Chapter 1
Aku bahkan tidak menyangka hari ini tiba.
~ Vanila Rossa Meilia ~
-ooo-
Aroma obat mulai terasa semerbak menusuk hidung Vanila, seolah-olah gadis dua puluh tahun itu baru saja tahu bagaimana caranya membau setelah beberapa bulan. Bebauan tersebut menciptakan suasana khas ruangan yang begitu akrab untuknya. Ya, Vanila sedang berada di ruang medis.
Vanila terbangun dengan mata yang tidak bisa langsung sepenuhnya terbuka lebar. Sebelum tatap Vanila akhirnya jatuh duduk ke arah jendela dengan hantaman terik matahari sore di balik tirai putih transparan, Vanila mengedarkan padangannya ke arah kabel-kabel mengerikan yang tertempel di sekujur tubuhnya.
Duh, rasanya pusing, gumam gadis itu seraya kembali memejamkan matanya.
Suara-suara di sekitar terkesan seperti pintu gerbang menuju kesadarannya. Mulai dari gemericik samar-samar, hingga bertransformasi menjadi simfoni kehidupan yang membangunkannya. Vanila seolah-olah bangun dari tidur panjang yang nyenyak, di mana setiap serat tubuhnya mengucapkan selamat tinggal pada koma yang telah menggelayutinya selama dua bulan.
Vanila bisa merasakan denyut nadi kehidupan yang kembali memenuhi tubuhnya, memberikan kembali rasa hidup yang seakan-akan telah terlelap begitu lama. Di antara riuh rendah peralatan medis dan detak jantungnya yang semakin menguat, Vanila merasakan keajaiban pemulihan yang menyapu dirinya.
Ketika Vanila mencoba membuka lagi matanya, dia mendapati dirinya terbaring di ranjang putih bersih. Cahaya sinar senja kemerahan memantulkan keindahannya di sepanjang lantai yang masih mengkilap, menciptakan atmosfer ketenangan penyembuhan.
"Ma ...." Kata pertama yang keluar daru mulut Vanila terdengar parau, bahkan sang ibu yang masih menunduk tidur di sampingnya tidak terusik.
Namun, saat Vanila menggerakkan sedikit jarinya yang terasa kaku, sang ibu mulai tersadar. Vanila menyadari ketika kedua matanya bertemu tatap dengan mata sang ibu yang terpancar penuh kebahagiaan.
"Vanila, oh Tuhan, kamu siuman!" Vanila baru mendengar kembali suara ibunya setelah sekian lama.
Pelukan hangat ibu mendekap Vanila dengan erat, seakan-akan merangkul seluruh perjalanan panjang penyembuhan yang telah ditempuhnya. Sentuhan lembut itu adalah ekspresi cinta dan kelegaan yang tidak terucapkan dengan kata-kata biasa. Vanila merasakan getaran kebahagiaan yang terpancar dari pelukan itu, seolah-olah dia bukan hanya kembali ke dunia nyata, tetapi juga ke pangkuan kasih sayang yang tidak pernah padam.
"Pa, Vanila sadar, Pa!" teriak ibu memanggil sang ayah yang ternyata menunggu di luar ruangan.
Ayah tidak langsung masuk dan memeluk Vanila, pria itu berlari dengan hentakan yang terburu-buru mencari perawat untuk memberikan konfirmasi kesadaran Vanila. Berita baik ini menjadi awal kebahagiaan dari keluarga kecil Vanila yang telah menunggu hari-hari ini tiba.
Vanila, memiliki riwayat penyakit autoimun, sehingga membuat dirinya sering drop. Namun, kejadian dua bulan lalu membuat Vanila benar-benar tumbang dan tidak sadarkan diri. Vanila didiagonsa mengidap meningitis atau radang selaput otak akibat infeksi bakteri.
Pengobatan di rumah sakit-rumah sakit sudah dilakukan, tetapi malah membuat kondisi Vanila semakin mengkhawatirkan. Sampai akhirnya Vanila benar-benar dinyatakan koma, ibu dan ayah membawa Vanila ke Singapura untuk pengobatan yang dipercaya lebih meyakinkan.
Ranjang putih yang Vanila tiduri bukan hanya sebagai tempat penyembuhan fisik, melainkan sebuah panggung keajaiban di mana gadis itu diberi kesempatan kedua untuk hidup. Saat kedua orang tua Vanila sebenarnya sudah pasrah dengan semua keputusan yang diberikan oleh Tuhan, tetapi akibat kesabaran mereka, doa, dan seluruh usaha yang sudah dilakukan, Vanila bisa kembali membuka matanya.
Tidak lama kemudian, dokter dan beberapa asistennya pun datang untuk melakukan pemeriksaan pada Vanila. Ibu dan ayah Vanila diperkenankan untuk menunggu di luar saat itu. Dari raut wajah sang dokter, Vanila bisa melihat ada pancaran kebahagiaan yang tergambar. Sesekali, Vanila mendengar sang dokter berbicara menggunakan Bahasa Mandarin dengan asistennya. Namun, Vanila yakin itu adalah hal yang baik.
