Chapter 7

Langkah kaki Vanila di lobi kantor membuatnya seolah-olah menjadi seorang profesional dengan perasaan yang berantakan di dalam. Suasana kantor masih belum ramai, dengan jelas Vanila datang terlalu pagi. Gadis itu beberapa kali tersenyum pada staff yang sedang bertugas di pagi hari.

Vanila mengedarkan pandangan mencari-cari seseorang yang tidak kunjung dia temukan. Karena itu, Vanila memutuskan untuk memanjakan diri dengan sarapan ringan, duduk di salah satu sudut nyaman, dan memesan menu favoritnya untuk memulai hari yang masih penuh dengan ketidakpastian.

Hampir Vanila menghabisakan satu potong rotinya, sosok ceria berkepribadian hangat, Lia, muncul dengan langkah gemulai. Senyuman di wajahnya seolah-olah membawa keceriaan pagi yang mulai beranjak terang. Vanila memandang temannya itu dengan singkat. Ya, Lia adalah orang yang sejak tadi dia cari-cari.

"Hai, princess Vanila!" teriaknya dari kejauhan, Lia berjalan mendekat.

"Hmmm, aman, Li. Kamu?" ujar Vanila seraya mengunyah potongan roti lainnya.

Percakapan antara Vanila dan Lia diisi oleh obrolan ringan tentang kehidupan sehari-hari. Vanila beberapa kali bertanya pada Lia terkait kejadian di kantor selama dirinya koma. Suasana hangat tercipta di antara keduanya, dan meski senyuman Lia mampu menyinari pagi Vanila, ada sesuatu yang lebih dalam mengganggu pikiran gadis itu.

Di balik senyumannya, Vanila merasa ada pertanyaan yang memerlukan jawaban, sebuah rahasia yang perlu diungkap. Meski Vanila sendiri sudah berusaha keras melupakan lelaki tunangannya itu, tetapi rasa penasarannya tidak berhenti menghantui.

Hingga akhirnya, tanpa peringatan, kata-kata terlepas dari bibir Vanila. "Eh, Li, maaf kalau agak out of the blue, tapi ... bagaimana kabar Hans? Kamu tahu soal dia?"

Suara Vanila seperti denyut jantung yang mendesak, memecah keheningan kantin. Lia, yang tengah menikmati camilannya juga, tiba-tiba membeku. Ekspresinya berubah menjadi padu rasa keterkejutan dan ketidaknyamanan. Vanila, yang melihat reaksi tersebut, merasa seolah-olah telah membuka pintu menuju dunia yang belum dijelajahi.

"Hans? Oh, dia ... ehm, dia ... aku tidak terlalu tahu soal kabar dia, Van." Lia melanjutkan menggigit rotinya.

Vanila, yang tidak bisa mengabaikan getaran ketidakpastian dari suara Lia, merasa hatinya semakin resah. "Kamu yakin, Li?"

Lia mencoba tersneyum, tetapi rahasia yang tersembunyi dalam matanya memberikan kejelasan bahwa ada lebih banyak yang tidak diketahui. "Vanila, sudahlah. Lebih baik lupakan lelaki itu, dia bukan yang terbaik untukmu."

Tetapi, tanpa Vanila sadari, di balik senyum dan kata-kata itu, Lia berusaha menyembunyikan kebenaran yang pahit. Dia menutupi kenyataan bahwa Hans telah meninggalkan Vanila untuk wanita lain, atau sesuatu hal lainnya. Sebuah rahasia yang seolah-olah dijaga ketat agar hati Vanila tidak terluka lebih mendalam.

Meski masih merasakan ketiaknyamanan, Vanila memilih untuk tidak mengejar lebih jauh. Dan namun, meski rasa ingin tahu Vanila belum terpenuhi, dia memahami bahwa ada hal-hal yang terlalu sulit untuk diungkapkan. Hening kembali menyelimuti kantin kantor, tetapi di dalam hati Vanila, ada getaran aneh yang merayapi. Tahapan baru dalam perjalanan hidup Vanila kini terbentang, menantang untuk dijelajahi.

