Vers 0.2 -- Catastrophizing Activated

Dalam kegelapan hakiki, tepukan di pundak berkali-kali Vesta rasakan. Seluruh tubuhnya terasa sakit sebelum akhirnya dia membuka mata. Tangan kurusnya terasa kebas, dia tidak bisa merasakan apa-apa. Tumpuan kepala lelaki itu di atas tanganlah yang menjadikan tangannya kesemutan.

Sayup terdengar suara seseorang yang sedang berusaha membangunkan Vesta sedari tadi, "Vesta, ssst, Vesta, bangun, Profesor Xander sudah datang," bisik lelaki di samping Vesta.

Namun, seolah-olah tanpa basa-basi kepala Vesta langsung mendongak dengan deru napas yang berat dan cepat. Keringat dingin mulai mengucur dari pelipis matanya, menderas seakan-akan membuat aliran sungai yang tidak tertahankan.

Vesta mengedarkan pandangan. Alih-alih mendapati dirinya di laboratorium, dia justru berada di sebuah ruang kelas yang seisinya kini sedang menatap tajam ke arah dirinya. Menoleh ke sana ke mari, Vesta mencari penjelasan dalam diam dan kebingungan yang menyelimuti. Dia benar-benar tidak tahu apa yang sedang terjadi.

Di samping Vesta, sesosok lelaki seusianya mengenakan pakaian super rapi dengan almamater berwarna hitam yang tidak dikancing sedang melihat ke arah Vesta dengan tatapan heran. Lelaki almamater itu mengerutkan dahi seraya meletakkan satu jari tangan di hadapan bibir. Dia mengisyaratkan Vesta untuk tenang.

"Hah? Siapa kalian?" Vesta terperanjat, sebelum akhirnya satu teguran keras terlontar dari arah depan.

"Siapa yang mengizinkan anda untuk melakukan tindakan bodoh di kelas saya?" Suara tersebut terdengar serak dan berat. Intimidasi yang diterima oleh Vesta pada saat itu benar-benar membuatnya semakin tercengang. "Keluar dari kelas saya sekarang!"

Vesta memelotot saat mendapati perkataan dari seseorang asing yang baru saja dia ketahui sebagai dosennya. Uluran tangan dosen tersebut mengisyaratkan Vesta untuk meninggalkan ruangan. Mukanya memerah, seolah-olah harga dirinya telah diinjak-injak oleh Vesta. Padahal, Vesta saja tidak tahu apa yang sedang terjadi di sana.

Vesta sudah tidak peduli dengan sorot mata tajam orang-orang di dalam ruangan yang melihat ke arah dirinya. Dia bahkan meninggalkan tasnya di samping tempat duduk, kemudian pergi dengan langkah keras keluar ruangan.

Satu hal yang Vesta dapatkan, dia benar-benar tidak mengenali ruangan tempat di mana Profesor Xander membentaknya tadi. Ruang kelas? Vesta bahkan tidak ingat ada ruang kelas semacam itu di kampusnya.

Ketika membuka pintu, tubuh Vesta langsung tertahan. Sebentar sebelum dia akhirnya melanjutkan langkah kaki, Vesta merasa bangunan tempat dia 'belajar' tadi sangat berbeda. Warna cat yang terlihat kolot, hingga tembok penyangga kayu kokoh yang semula Vesta ingat adalah terbuat dari beton.

"Apakah aku sedang bermimpi?" gumam Vesta kemudian. Dia menutup pintu di belakangnya dan langsung berjalan ke arah lorong di sebelah kanan.

Perlahan-lahan, Vesta melewati beberapa ruangan lainnya. Tipe ruangan yang sama dengan ruang kelas tadi, membuat Vesta semakin hilang arah dan tidak tahu sedang ada di mana. Saat dirinya sampai di ujung lorong, dia baru bisa melihat ke luar jendela.

Pemandangan yang cukup asing bagi Vesta tersaji. Lapangan luas dengan beberapa bangunan berwarna cokelat tua yang didirikan secara acak di beberapa tempat. Sisanya hanya ada pohon-pohon rindang dan jalanan berbatu yang menghubungkan satu bangunan ke bangunan yang lain. Vesta, kini berada di lantai atas, sehingga dia bisa melihat lanskap tersebut.

