Chapter 3

Momen penuh kekhawatiran mencapai puncak, saat Vanila merasa tidak bisa lagi menahan pertanyaan yang menggelora dalam dirinya. Vanila, yang melihat kedua orang tuanya hanya diam seolah-olah tidak mendengarnya pun merasa makin penasaran. Dengan getaran keberaniannya, dia memutuskan untuk menghadapi kenyataan.

"Vanila belum lihat wajah Hans, ke mana dia, Ma?" Suara rendahnya memecah keheningan ruangan perawatan.

Wajah ibu dan ayah berubah serius, seolah-olah mereka bisa merasakan kegelisahan yang merayap di dalam diri Vanila. Keduanya menatap Vanila dengan tatapan penuh makna, seakan-akan menangkap angin dingin ketidakpastian yang melayang di sekitar mereka. Vanila merasakan getaran kekhawatiran dan kebingungan yang menciptakan ketegangan di udara.

Tiba-tiba, ibu memeluk dengan erat. Vanila yang masih belum mendapatkan jawaban, seiring dia bertanya lagi dan lagi, merasakan kehangatan tubuh sang ibu yang mencoba memberikan dukungan, sekaligus menandakan sesuatu yang kelam.

Sang ayah, dengan suara berat, mengungkapkan, "Dia meninggalkanmu." Vanila, terhanyut dalam momen ketidakpastian, merasakan kehancuran dunianya.

Ibu memeluk erat, mencoba memberikan dukungan. "Ada apa, Ma? Pa?" Vanila menjerit saat ayahnya menjelaskan, dan tangisnya menciptakan harmoni patah hati. Atmosfer ruang perawatan yang seharusnya penuh harapan kini dipenuhi ketidakpastian dan kesedihan.

Vanila, di pelukan ibu, mengalami pergulatan batin. Ayahnya mencoba memberi dukungan, tapi Vanila terhanyut dalam gejolak emosional. Suara ibu dan ayahnya membentuk lapisan kepedihan di hatinya.

Di tengah kebahagiaan yang baru lahir, tumbuh pula keharuan yang mengiringi setiap rintihan kepedihan yang baru saja menghampirinya. Dan di dalam ruangan medis yang seharusnya menjadi tempat penyembuhan, Vanila merasakan kekuatan dan kelemahan yang tumbuh secara bersamaan di dalam dirinya.

Sebuah pertempuran antara terang dan gelap, di mana setiap detak jantung dan setiap isak tangis menciptakan koreografi dramatis dari sebuah perjalanan hidup yang tak terduga.

"Hans tidak mungkin meninggalkan Vanila, Ma? Pa? Tidak mungkin!" desisnya dengan nada keputusasaan yang menyentuh hati.

Vanila masih terbaring di ranjang putih, tidak berdaya di bawah cahaya steril ruangan medis yang menyorot setiap kelemahan tubuhnya. Pandangannya terhanyut dalam keheningan, melibatkan diri dalam medan perang emosi tidak terucapkan. Air matanya yang telah surut hanya meninggalkan bayangan kesedihan di mata yang dulu berkilau kemerahan. Hampa. Itulah kata yang menggambarkan dirinya.

Ibu dan ayahnya terlihat kehilangan arah, dan Vanila mencoba mencari kekuatan di tengah kelemahannya. Vanila mampu merasakan betapa sulitnya mereka mencari kata-kata yang sesuai, di tengah kekosongan yang menghantui. Keputusasaan menyelinap di antara celah hati mereka yang tak tertutup.

Dalam upayanya mencari keberanian di tengah kelemahan, Vanila memfokuskan perhatiannya pada setiap detail di sekelilingnya. Dia berharap ada petunjuk, jawaban yang tersembunyi, atau keajaiban yang mungkin menanti untuk ditemukan. Kemudian, di keheningan yang mengepung, Vanila mencoba membaca bahasa tatapan kedua orang tuanya, mencari pemahaman yang bisa membimbingnya melewati labirin emosional yang kian kompleks.

Vanila, mencari jawaban dengan menghentikan keheningan, "Bagaimana bisa Hans tega meninggalkan Vanila, Ma? Pa?"

Vanila memandang ibu dan ayahnya yang terdiam. Suasana menjadi berat, memberi tanda bahwa saat-saat sulit telah tiba di antara mereka.

Dengan suara lembut yang bergetar, ibu mengambil tangan Vanila yang tergeletak di atas selimut. "Vanila, Sayang. Keluarga Hans tidak menyetujui pernikahan kalian. Mereka khawatir bahwa Hans akan terjerumus ke dalam tanggung jawab yang besar, terutama saat kondisimu sedang memburuk."

