsung secara gamblang pada kedua orang yang masih berdiri di hadapannya.

"Yah, hari ini aku tidak ada kelas. Jadi, sebenarnya sejak tadi aku mencari-cari Catas Monitor-mu, Vesta." Willem kalah atas pertanyaan Vesta sebelumnya, sehingga dia mau menjawab untuk mengalihkan pembicaraan.

Mendengar hal itu, Vesta sedikit melirik ke Frances. Dia bisa melihat satu isyarat penting dari sorot mata Frances. Seakan-akan paham, Vesta pun segera menjawab, "Ah, ya. Apakah kita diperbolehkan melakukan itu di luar jam misi?"

"Kenapa tidak? Kau tidak dengar kalau di luar jam misi, kita hanya tidak diperbolehkan untuk membunuh. Jadi, daripada kita diam tidak jelas, mending kita mencari benda penting tersebut," jelas Willem kemudian seraya menggaruk tangan kanannya.

Vesta baru menyadari setelah melihat gelang ular yang masih melingkar di tangan Willem. Dia kini bertanya-tanya, kenapa William yang katanya bisa mengendus keberadaan Catas Monitor aktif milik Vesta tidak bisa mengarahkan ke jalan yang benar?

"Aku setuju. Bagaimana kalau kita bergerak dari sekarang?" tanya Vesta setelah pura-pura menimbang-nimbang.

Ketiganya pun sepakat. Vesta keluar dari kamar, dia mengenakan almamater dengan pin yang tersimpan di sakunya. Saat ketiganya berbalik badan untuk berjalan ke lorong, tepat di tengah lorong, mereka melihat satu orang babak belur. Orang tersebut berjalan terlunta-lunta mendekati ketiganya.

"Thomas!" teriak Vesta, di antara ketiga yang melihat itu, hanya Vesta-lah yang berlari mendekati Thomas.

Dia melihat kacamata yang dikenakan Thomas sedikit retak, bagian ujung bibirnya sobek dan mengeluarkan darah, matanya lebam, dan bahkan pakaiannya robek. Seolah-olah Thomas antara sudah di keroyok, atau dia sudah terkena ledakan bom. Hal itu masih belum bisa dipastikan karena Vesta belum mendapatkan respons apa pun dari Thomas.

"Apa yang terjadi?" Vesta merangkul Thomas, dia mencoba membantu lelaki berkacamata itu untuk berjalan lebih mendekat ke arah Willem yang sedang berkacak pinggang dan Frances yang terdiam di sampingnya.

"Ada drama apa lagi yang dia perbuat?" tanya Willem ketus.

"Ssst, teman kita butuh bantuan, apa kau tidak punya rasa empati?" ujar Vesta dengan sorot mata memelotot ke arah Willem.

Sekali lagi, Vesta membuka kamarnya. Dia membawa Thomas ke dalam kamar dan menyuruhnya untuk duduk. Sekiranya sampai kondisi Thomas jauh lebih baik, dia baru bisa bertanya terkait keadaannya kembali. Namun, Willem dan Frances tidak kunjung masuk ke kamar Vesta, keduanya hanya melongok di ambang pintu saja.

"Apa yang sebenarnya terjadi, Thomas?" desak Vesta lagi, suaranya penuh dengan kegelisahan.

Vesta bisa melihat pergerakan mulut Thomas, tetapi dia tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang sedang dibicarakan oleh rekannya itu. Dari pergerakan bibirnya, Vesta hanya bisa meyakini kalau itu adalah kalimat pendek yang diulang-ulang oleh Thomas.

"Eh ... kau, bisa menulis sekarang?" Merasa frustrasi karena tidak kunjung tahu apa yang diujarkan oleh Thomas, Vesta pun memiliki ide yang tidak terlalu buruk. "Kau tulis saja di kertas, kemudian aku akan membacanya."

Namun, setelah Vesta mengatakan hal tersebut, dia melihat tubuh Thomas lemas sampai akhirnya lelaki itu memejamkan matanya. "Tidak mungkin," bisik Vesta, menahan kepanikan yang menggebu di dadanya. Dia segera mengecek denyut nadi Thomas, lega saat menemukan bahwa dia masih hidup.

"Kalian benar-benar menganggap Thomas sebagai pengkhianat di tim kita?" Kini, tatapan Vesta terlempar ke arah Willem dan Frances.

"Aku, ya." Singkat dalam dua kata, Willem dengan pasti menjawab.

"Aku sebenarnya ragu. Lihatlah kondisinya sekarang, siapa yang membuatnya seperti itu?" ujar Frances seraya melangkah dengan perlahan masuk ke kamar Vesta.

"Frances, kau kan teman Thomas. Atau ... setidaknya mengenali Thomas lebih lama dari aku. Kenapa justru kau ragu akan hal itu?" tanya Vesta kemudian.

"Dengar, kau tidak semestinya percaya sepenuhnya pada siapa pun, Vesta. Bagi kita, sebagai seorang player, kejanggalan-kejanggalan yang kita temukan adalah musuh. Jadi, kau tidak boleh percaya begitu saja pada siapa pun." Willem mengikuti langkah Frances.