"Tata letaknya cukup familiar, tetapi di mana?" Lagi-lagi yang bisa Vesta lakukan hanyalah bergumam, dia berkutat dengan isi pikirannya sendiri. Tidak bisa bertanya pada siapa pun, karena tidak ada yang dia kenal satu pun sedari tadi.

"Senior Vesta!" Merasa satu nama berharganya terpanggil, Vesta pun sontak menoleh. "Apa yang sedang kau lakuakan di sini? Bukankah Profesor Xander mengajar?" tanya seorang gadis yang kini berjalan ke arah Vesta secara perlahan.

Vesta menyipitkan matanya, dia baru menyadari kalau kini pandangannya terasa pudar. "Alexa? Alexa!"

Lelaki itu terlihat senang saat dia melihat gadis di hadapannya. Sesosok perempuan familiar sudah berdiri di hadapannya cukup dekat. Namun, gadis tersebut mengenakan pakaian yang sama dengan orang yang membangunkan Vesta di dalam kelas tadi. Benar, bahkan Vesta pun mengenakan pakaian yang sama!

"Alexa?" Perempuan itu membetulkan kancing almamater milik Vesta dan merapikannya, jarak mereka sangat dekat. "Gadis mana yang kau sebutkan itu?" Aroma parfum aneh tercium saat Vesta tidak sengaja mendorong menjauh perempuan tersebut.

Tidak ada tanggapan lebih lanjut dari Vesta, dia memutuskan untuk bergeming. Dia segera tahu kalau gadis yang ada di hadapannya ini sebenarnya bukan Alexa. Jelas saja, Alexa tidak mungkin melakukan kontak fisik seintim itu pada Vesta. Bersalaman saja mereka tidak pernah.

"Alecia. Wah, jelas kau adalah si laki-laki brengsek. Sangat mudah melupakan perempuan yang pernah tidur dengannya tadi malam." Mendengar penjelasan tersebut, Vesta sangat kaget. Dia bahkan hanya mengingat kalau tadi malam dirinya tidur setelah memakan mie sebanyak tiga bungkus di dalam kamar.

"Tidak masalah. Setidaknya aku pernah merasakan tubuh lelaki yang paling diincar oleh seluruh gadis di kampus ini. Senangnya." Setelah mengatakan demikian, perempuan yang wujudnya sama persis seperti Alexa itu pun pergi meninggalkan Vesta sendirian.

Alih-alih mendapat pencerahan, otak Vesta mendadak mengepulkan asap. Dia benar-benar bingung dengan apa yang sedang terjadi. Sekali lagi, Vesta bergidik ketika mendengarkan kalimat erotis yang menjijikan dari mulut perempuan tadi. Benar, itu menjijikan bagi Vesta yang sama sekali tidak pernah membayangkan adegan aneh tersebut.

"Di mana aku? Haduh, apakah aku sudah mati?" Vesta kembali menoleh ke arah jendela gedung. Dia mengedarkan pandangan, melihat sekali lagi dengan saksama untuk memastikan kebingungan yang sedang dia alami.

Cukup lama, sampai akhirnya Vesta memutuskan untuk turun ke lantai dasar. Vesta berkeliling koridor lantai tersebut, tetapi tidak kunjung menemukan lift. Berkali-kali dia hanya mendapati satu tangga besar di bagian tengah koridor, dan itulah yang paling memungkinkan sebagai jalan satu-satunya untuk pergi ke lantai dasar.

Tidak perlu berpikir lebih lama, Vesta langsung menuruni tangga tersebut. Ukuran lebar tangga itu cukup untuk lima orang dewasa berjalan di satu baris yang sama. Vesta menghitung berapa lantai dia bisa sampai ke lantai dasar tersebut.

"Lima? Orang gila macam apa yang menuruni tangga dari lantai lima setiap harinya, tanpa lift." Hanya itu satu-satunya komentar yang dilontarkan oleh Vesta karena kini dia sedang kelelahan.

Dia sudah tidak berpikir lagi berapa liter banyaknya keringat yang mengucur dari tubuhnya sedari tadi. Vesta melepas almamater berwarna hitamnya, dan baru menyadari, "Kenapa tidak dari tadi aku melihat logo di bagian lengan almamater ini? Dasar bodoh."

Sebuah logo dengan maskot tanduk rusa berwarna emas tersaji di sana. Vesta benar-benar familiar dengan logo tersebut. Keyakinannya semakin di pertajam dengan tulisan nyentrik di bawah logo.