Perkataan ibu terputus, seolah-olah dia berusaha memilih kata-kata dengan hati-hati. "Dan, sebelumnya, mereka bahkan sudah menjodohkan Hans dengan orang lain," tambahnya.

Vanila terkejut, tidak pernah membayangkan bahwa ibu akan mengungkapkan hal seperti itu. "T-tapi, Ma, Pa, keluarga Hans selalu baik pada Vanila. Hubungan Vanila dengan Hans sudah berlangsung tujuh tahun sedari sekolah menengah. Vanila juga tahu kalau ibu dan ayah Hans mendukung kami."

Mata ayah berkaca-kaca setelah mendengar pembelaan Vanila. "Nak, itu mungkin yang kalian rasakan selama ini. Namun, sebenarnya, keluarga Hans telah merencanakan pernikahan untuknya sejak lama. Kamu tahu sendiri kalau Hans bahkan menolak perjodohan itu demi memilih kamu. Itulah sebabnya dia pergi dari keluarganya dan langsung bertunangan denganmu."

Setiap kata yang diucapkan seolah-olah menghantam hati Vanila. Memahami bahwa selama ini dia hanya melihat satu sisi cerita, dunianya terasa runtuh.

"Tapi, Pa, Ma, kenapa mereka tidak memberitahu Vanila dari sebelumnya? Kenapa mereka merencanakan semuanya tanpa memberitahu Vanila? Vanila berhak ikut andil dalam memutuskan keputusan ini, kan? Tidak sepihak!" Pikirannya menjadi kusut oleh pertanyaan yang tidak terjawab.

Ibu menjawab, "Mereka khawatir hal itu akan membuatmu semakin sulit untuk sembuh, Sayang. Mereka ingin memastikan fokusmu hanya pada pemulihan, tanpa harus merasakan beban perasaan."

"Dengan meninggalkan Vanila saat Vanila koma?" Emosinya memuncak, kepalanya terasa sakit.

"Kami paham, Sayang. Kami paham." Vanila merasakan tangan ibu mengelus buku-buku jarinya dengan lembut.

Ayah menambahkan, "Kami sadar bahwa keputusan ini tidak adil bagimu. Tetapi, Hans dan keluarganya juga dalam situasi sulit. Mereka memilih jalan yang sulit untuk memenuhi harapan keluarga mereka."

Sesak dalam dada terus menggelayut, menciptakan kekacauan emosional yang sulit dijelaskan. Vanila merintih dalam isak tangis, entahkah itu tangisan kesedihan, kekecewaan, atau rasa tidak berdaya.

Vanila merasa terhanyut dalam lautan pertanyaan tanpa jawaban yang pasti. Dia ingin mengerti, tetapi makin berusaha, makin dalam pula dia terjerumus ke labirin ketidakpastian. Vanila hanya bisa terdiam, meresapi informasi yang baru saja didengar. Kebingungan dan kecewa melingkupi pikirannya, energinya terkuras habis karena memikirkannya.

Namun, di balik kekecewaan, ada juga rasa ingin tahu yang membara. Vanila ingin tahu apa lagi yang disembunyikan dari pandangannya saat ini.

Jam makan malam tiba dengan langit-langit yang tetap netral di atas. Namun, hidangan-hidangan yang diatur rapi tidak mampu mengalihkan perhatian Vanila dari pertanyaan-pertanyaan yang terus berputar di benaknya. Vanila duduk bersandar di atas kasur medis, tatapannya kosong merayap di atas selimut. Lidahnya terasa kelu, seolah-olah tidak sanggup merasakan kenikmatan dari hidangan di hadapannya.

Dalam keheningan yang menyiksa, aroma makanan tercium samar-samar. Hidangan yang seharusnya mengundang selera, kini terasa hambar, bagai perwujudan dari rasa hampa yang menghantui pikirannya.

Ibu dan ayah masih duduk di samping ranjang Vanila, mata mereka mencerminkan kegelisahan yang sama. Mereka mencoba tersenyum, tetapi senyum itu terasa lebih seperti upaya terakhir untuk menghalangi air mata yang ingin tumpah.

Dengan lesu, Vanila mencoba memutarkan sudut pandangnya pada posisi ibu dan ayah. "Ma, Pa, apakah ini benar-benar yang terbaik untuk Vanila? Apakah Hans benar-benar meninggalkan Vanila, atau ada yang disembunyikan?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top