Vers 0.1 -- Ammonium Nitrate
Menghabiskan hari-hari membosankan di dalam perpustakaan sebenarnya bukan gaya hidup normal seorang Vesta. Benar, dewasa muda dua puluh dua tahun itu, biasanya berada di ruang dosen untuk sekadar mengobrol atau di sekretariatan duta kampus gedung rektorat untuk mengikuti kegiatan rutin.
Vesta, seorang mahasiswa abadi yang cukup populer di Oxfard Normal University, kampus terbaik dan tertua di negaranya. Hal yang membuat dewasa muda itu menjadi mahasiswa abadi sebenarnya bukan karena dia bermalas-malasan, tetapi dengan lantang Vesta selalu bilang, "Aku terlalu mencintai kampusku, jadi aku tidak mau lulus dengan cepat!"
Anak itu benar-benar berbeda dari mahasiswa abadi pada umumnya. Selama empat belas semester, dia isi dengan kegiatan yang benar-benar positif. Mulai dari mengikuti proyek dosen, sampai mengikuti ajang pemilihan duta kampus, hingga bahkan berpartisipasi dalam kompetisi modeling taraf nasional.
Vesta, adalah mahasiswa populer. Bahkan, kepopulerannya melampaui batas sampai target yang benar-benar tidak terduga. Vesta, tidak hanya diincar oleh para gadis, tetapi pada remaja laki-laki juga banyak yang menguntitnya. Itu menyeramkan.
"Ya, sepertinya aku sudah terlalu lama berada di perpustakaan." Vesta menatap ke arah jam tangan, "Sore ini aku harus cek progresku di lab," gumamnya.
Saat dia menoleh ke arah depan, Vesta mendapati beberapa gadis yang sedang berkerumun di meja seberang, mengobrol perlahan sambil sesekali melirik ke arahnya. Vesta sama sekali tidak keberatan dengan hal itu, bahkan, biasanya dia malah menegur sapa dengan senyuman manis yang selalu tergambar di bibir tipisnya.
Vesta bukan orang yang sombong, dia benar-benar mudah bergaul. Ketika ada seseorang yang kesulitan, selagi dia mampu membantu, jelas dia akan membantunya. Namun, meski begitu bukan berarti menjadi Vesta orang yang gampang mendapatkan teman. Vesta memiliki standar pertemanan khusus. Apalagi pacar, jangan berharap bisa mendapatkan hati bekunya. Hal inilah yang menjadikan Vesta mendapat julukan 'The Most Wanted Boys' di kampus.
Beberapa menit kemudian, Vesta menutup bukunya. Dia memijat-mijat kepalanya untuk beberapa waktu, merasakan denyutan nadi di pelipis kepalanya karena terlalu lelah. "Akan ku kembalikan kau 'Chemistry for Dummies'," ujarnya pada buku setebal lima sentimeter yang ada di hadapannya.
Vesta beranjak dari duduknya, melakukan sedikit peregangan, kemudian berjalan dengan santai menuju rak buku yang sudah dia ketahui. Vesta, merupakan mahasiswa program studi kimia murni, pilihannya tersebut adalah berdasarkan keinginannya untuk menjadi ahli kimia di masa depan.
Saat tangan ramping dengan corak nadi yang menonjol itu menyelipkan buku di sela-sela rak, seseorang dengan riang memanggilnya, "Vesta!"
"Hey, Alexa! Sedang apa kau di sini?" Tatapan Vesta cukup tajam ketika melihat gadis tersebut.
"Tidak lain dan tidak bukan, tentu, aku sedang mencari buku." Alexa berjalan melewati Vesta dan berhenti sejenak dengan pandangan yang mengedar seolah-olah mencari sesuatu. "Apa kau tidak ke lab?"
"Yah, selesai ini, aku pergi ke sana," ujar Vesta seraya mengusap kedua telapak tangannya. "Lalu, kenapa kau ke sini sore-sore?" sambungnya.
"Aku baru mendapat waktu sore ini." Alexa berjinjit dan mencoba meraih buku yang letaknya di paling atas rak.
Melihat temannya itu kesulitan, Vesta dengan mudah menolong Alexa. Dia mengambil buku yang dimaksud oleh Alexa kemudian bertanya, "Kau tidak berniat untuk menjadi sedikit lebih tinggi lagi?"
