Vers 0.3 -- Anomaly

Mulut Vesta menganga. Melihat seonggok tubuh dengan darah muncrat berceceran, daging terkoyak, kepala pecah dengan bagian yang bercerai-berai, sampai bola mata yang menggelinding lepas dari kelopaknya. Itu benar-benar pemandangan yang tidak pernah Vesta duga sebelumnya.

Sontak Vesta menutup mulutnya karena mual, satu tarikan tangan dari seseorang membuat Vesta terperanjat, "Ikut aku," ajak seseorang itu.

Vesta terhuyung mengikuti langkah lelaki yang menarik tangannya menjauh dari kerumunan tersebut. Sampai akhirnya mereka di tempat yang sepi. Terdapat satu bangku panjang terbuat dari besi, Vesta dan lelaki itu pun duduk. Pandangan Vesta masih tertuju pada kerumunan yang letaknya sekitar seratus meter di hadapannya.

"Kau sedang ada masalah?" tanya lelaki itu yang ternyata adalah Frances, rambutnya kini acak-acakan, entah apa yang sudah dilakukan anak itu, Vesta masih belum bisa fokus.

Vesta hanya bisa menggeleng.

[Congratulation! Reward: get more energy intake]

[Notification! Next quest has been updated]

[Warning! Quest update process failed, it will be updated for twenty-four hours]

Suara bising dari hologram biru itu kembali terdengar, dengan tampilan layar yang sepertinya hanya Vesta yang bisa lihat. Vesta yang sedang mengatur napas pun masih belum terbiasa dengan kehadiran hal tersebut. Benar, 'hal', karena Vesta masih belum bisa berasumsi kalau itu adalah benda.

Di sampingnya, Frances yang merasa tidak mendapat penjelasan pun kembali bertanya pada Vesta, "Sepertinya kau sakit, ayo aku antar ke asrama."

Asrama? Apa lagi ini, Ya Tuhan!

Vesta menjerit di dalam hati. Seolah-olah keanehan ini tidak berhenti menimpa dirinya, atau memang dia sebenarnya sudah mati dan ini adalah kehidupan setelah kematian? Vesta bingung.

"Kau bilang asrama?" Akhirnya Vesta mau membuka mulut, setelah dia berhasil menelan kembali muntahan yang sebelumnya hendak keluar.

Frances menghela napas, "Kau benar-benar kelelahan. Terlalu berlatih keras untuk pemilihan ajang model taraf nasional membuat kamu lupa ingatan juga?"

Jelas, hal itu bukannya membawa Vesta ke sebuah kata yang disebut 'ketenangan', melainkan 'kepasrahan'. Vesta sudah pasrah dengan apa yang sebenarnya sedang menimpa dia. Lelaki itu bahkan sekarang sudah berdiri dan mengikuti langkah Frances dari belakang. Langkah kakinya masih terasa lemas karena melihat genangan darah di tubuh Alecia.

Oh, ya, mengapa kematian Alecia tidak membuat heboh? Hanya berkerumun saja? Di mana dokter ... atau polisi? Dosen? Pihak kampus?

Pertanyaan itu tiba-tiba menghampiri Vesta, saat dia dan Frances melewati kerumunan dengan berjalan santai. Benar, Frances sama sekali tidak tertarik dengan kejadian mengerikan yang menimpa Alecia. Meski Vesta tidak tahu pasti kalau Frances kenal Alecia atau tidak, tetapi setidaknya di sana ada kejadian bunuh diri yang mengenaskan. Bagaimana bisa orang tersebut secuek itu?

Frances memimpin langkah di depan, sesekali melihat Vesta yang masih saja tampak gelisah, "Kau tidak perlu pikirkan Alecia," ujarnya kemudian, seolah-olah bisa tahu apa yang sedang ada di dalam pikiran Vesta.

"Kau kenal dengan Alecia?" tanya Vesta, langkahnya dipercepat untuk mengimbangi langkah Frances.

Frances mengangguk, "Dia bukannya satu paguyuban denganmu? Dia Putri Kampus, dan kau ... Putra Kampus."

Vesta hanya bisa mengerutkan dahinya. Dia semakin yakin kalau sebenarnya dirinya sudah mati dan kini melanjutkan kehidupan setelah kematian. Bagaimana tidak? Di kehidupan sebelum meledaknya laboratorium, Vesta adalah Duta Kampus, dan sekarang dia menjadi Putra Kampus. Apa bedanya itu? Seolah-olah hanya diatur berbeda nama saja.