Vanila memandang sahabatnya itu dengan intens, mata mereka saling berbicara dalam keheningan. Wajah Vanila mencerminkan ketidakyakinan terhadap jawaban yang diberikan Lia. Namun, menghargai batasan-batasan privasi dan mungkin juga menyadari kompleksitas kisah di baliknya, Vanila memilih untuk tidak mengejar lebih jauh.

Percakapan keduanya pun berlanjut, menelusuri berbagai topik yang membawa atmosfer hangat di antara Vanila dan Lia. Meski terbesit rasa ketidakpuasan di benak Vanila terkait kabar Hans, dia memilih untuk menyimpan di dalam kotak rahasia hatinya.

Hingga akhirnya, dengan tanda berakhirnya perbincangan, mereka memutuskan untuk memasuki ruang kantor. Pintu kaca meluncur terbuka, membawa keduanya ke dalam dunia pekerjaan yang biasa. Namun, di balik setiap langkah menuju meja masing-masing, pikiran Vanila masih melayang pada pertanyaan tidak terjawab.

Di dalam ruang kantor yang nyaman, suara ketikan keyboard menciptakan irama rutinitas kerja. Vanila, sambil melihat ke luar jendela, masih terombang-ambing dalam misteri yang menyelimuti kabar Hans. Meski pikirannya terbagi antara pekerjaan dan keingintahuannya, Vanila memilih untuk fokus pada tugas yang ada di depan.

Sejenak, suasana menjadi seperti tarian yang koordinatif, tetapi di dalam hati Vanila, gelombang pertanyaan tidak kunjung surut. Saat berhadapan dengan layar komputernya, dia mencoba menyingkirkan keraguan. Namun, tidak bisa dipungkiri, ketidakpuasan itu seperti bayangan yang menempel, mengiringi setiap langkahnya dalam ruang kerja.

Seiring dengan berjalannya waktu, Vanila berusaha menciptakan keseimbangan antara tugas-tugas profesional dan keingintahuan yang personal. Namun, tidak bisa disembunyikan, mata Vanila seringkali terlarut dalam lamunan yang membawanya ke pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab.

Tanpa aba-aba, Vanila mendekati Lia dengan langkah-langkah mantap di tengah kesibukan kantor yang berderap. Seakan dunia di sekitarnya mereda sejenak, fokus Vanila tertuju pada wajah Lia.

Dengan intensitas di mata, Vanila menyampaikan sebuah permintaan dengan suara yang bergetar dari ketegangan batin. "Lia, maaf kalau aku terdengar terlalu keras kepala. Tapi, bisakah kau temaniku datang ke rumah keluarga Hans? Ada sesuatu yang ingin kulihat atau kuketahui."

Keseriusan gadis itu terpancar dari setiap kata yang dicapkan. Lia, yang biasanya ramah dan penuh semangat, merasakan urgensi dalam permintaan Vanila. Dia menangkap gelombang emosi yang melanda diri sahabatnya, dan itu membuat Lia merasa semakin bertanggung jawab untuk membantu.

"Oh? Tentu. Aku akan menemanimu. Apa yang ingin kamu cari di sana?" Lia mencoba tersenyum pada Vanila.

Vanila hanya mengangguk, memilih untuk menyimpan rincian lebih lanjut di dalam diri. Ekspresinya memberikan petunjuk pada beban emosional yang dibawa, seolah-olah sebuah teka-teki besar yang hanya bisa dia selesaikan dengan kehadiran di tempat kejadian. Pertemuan mereka setelah jam kerja tampaknya akan menjadi bab baru dalam kisah pencarian kebenaran yang tengah Vanila jalani.

Seiring jam kerja berjalan menuju akhirnya, atmosfer kantor berubah. Langit senja di luar jendela memberikan latar belakang dramatis untuk keputusan Lia dan Vanila untuk memulai perjalanan. Ruang kantor yang sebelumnya penuh dengan suara kini menjadi saksi bisu dari detik-detik penting yang tengah berlangsung.

Ketika Lia dan Vanila meninggalkan kantor, langkah-langkah mereka seakan-akan menyusuri koridor-koridor misterius menuju kebenaran yang belum terungkap.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top