"Sial." Keduanya pun tertawa.
Alexa, adalah seorang gadis yang cukup terkenal di kampus. Sama seperti Vesta, dia juga merupakan bagian dari paguyuban duta kampus Oxfard Normal University. Beberapa menganggap kalau Alexa sedang menjalin hubungan spesial dengan Vesta. Namun jelas, hal itu hanyalah asumsi orang-orang semata.
Vesta dan Alexa terkumpul di program studi yang sama, tetapi Alexa ini bukanlah mahasiswa abadi. Dia merupakan adik tingkat Vesta, tepat dua tingkat di bawahnya. Vesta melihat dari dalam diri Alexa terbesit satu potensi yang bisa dikembangkan, maka itu, Vesta-lah yang mengajak Alexa untuk bergabung menjadi bagian dari duta kampus. Dan, ya, Alexa lolos.
Selesai berbincang singkat dengan Alexa, lelaki ramping itu pun segera pergi meninggalkan perpustakaan. Setelah kartu absen perpustakaan dia tempelkan di mesin absensi, dia langsung berjalan dengan langkah ringan.
Saat sampai di depan lift, Vesta menunggu untuk beberapa saat. Dia mengedarkan pandangannya sampai akhirnya satu duduk fokusnya hinggap di sebuah bangunan lama yang letaknya tidak jauh dari gedung perpustakaan. Vesta mengernyitkan dahinya sebelum akhirnya pintu lift terbuka. Dia pun segera masuk.
Di dalam lift terdapat cukup banyak orang. Beberapa diantaranya Vesta yakini kenal dengan dirinya. Hal itu ditandakan dengan disapanya Vesta oleh orang-orang tersebut. Vesta yang ramah pun tak ayal membalas sapaannya.
Aku masih penasaran, kenapa gedung tersebut bisa runtuh, hangus terbakar, ya? Dan kenapa tidak diratakan saja.
Pikiran Vesta selalu berkutat di seputaran pertanyaan yang menggumpal di benaknya. Setiap melihat ke arah gedung hancur tersebut, rasa penasaran Vesta selalu memuncak.
Lift berdenting sekali ketika akhirnya mencapai lantai dasar. Vesta kemudian melanjutkan langkahnya menuju sebuah gedung berbentuk gelas piala yang tidak jauh dari hadapannya. Vesta hanya sendiri, meski dia terbilang memiliki cukup banyak teman, tetapi sebenarnya Vesta menyukai momen di mana dia sendiri.
Sambil berjalan dengan gontaian kaki yang cukup cepat, Vesta masih suka sesekali menoleh ke arah reruntuhan bangunan gosong yang kini letaknya semakin jauh dengan dirinya. Selama tujuh tahun di kampus, Vesta belum pernah berkesempatan untuk pergi mendekati bangunan tersebut. Namun, apa pentingnya itu? Tidak ada. Lagipula, Vesta bukanlah ahli konstruksi.
Sesampainya di depan lab kimia murni, Vesta langsung mengambil sebuah kartu izin lembur di lab. "Hari ini sepertinya aku akan tidur di tempat horor ini." Vesta mendekati sebuah mesin finger print, kemudian meletakkan jari ibunya dan memposisikan diri di hadapan kamera kecil.
Akses yang cukup sulit untuk sekadar masuk ke bagian lobi dalam lab kimia murni. Oxfard Normal University menjadi satu-satunya kampus yang memiliki fasilitas laboratorium kimia terlengkap di seluruh penjuru negeri. Jadi, tidak sembarang orang yang bisa masuk ke dalam laboratoriumnya. Vesta, adalah orang yang paling sering berada di laboratorium. Tujuh tahun!
Suasana lobi laboratorium sangatlah dingin, dengan tembok berlapis kaca, dan beberapa terlihat mengkilap seperti stainless steel, memberikan kesan laboratorium ini sangat higenis. Meski sudah sering datang ke lab tersebut, Vesta tidak pernah tidak terpana saat melihat kecanggihan laboratorium milik program studinya itu.