"Bahkan jika kita adalah tim?" Vesta memastikan.

Tidak ada jawaban dari Willem maupun Frances.

"Jadi, kita akan menunggu Thomas sadar terlebih dahulu untuk kembali mencari Catas Monitor milikmu, Vesta?" tanya Frances, perkataannya tetap terdengar sedikit ada rasa takut ketika mengutarakan hal tersebut.

"Pasti terlambat lagi nanti, lihat saja." Willem mondar-mandir di kamar Vesta.

Saat ketiganya sedang berbincang, Vesta mendengar satu bisikan kecil di telinganya. Lambat laun, telinganya dipenuhi oleh dua hal. Pertama, obrolan yang sedang dibicarakan oleh Willem. Kedua, sautan berupa 'Ssst, Vesta' yang melayang di dalam telinga kanan dan kirinya secara bergantian.

"Ya, apa?" Refleks Vesta pun menjawab dengan suara yang keras.

"Hah? Apa maksudmu?" ujaran Willem terhenti karena Vesta.

"Eh? T-tidak, jadi, bagaimana tadi?" Karena merasa kalau itu bukanlah dari Willem dan Frances, Vesta pun langsung mengalihkan pembicaraannya.

"Vesta, ini aku, Thomas. Kau cukup jawab dengan batinmu saja."

Suara lelaki yang muncul di telinga Vesta dan hanya Vesta yang bisa dengar ternyata adalah suara Thomas.

"Benar, aku adalah seorang player, tetapi kau jangan menganggap aku orang jahat di sini. Dengarkan aku, aku adalah seorang mind reader, aku bisa mengetahui apa yang sedang kalian pikirkan. Aku, di sini tidak berniat jahat padamu. Awalnya, aku akan bilang pada kalian semua kalau aku adalah player Catastrophizing juga, tetapi aku melihat Willem dan Frances bukanlah orang baik, aku tidak jadi mengungkapkan itu."

Kalimat yang dilontarkan oleh Thomas seperti berbisik, tetapi terdengar jelas di telinga Vesta. Permasalahannya kini adalah, dia harus bisa membagi fokusnya antara obrolan bersama Willem dan Frances, dengan menyimak pengakuan ungkapan dari Thomas.

"Kau, tinggalkan saja aku. Ikuti apa yang mereka mau. Aku tahu kalau kau sudah mendapatkan Catas Monitor-mu, kan? Tersisa Willem yang belum tahu, jangan biarkan dia tahu."

Saat sedang serius menyimak perkataan Thomas, Willem mendistraksi dirinya, "... jadi begitu. Menurutmu bagaimana, Vesta?"

"Hah? Eh, iya, aku setuju." Entah apa yang sedang dibicarakan oleh Willem, Vesta hanya memilih kata-kata acak.

"Nah, kalau begitu, ayo pergi sekarang. Kita biarkan si pengkhianat kutu buku ini di kamarmu, dia akan aman." Willem beridiri tepat sejajar dengan tubuh Thomas yang masih terbaring di ranjang.

"Lalu? Aku kunci dia di dalam kamarku?" tanya Vesta.

"Tidak masalah, kunci saja. Jika dia bangun, dia harus menunggu di kamar. Kita berikan catatan saja di depan pintu." Willem membalikkan badannya dan berjalan keluar.

"Oke kalau begitu, sebentar kuberi dia catatan."

"Willem, aku sebenarnya ikut, kau saja tidak tahu." Vesta kembali mendengar bisikan Thomas di telinganya. "Tidak masalah, Vesta. Ragaku tidak akan bangun sampai aku kembali masuk. Kini aku menumpang di dirimu terlebih dahulu."

Entah ini adalah pertanda bagus atau tidak, yang pasti Vesta merasa sedikit keberatan. Namun, dia tidak bisa berpikir seperti itu karena sekarang dia tahu kalau Thomas adalah seorang mind reader.

Vesta, Frances, dan Willem pun mulai melangkahkan kakinya kembali. Kegiatan Vesta di Oxfard Normal University dua hari ini benar-benar monoton. Hanya tiga tempat saja yang dia kunjungi dari berbagai tempat lainnya. Ya, dia tidak ada urusan untuk mengunjungi tempat lain memang.

"Profesor Xander sedang mengajar pada jam ini, jadi kemungkinan besar ruangannya kosong," seru Frances. Langkah dia paling kecil karena tubuhnya juga paling pendek, sehingga dia harus mengimbangi Willem dan Vesta.

"Baguslah kalau begitu."

Willem, yang awalnya tidak akur dengan Frances, kini, terlihat lebih dekat. Keduanya seolah-olah melupakan kejadian di mana Willem kecewa terhadap Frances, saat Frances menyembunyikan identitasnya, seperti yang dilakukan Thomas. Vesta justru melihat, kedua rekannya ini seperti merencanakan sesuatu yang Vesta tidak tahu.

"Thomas, kau tahu apa tujuan sebenarnya dari Frances dan Willem?" Vesta mulai menggunakan batinnya untuk bertanya pada Thomas.

"Biarkan kuberi tahu semuanya padamu, Vesta."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top