Chapter 4

Sepekan telah berlalu hingga akhirnya Vanila diizinkan pulang oleh dokter. Kembali ke rumah yang seharusnya membawa kedamaian, tetapi hatinya semakin terkoyak oleh kehilangan mendalam.

Hans, selama ini Vanila anggap sebagai sosok setia yang menunggu hingga dia bangun dari koma, tiba-tiba mengkhianatinya. Meski kesedihan melanda, rasa penasaran Vanila semakin memuncak. Apa yang sebenarnya sedang terjadi?

Vanila, didampingi oleh ibu dan ayahnya pun tiba di rumah. Setiap langkah di tanah halaman terasa seperti menyisakan bekas luka. Rasanya dia ingin segera pergi ke kamarnya, dia ingin setidaknya melihat wajah Hans yang masih bisa dipeluk dengan nahas.

Namun, saat Vanila masuk ke kamar, suasana sudah berbeda. Foto-foto indah bersama Hans yang sebelumnya menghiasi dinding dan laci kini telah lenyap, meninggalkan kekosongan yang menyakitkan. Bahkan, dia tidak melihat satu hal pun yang menggambarkan kenangannya dengan Hans. Boneka pemberian, sampai surat-surat penuh kata manis yang selalu Hans berikan untuknya setiap bulan, ikut lenyap.

Wah, Vanila yakin ini ada yang tidak beres.

Tanpa berkata sepatah kata pun, Vanila langsung keluar dan menyampaikan pertanyaan konfrontasi pada kedua orang tuanya yang masih sibuk menurunkan barang-barang dari mobil.

"Kemana semua foto itu?" tanya Vanila dengan raut wajah penuh keraguan, berusaha untuk tidak emosi saat mengatakannya.

Ibu dan ayah Vanila, dengan tatapan yang bingung, berusaha memberikan alasan bahwa mereka sengaja menyimpan foto-foto tersebut di gudang, berharap Vanila bisa lebih cepat melupakan Hans. Jelas alasan itu justru memicu kemarahan gadis dua puluh tahun tersebut. Vanila tidak terima, lagi-lagi keputusan sepihak selalu diputuskan tanpa persetujuannya.

"Mama sama papa merasa bisa menyembunyikan kenangan tujuh tahun Vanila dan Hans, dengan menyimpan semuanya di gudang?" ucap Vanila dengan nada tajam. "Apa yang sebenarnya terjadi, Ma? Sampai segitunya. Vanila tidak habis pikir."

Ibu dan ayah hanya bisa saling pandang, seolah-olah tidak tahu apa yang seharusnya diucapkan. Mereka terpaku menatap Vanila yang mukanya mulai memerah. Vanila murka karena tindakan kedua orang tuanya itu. Dia menganggap ini semacam kesengajaan yang sudah menjadi skenario utuh untuk dirinya.

Tanpa pikir panjang, Vanila kemudian dengan cepat menuju gudang di lantai dua rumahnya. Hentakkan kaki gadis itu membuat suasana rumah menjadi tegang. Bagaimana tidak? Semua hal yang Vanila dapatkan sejak dia siuman hanya perlakuan seolah-olah dia sudah mati.

Aku tahu, ada yang disembunyikan mama dan papa dariku. Tidak biasanya mereka begini.

Rasa penasarannya yang menggelayut semakin tidak tertahankan. Di gudang, setiap langkahnya bagai detik-detik penjelasan yang tidak terelakkan.

Ketika dia membuka pintu gudang dengan keras, atmosfer yang tegang semakin terasa. Di dalamnya, tanpa membutuhkan waktu yang lama, kardus besar di pojok ruangan menarik perhatian. Vanila berjalan melewati beberapa barang-barang rongsok lainnya setelah menyalakan lampu gudang. Ruangannya sudah sangat berdebu, menandakan gudang tersebut sudah lama tidak didatangi.

Vanila baru menyadari juga pada saat itu. Kalau begitu, berarti kejadian penyimpanan barang kenangan Vanila dengan Hans sudah dilakukan sejak lama.

Satu fakta akhirnya Vanila dapatkan. Lihat saja, dia akan menguak semuanya, jika mama dan papa tidak mau memberi tahuku hal yang sebenarnya.

Sampai akhirnya Vanila di depan kotak kardus tersebut. Dia melihat debu sudah menghiasi bagian luar kotak yang tersimpan di atas meja tersebut. Sebenarnya, dadanya sudah sesak sebelum dia membukanya. Sesak bukan hanya karena suasana gudang yang pengap dan berdebu, melainkan sesak karena di hadapannya, memorinya dengan Hans.

Dia membuka benda menyakitkan itu dengan perlahan. Di bagian atas, mata Vanila langsung diperlihatkan oleh tumpukan cinta yang dulu penuh kasih, kini berceceran di antara kenangan yang terlipat rapi. Ada juga cincin kecil dan selembar foto mereka yang tersimpan seolah-olah ditata.