Sampai akhirnya setelah sekitar sepuluh menit berjalan, mereka pun tiba di sebuah bangunan berbentuk silinder. Vesta melihat ke arah papan nama yang ditancapkan di bagian depan sebelum pintu masuk. Papan nama tersebut bertuliskan 'Asrama Prestasi Oxfard Normal University'.

"Asrama prestasi?" gumam Vesta dengan suara perlahan, tetapi suara tersebut didengar oleh Frances.

"Kalau kau lupa kau adalah mahasiswa berprestasi di kampus, itu sungguh keterlaluan, Vesta." Frances menggeleng. "Oh, ralat! Prestasi yang dimaksud adalah bukan dalam artian akademik, ya. Siapa tahu kau lupa juga." Frances terkekeh setelah menyelesaikan kalimat tersebut.

"Apa maksudnya?" Vesta masih belum paham dengan apa yang diujarkan oleh (mungkin) temannya itu.

"Lihat? Berarti memang kamu tidak pintar dalam hal akademik." Frances menepuk pundak Vesta. "Ayo masuk, kau tampak kelelahan."

Tidak ada balasan komentar dari Vesta, dia pun kembali mengikuti langkah Frances. Saat pintu bangunan yang diyakini asrama itu dibuka, Vesta bisa melihat kalau lobi asrama itu cukup luas. Di sana cukup banyak orang yang Vesta tidak kenal. Beberapa memang menyapa Vesta, tetapi lelaki itu hanya menyunggingkan bibirnya saja sedikit.

Frances berjalan menuju tangga kayu yang berdecit. Foto-foto yang sebelumnya pernah Vesta lihat terpajang di setiap dinding ruangan. Benar, sejauh ini, Vesta hanya familiar dengan foto-foto tersebut. Beberapa dia lihat sempat terpajang di perpustakaan.

Sampai di lantai dua, Frances berjalan ke hadapan sebuah pintu yang di depannya terdapat angka dua puluh dua. Lelaki itu mengeluarkan kunci dari dalam saku celananya, kemudian membuka pintunya. Namun, saat Vesta hendak ikut masuk ke ruangan tersebut, Frances menahannya.

"Hey? Mau ke mana kau?" tanyanya dengan nada yang sedikit kaget.

Vesta yang kebingungan pun tersentak, "Eh? Kamarku?" Itu benar-benar pertanyaan terbodoh yang dilontarkan Vesta, tetapi dia memang benar-benar tidak tahu apa yang sedang dia alami.

"Kau benar-benar mabuk, Vesta. Awalnya aku kira kau sakit, tetapi ini sudah kelewatan. Coba kau menoleh ke arah belakang dan lihat ... di sana dengan jelas terpampang tulisan namamu di depan pintu." Frances mulai frustrasi dengan tingkah laku Vesta yang dianggapnya aneh.

Vesta pun langsung membalikkan badannya dan dengan rasa malu dia berjalan menuju pintu kamar di hadapannya. Namun, dia berhenti terpaku di sana. Tidak mau melakukan hal yang bodoh lagi, Vesta berharap Frances sudah masuk ke kamarnya.

"Kuncimu ada di saku belakang celana." Ternyata Frances belum menutup pintunya, dia masih memerhatikan Vesta yang terlihat kikuk.

"Aku tahu." Secepat kilat, Vesta langsung mengambil kunci tersebut, membuka pintu, dan masuk ke kamarnya.

Setelah menutup pintu kamar, muka Vesta langsung memerah. Belum pernah dia merasakan rasa malu sedalam ini. Namun, apa boleh buat? Hal ini karena Vesta baru saja hidup di sebuah kehidupan yang dia percaya setelah kematian.

Ruang kamar Vesta cukup gelap. Dia mencari saklar lampu ke sana ke mari. Letaknya tidak terlalu sulit, di samping pintu, sesederhana itu, tetapi Vesta tidak menemukannya dengan cepat.

Saat lampu kamar sudah dinyalakan, ruangan penuh dengan pajangan sertifikat pun tersaji. Vesta melihat ke sekeliling ruangan. Terdapat satu titik yang langsung menyita perhatian Vesta. Bagian tersebut adalah sebuah lemari yang dipenuhi dengan piala penghargaan. Saat Vesta melihat, rata-rata semuanya adalah penghargaan dirinya terhadap ajang lomba modeling di kampus.