Meski Vanila memiliki darah Chinese dalam tubuhnya, dia tetap tidak paham Bahasa Mandarin. Tidak heran, karena memang Vanila tidak memperlajarinya.
"Can you stick out your tongue, Vanila?" ujar sang dokter.
Vanila merasakan lemahnya tubuhnya, tetapi tekadnya untuk mengikuti setiap arahan dokter tetap kuat. Meski lemas, dia menjulurkan lidahnya saat dokter menyorotkan senter kecil ke dalam mulutnya. Suara pelan bergumam dan anggukan perlahan menjadi tanggapan Vanila, yang mencoba menjalin komunikasi dalam keterbatasannya.
Di sampingnya, suster dengan cermat mengecek infus yang hampir habis, lalu dengan hati-hati menggantinya. Tiga sosok berjasa itu kemudian berbincang sebentar di sudut ruangan, meninggalkan Vanila seorang diri dengan bayang-bayang ketidakpastian.
Vanila, yang hanya dapat memejamkan mata, merasakan efek bius yang menjalar di seluruh tubuhnya. Cairan yang disuntikkan oleh dokter telah mengaburkan batas antara sadar dan tidak. Perasaan Vanila seolah-olah terombang-ambing, tanpa warna emosi yang jelas. Tidak ada senang, sedih, haru, atau bahkan kecemasan. Hanya kebingungan yang terus menjalar, menyelimuti tubuhnya seperti kabut tipis.
Apa aku baru mati suri, ya? Pikiran itu melayang dalam keheningan ruangan. Meskipun tubuhnya lemas, kebingungannya menunjukkan bahwa entitas kehidupan masih ada di dalamnya. Dalam keheningan itu, Vanila merenung tentang arti kehidupannya yang telah dijalani sejak kecil. Nama yang selalu diucapkannya sendiri kini seperti sebuah beban yang tak terlupakan. Ya, Vanila selalu menyebut dirinya dengan sebutan nama.
Vanila merupakan anak tunggal dari pasangan pengusaha properti terkemuka, tumbuh dalam kemewahan. Saham mereka tersebar di beberapa perusahaan besar Indonesia. Namun, keberadaan harta dan kekayaan itu tidak pernah menciptakan bayangan kemewahan yang melekat pada Vanila. Sebaliknya, dia menekankan kemandiriannya, membangun pondasi atas usahanya sendiri.
Di balik wajahnya yang cantik, terpancar keteguhan dan tekad. Vanila bukanlah anak yang manja dengan segala kekayaan yang dimilikinya. Dia selalu berusaha keras dan bersikeras untuk meraih segalanya dengan usahanya sendiri. Meski memiliki segalanya, Vanila selalu mencari tantangan dan memilih untuk tidak bergantung pada nama besar keluarganya.
Ruangan medis itu dipenuhi keharuan yang tidak terungkap dengan kata-kata. Suara langkah cepat kedua orang tua yang dipenuhi emosi memecah keheningan, dan begitu mereka memasuki ruangan, seakan-akan udara berubah menjadi lebih hangat. Mata ibu yang dipenuhi air mata menciptakan aliran sungai tak beraturan di pipinya, mencerminkan keharuan dan kelegaan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.
Ibu dengan lembut duduk di sisi kiri ranjang, tangannya segera menemukan jari-jari lemas Vanila. Sentuhan itu seperti mengalirkan kekuatan dan kasih sayang yang mendalam. Di sisi kanan ranjang, ayah dengan penuh kelembutan mengelus rambut Vanila, memberikan kehadiran yang penuh pengertian.
"Dokter bilang, semua ini adalah berkat Tuhan. Sebelumnya, jarang sekali ada kasus yang seperti ini," ujar sang ayah, senyum tipisnya menyinari wajahnya. Senyuman itu, seolah-olah membawa kehangatan yang mampu menyentuh hati Vanila.
Vanila merasakan keinginan kuat untuk memeluk mereka berdua, tetapi tubuhnya masih lemah. Tatapan syukur dalam matanya adalah satu-satunya ungkapan yang mampu dia berikan. Ibu yang tak dapat berkata-kata masih terus menangis, sesekali mencium tangan Vanila, sebagai tanda kasih sayang yang tidak terbatas.
Dalam momen kebahagiaan ini, atmosfer haru melekat erat pada keluarga kecil tersebut. Ruangan itu dipenuhi dengan aura cinta dan syukur. Ayah dengan penuh keyakinan menambahkan, "Puji Tuhan, kabel-kabel ini besok sore sudah bisa dilepas."
Kabar baik itu membuat suasana semakin penuh kegembiraan, memberikan harapan baru bagi masa depan Vanila.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top