Semua ini, bukan hanya menyentuh luka yang sudah terbuka, tetapi juga membawa gelombang baru pertanyaan dan ketidakpastian. Dalam kesunyian gudang, Vanila merenung pada setiap detail, mencoba menyusun kembali potongan-potongan kenangan yang hancur.

Vanila tahu kalau sang ibu sudah ada di belakang, mengikuti dirinya sejak awal dia pergi ke gudang ini. "Sudah seharusnya kalian berterus terang pada Vanila," ucapnya, wajahnya mencerminkan kekecewaan. "Mengapa semuanya disembunyikan?"

Ibu mencoba meraih tangannya dengan lembut. "Vanila, Sayang, kami hanya ingin yang terbaik untukmu."

"Terbaik bagi Vanila adalah tahu kebenaran, Ma!" sahutnya tegas.

Dengan ketegangan yang melingkupi ruangan, suasana semakin mencekam. Sorotan lampu gudang remang, menyinari setiap ekspresi wajah yang terpampang di antara mereka. Vanila menatap sang ibu dengan mata yang penuh keputusasaan, mencari jawaban yang seolah-olah tenggelam dalam rahasia.

Inilah momen kebenaran yang begitu sulit dihadapi, dan Vanila siap untuk mengungkapnya meski itu berarti merobek lembaran-lembaran terakhir dari hubungan yang telah hancur. Sudah terlanjur!

Di dalam kotak itu, di balik kebahagiaan yang tergambar, Vanila merasa ada yang aneh. Seolah-olah ada sesuatu yang berlindung di balik semua itu. Vanila meraba-raba lebih dalam, mencari jawaban dari pertanyaan yang semakin melekat dalam pikirannya. Apa yang sebenarnya terjadi dengan Hans?

Malam pun menyelinap perlahan saat dia masih berdiri di hadapan kotak kenangan di gudang yang penuh misteri untuk waktu yang cukup lama. Hembusan angin seakan-akan membisikkan ketidakpastian pada Vanila.

Saat ayah ikut datang dan berdiri di samping ibu, Vanila mendesak, "Ma, Pa, bicaralah."

Vanila berbalik, matanya mencari jawaban dalam kegelapan gudang yang menyimpan rahasia tidak terungkap, menatap kedua orang tuanya yang masih diam seribu bahasa. Suara langkah-langkah kecil tikus di pojok gudang seolah ikut menyaksikan ketegangan yang melingkupi dirinya.

Ibu dan ayah, seolah bersiap mengungkap sesuatu yang selama ini mereka sembunyikan. Suara gemeretak kayu mengiringi momen yang penuh teka-teki. "Vanila," kata Mama dengan suara lembut, langkahnya mendekat ke arahnya, "Kami tahu ini sulit bagimu. Kami hanya ingin melindungi Vanila—,"

"Sulit? Mama pikir menyembunyikan kebenaran adalah cara terbaik untuk melindungi Vanila?" sahutnya dengan nada penuh kepahitan memotong pembicaraan ibu. Mendengar itu, sang ibu pun menghentikan langkahnya.

Ayah menarik nafas dalam-dalam sebelum menjawab, "Hans meninggalkan Vanila karena tekanan dari keluarganya. Mereka sudah menjodohkannya dengan orang lain sebelum Vanila masuk koma. Hans menolak, tetapi pada akhirnya, dia tidak bisa menahan tekanan dan menikahi wanita yang sudah dijodohkan padanya."

Kalimat tersebut tidak hanya sekali atau dua kali dilontarkan oleh sang ayah sejak Vanila masih di rumah sakit. Vanila terdiam seraya mencerna karena mendapati pernyataan konsisten dari ayah. Selama ini, Hans dan keluarganya selalu terlihat baik padanya, tapi kini dia mulai menyadari ada lapisan kebenaran yang terus ditutupi.

Ibu menambahkan, "Kami ingin melindungi Vanila dari rasa sakit dan beban pikiran yang bisa mempengaruhi proses pemulihan. Itulah sebabnya kami menyembunyikan foto-foto itu, kenangan-kenangan itu. Tidak ada maksud lain, ini murni hanya untuk kesembuhan Vanila."

Walau mendengar penjelasan keduanya, Vanila masih merasa terombang-ambing antara kesedihan dan kekecewaan. Namun, di balik itu semua, semangat untuk mencari kebenaran semakin membara dalam dirinya.

Langit di luar gudang mulai terlihat gelap, mencerminkan kebingungan dan kekhawatiran dalam hatinya. Semuanya terasa dramatis, seperti panggung gelap yang menyaksikan ketidakpastian hidupnya. Vanila menghadapi pilihan sulit. Menerima kebenaran yang pahit atau terus hidup dalam ilusi yang hancur.

Tuhan, kalau Vanila tahu akan sesukar ini, lebih baik kemarin Vanila mati saja, batinnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top