Di bagian depan ujung setelah pintu masuk berjajar sebuah lift yang memiliki label masing-masing. Vesta sudah hafal dengan label yang tertera di sana, tetapi jika orang awam atau mahasiswa baru, pasti memerlukan waktu yang lama untuk mendapatkan lift yang hendak dituju.
Vesta masuk ke lift sendirian. Benar, sejak pertama dia menempelkan finger print sampai di dalam lobi laboratorium, Vesta tinggal seorang diri. Satpam dan janitor bertugas tidak sesering yang dibayangkan untuk berpatroli. Mereka memiliki jam-jam khusus. Namun, itu semua tidak masalah bagi Vesta. Dia tidak takut apa-apa, selain ketakutannya tidak bisa menyelesaikan skripsi di semester ini.
Meski Vesta adalah orang baik, dia tetap mendapat ancaman dari dekan program studi. Bahwasanya, jika Vesta tidak menyelesaikan skripsinya di semester ini, dia jelas akan di drop out. Karena batas tempuh maksimal studi mahasiswa Oxfard Normal University adalah empat belas semester, apabila lebih dari itu berarti mahasiswa dianggap tidak mampu menyelesaikan studinya.
Di hadapan sebuah pintu berwarna abu-abu, Vesta tidak banyak berpikir. Dia langsung membuka pintu tersebut, setelah sekali lagi menggunakan finger print-nya, dan menyalakan lampu ruangan.
Mata Vesta langsung tertuju ke sebuah rangkaian gelas kimia familiar. "Lho, kenapa ini berubah menjadi warna merah bata?" ujarnya seraya menyimpan tas jinjing miliknya dengan sembarang.
Langkah Vesta sangat cepat, dia benar-benar panik saat itu. Dia menghampiri proyek penelitian miliknya yang tertata rapi di sebuah meja panjang. Terdapat tulisan penanda bertajuk 'Vesta Harrison Super Handsome' pada sebuah kertas yang semula tertempel di ujung mulut labu ukur besar. Kini kertas tersebut sudah dilepaskan oleh Vesta.
"Indikator PP sialan, tidak mungkin aku mengulang percobaan yang ke sepuluh kali, kan?" Vesta yang sudah tahu di mana akar permasalahannya pun uring-uringan.
Titrasi adalah satu skill yang masih Vesta raba-raba, dia benar-benar kesulitan melakukan metode tersebut. Tidak bodoh, Vesta hanya sering ceroboh. Dan kini, dia ceroboh untuk yang ke sepuluh kali. Mungkin, ini saatnya untuk menyebut Vesta bodoh.
Vesta berjalan menuju lemari penyimpanan bahan-bahan kimia miliknya. Seolah-olah melakukan beberapa hal secara multi tasking, Vesta sambil mengenakan sarung tangan lateksnya pun hampir menumpahkan satu botol berisikan padatan kristal putih yang disebut sebagai amonium nitrat.
"Hampir saja!" Tangan kiri Vesta langsung meraih botol tersebut sebelum mendarat ke sebuah kuali besi penghantar panas untuk penyimpanan residu bahan kimia. "Meledak sudah kalau benda ini tersambar api. Lagipula, sejak kapan ak—,"
Belum selesai Vesta mengatakan kalimat tersebut, sebuah api tiba-tiba berkobar dari bawah kuali besar tadi. Seolah-olah api itu mengejar sebuah botol yang sedang Vesta genggam. Lumatan reaksi kimia yang mengeluarkan panas itu tidak terelakkan. Hingga akhirnya menyentuh kulit dan membakar sarung tangan yang dikenakan oleh Vesta, lelaki itu pun menjerit.
Botol hitam berisikan amonium nitrat itu terbanting dengan keras sejauh satu meter di hadapan Vesta. Pecah dan membuat padatan kristal putih tersebut berserakan. Api yang kini sudah berkobar dengan cepat, langsung melahap amonium nitrat sebanyak lima ratus gram tersebut.
Tidak sempat Vesta meminta tolong dan melarikan diri, dia sudah terpental ke sudut ruangan dengan keras, bersama kuali panas berisikan residu bahan kimia yang mengguyur dirinya. Dalam hitungan se per sekian detik saja, dentuman keras terdengar seiring hancurnya laboratorium kimia murni berbentuk gelas piala tersebut.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top