"Oxfard Normal University 1924?" ujar Vesta mencoba menggosok-gosok tahun yang tertera di sana. "Hey, bagaimana bisa?"

Ting!

Telinga Vesta mulai berdenging. Bukan sekali, melainkan berkali-kali dentingan tersebut mengitari kepala Vesta. Dia benar-benar bingung saat beberapa layar berwarna biru mulai bermuncurlan di hadapannya.

"Suara apa itu? Layar biru tersebut, apa itu?" Almamater yang semula digenggam oleh Vesta pun terjatuh. Lelaki itu langsung menutup telinganya yang terus berdengung.

[Notification! Catastrophizing, status: activated, duration: six months]

[Congratulation! You are selected as a "player"]

[Data! Vesta001, status: alive, health: well]

Vesta terbelalak, dia tidak menyangka sebuah hologram biru dihadapannya akan memunculkan sebuah data diri. Dia melihat tubuhnya berdiri tanpa busana dengan garis-garis yang menunjukkan informasi seperti warna mata, warna kulit, berat badan, tinggi badan, sampai denyut jantung. Seolah-olah Vesta sedang melakukan penapisan.

"APA MAKSUDNYA INI?" Vesta berteriak, dia berlari kembali ke arah lobi gedung. Langkahnya terburu-buru mencari sebuah ruangan untuk menghindari hologram biru yang terus mengikutinya dari belakang.

[Alert! The download is processing, in sixty seconds, the mission will start ...]

Vesta masuk ke sebuah ruangan yang ketika dibuka pintu kayunya berdecit sangat keras. Dia berada di dalam toilet, kemudian menyelinap ke bilik paling ujung. Tubuhnya yang masih dibasahi oleh keringat kini bergetar karena ketakutan. Sebelumnya, belum pernah Vesta mengalami rasa takut seperti ini.

[Data! Vesta001, status: alive, health: not well, heart rate: high]

Hologram biru tersebut tidak hanya mengganggu Vesta, dengan tampilan layar tembus pandang berjarak lima puluh sentimeter dihadapannya, tetapi lebih parahnya lagi hologram biru tersebut mengeluarkan suara bising dan cempreng yang kerap kali membuat Vesta panik.

Vesta, yang masih mencoba menenangkan diri di antara kemunculan hologram biru bertubi-tubi itu pun memejamkan matanya. Dia benar-benar tidak paham dengan apa yang sedang dialaminya.

Tidak lama kemudian, terdengar suara seorang familiar dari luar. Orang tersebut mengetuk secara perlahan bilik toilet. "Vesta! Kenapa kau berlarian seperti itu?"

Dengan bibir yang masih gemetar, Vesta bertanya, "Siapa di sana?"

"Ini aku, Frances. Kelas Profesor Xander sudah selesai," ujar seorang tersebut.

Itu adalah suara yang sama dengan lelaki almamater yang membangunkan Vesta di kelas. Namun, meski suaranya familiar, Vesta tidak mengenali siapa orang tersebut. Dia semakin kebingungan, seolah-olah ingin muntah, raut wajah Vesta membiru.

[Alert! Download complete]

[Notification! First challenge: Professor Xander's cheating. Accept the challenge, yes/no. no, it means one of your friends' lives is lost]

Mendengar hal itu, pikiran Vesta semakin kalut. Sedangkan, di luar bilik, Frances terus menerus bertanya tentang keadaan Vesta. Dia benar-benar tidak bisa memilah mana langkah yang harus dia lakukan, sehingga Vesta tidak sengaja memilih 'no' untuk tantangan pertama yang diberikan oleh hologram biru.

Hening, suara Frances pun tidak terdengar. Vesta segera membuka matanya, kemudian langsung keluar dari bilik. Vesta tidak mendapati Frances di sana pun bergegas pergi dari toilet dan mencari sosok lelaki almamater tersebut.

Saat Vesta menyusuri koridor lantai bawah untuk mencari Frances, dia melihat satu kerumunan di bagian depan lobi gedung. Seseorang berteriak di antara kerumunan tersebut, "Astaga! Apa dia melompat dari lantai atas?"

Vesta bergegas mendatangi kerumunan tersebut karena penasaran.

[Alert! The process of killing one friend was successful]

[Data! Alecia012, status: died]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top