"Vesta Harrison? Ini benar namaku, dan semua orang yang ada di foto-foto tersebut adalah aku." Dia melirik ke arah pajangan figura yang tertempel di dinding ruangan.

Vesta mencoba memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi. Dia duduk di ujung kasur dan mengurut-urut bagian samping kepalanya. Satu hal yang lelaki berambut hitam itu rasakan adalah rasa pusing yang membuat kepalanya terasa berat.

Setelah cukup lama dia bergeming, Vesta memutuskan untuk mandi terlebih dahulu. Dia menarik napas dalam-dalam, sebelum akhirnya bangkit dan menyambar handuk yang tersangkut di belakang pintu kamarnya.

Vesta memutar pandangannya mencari sesuatu yang sangat penting, "Tidak ada kamar mandi dalam?" Menyadari hal itu, tanpa pikir panjang, Vesta langsung menyimpan kembali handuknya. "Masa bodo dengan mandi, terpenting aku tidak melakukan hal bodoh lagi di luar," ujarnya.

Vesta masih ingin berlama-lama di dalam kamar. Terlalu banyak hal janggal yang terjadi untuk hari yang melelahkan bagi Vesta. Langkah selanjutnya yang harus Vesta lakukan adalah, mengenali tubuh yang sedang dia perankan saat ini. Sebelum itu, Vesta melihat satu almanak yang terpajang di dekat jendela kamarnya.

Vesta berjalan mendekati almanak tersebut, kertasnya terlihat cukup jadul sehingga dia benar-benar yakin kalau sudah tidak tinggal dikehidupan nyatanya. "Jika ini adalah tahun 1924, apakah mungkin aku terlempar seratus tahun dari kehidupan nyataku? Di sini hanya ada dua kemungkinan, aku terlempar atau aku sudah mati."

Kalender berwarna kuning lusuh itu menunjukkan angka yang sesuai dengan apa yang Vesta katakan. Di bulan Feburari, kini Vesta sudah tahu kalau yang berubah di sini hanyalah tahunnya, sedangkan semuanya sama. Jelas, suasana dan orang-orang ikut berubah karena dirinya kini hidup di masa lalu.

Tidak mudah untuk Vesta menerima fakta aneh itu semua, tetapi mau bagaimana lagi? Hanya itu satu-satunya hal yang Vesta bisa simpulkan. Selama ini, dia hanya bisa mengetahui hal semacam ini di dalam video game yang dia mainkan, dan kini, dia sendiri yang mengalaminya. Vesta001, adalah nama kecilnya saat ini. Begitulah kira-kira kata hologram biru.

Ting!

Baru saja Vesta memikirkan tentang hologram biru, kotak transparan sudah muncul di hadapannya lagi.

[Alert! Side quests have been added]

[Congratulation! You are selected as a "player"]

[Data! Vesta001, status: alive, health: well]

[Alert! You get a side quest: invite friends to sneak into Professor Xander's room (0/4)

Reward: level up and make it easier to prepare for the next quest

Pinalty: didn't get friends for the main quest

Accept side quest, yes/no]

Vesta tidak mendapatkan waktu untuk berpikir memutuskan pilihan ya atau tidak. Namun, satu hal yang kini Vesta pikirkan. "Mengapa semuanya berhubungan dengan Profesor Xander? Apakah dia semacam monster atau bagaimana?"

Kini, Vesta sudah lebih tenang dari beberapa momen sebelumnya. Dia bisa memikirkan dengan saksama kemungkinan-kemungkinan bisa terjadi. Vesta, dengan sengaja tidak mempermasalahkan soal si hologram biru yang dengan tiba-tiba datang memberikan tantangan-tantangan aneh untuk dirinya. Dia kini ingin mencoba mengikuti alur yang sedang dia jalani.

"Baiklah, aku akan memilih 'yes' untuk menjalankan side quest ini. Tidak ada pilihan yang lebih bagus, bukan?"

[Notification! Side quest accepted]

[Alert! Side quest: invite friends (0/4), time: 60 minutes, if you fail you will die]

[Alert! Side quest: invite friends (0/4), time: 59 minutes, if you fail you will die]

[Alert! Side quest: invite friends (0/4), time: 58 minutes, if you fail you will die]

"Satu jam?" melihat waktu yang terus berkurang, Vesta langsung berlari ke arah pintu dan membukanya dengan keras. "FRANCES!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top