48. Selamat Tidur Alsenon
"Kurangi bermain ponsel. Kurangi bermain sosmed. Perbanyak belajar dan membaca. UAS akan dilaksanakan senin depan. Ibu harap kalian bisa melaluinya dengan baik. Sekian untuk hari ini."
Aku terkekeh miris mendengar nasehat Buk Calina. Masalah yang kuhadapi bukanlah hape, game, atau sosmed melainkan hidup dan mati. Mana bisa aku fokus pada UAS selagi Auris belum tertangkap?
Dari sekian banyaknya temanku, kini yang tersisa adalah Serena, Aga, Cielo, dan aku. Empat orang. Apakah kami bisa mengikuti UAS dengan tenang?Bagaimana jika Auristella memburu kembali?
Jika iya, aku akan sangat berterima kasih. Dia memberiku peluang untuk balik memburunya.
Kleps! Aku membuka lokerku. Termangu.
HARI INI TIADA. KEMARIN HIDUP.
Bibirku melengkung membuat senyuman. Baru tadi aku mengatakan akan bersyukur kalau Auris kembali muncul ke permukaan setelah Hanya mati, dia langsung mengabulkannya. Aku senang karena dugaanku benar: Auristella tidak berencana berhenti mengejar kami meski Hanya telah tewas.
Baiklah. Mari kita bersama-sama menuju akhir, Auri. Ini baru menyenangkan. Aku sempat jengkel kau menghilang sebulan. Ayo lanjutkan permainannya.
"Hei, Hari Senin, kau di sana rupanya."
Aku menoleh. Aga, Serena, dan Cielo melambaikan tangan dari ujung lorong, menyapaku sembari memegang masing-masing surat berdarah.
Cielo melangkah mendekat, tampak senang. "Kau dapat juga? Surat cinta kedua dari Putri Bintang Auristella?" tanyanya, melongok ke dalam lokerku yang masih terbuka, tersenyum. "Ternyata iya."
"Kita serempak mendapatkannya kali ini," kata Aga. "Apa kalian memikirkan hal sama denganku?"
Aku dan Serena bersitatap, mengangguk. Auris akan melakukan pertunjukannya yang terakhir dengan kami berempat menjadi badut di pentasnya.
Hening sejenak. Hanya terdengar suara riang siswa-siswi yang meninggalkan gedung sekolah.
"Apa..." Serena memecah hening. Kami menatapnya.
"Ada yang mau bersenang-senang besok?"
*
Hari sabtu, yang mana lusa kami akan UAS untuk naik ke kelas sebelas. Setelah mengambil nomor ujian, kami berempat sepakat bermain ke arkade setelah sekian lama dipusingkan masalah Auristella.
"Ayo kita main sepuasnya hari ini!"
Semua mesin game yang ada di arkade kami hampiri satu per satu. Tentu saja kami patungan untuk menukar uang dengan koin. Toh, kami juga sudah minta izin ke orangtua dan wali masing-masing bahwa hari ini kami menghabiskan waktu di luar.
Pertama, Cielo dan Serena bertanding game maimai yang dimenangkan Serena. Dibandingkan Serena, layar yang dimainkan Cielo penuh oleh miss.
"Cih! Aku gak jago main game ginian!" Demikian katanya, memprotes. "Ayo main game perang!"
Melihat Cielo, Aga, dan Serena menikmati 'liburan satu hari' ini membuatku tersenyum tipis. Ah, kapan kami bersenang-senang terakhir kali ya?
Cielo menghembus furnitur pistol—padahal tak ada asap. Dia kebanyakan lagak. "Yeah, menang 17 kali."
Aga melotot. "Kau memilih game jagoanmu! Kalau gitu ayo kita coba mesin cepit itu!" serunya, tidak terima dikalahkan telak. "Kenawhy? Takut bos?"
"AYO! SIAPA JUGA YANG TAKUT!"
Aku bersedekap, menonton. Sepuluh menit setelah Aga mendeklarasikan perang pada Cielo, rupanya mereka sama-sama tidak mahir bermain mesin capit. Keduanya sudah menghabiskan puluhan koin, tapi tidak mendapatkan satu pun boneka.
Serena menyikut lenganku, menunjuk Cielo dan Aga dengan dagu. "Gih, cobain sana. Kau dari tadi mantengin kami mulu. Takut kalah saing?"
Sebenarnya aku malas meladeni provokasi Serena yang konyol (ditambah aku tidak begitu jago bermain jepitan), tapi ya sudahlah. Aku melangkah maju, memasukkan dua koin, menggerakkan tombol.
Tinggal sedikit lagi, bonekanya malah nyangkut.
"Apa kita gak punya koin lagi?" Aku paling tidak suka sudah di penghujung begitu malah ngestuck.
Serena menggeleng. "Udah dihabisin ama mereka berdua. Dapat boneka aja kagak. Huu! Payah!"
"Kalau begitu..." Aku berdiri di samping kotak mesin jepit, bersiap mengangkatnya supaya boneka yang nyangkut lolos ke lubang keluar. "Tinggal aku—"
"HEI! HEI! HEI! Kau mau apa, heh?!"
*
Sisa hari kami habiskan dengan memandangi sunset sambil mengemut es krim. Pada akhirnya kami gagal mengeluarkan boneka yang nyangkut karena petugas arkade memarahiku. Semua uangku habis!
"Ini gara-garamu, Sen. Kau sih kebawa emosi. Kita kan jadi diusir." Serena melempar kesalahan padaku.
Aku memalingkan kepala. Seharusnya Aga dan Cielo yang disalahkan karena membuang-buang koin! Kebanyakan gaya, hasilnya ampas.
Tapi aku memilih diam, menghabiskan es krimku.
Serena membuang stik esnya. "Baiklah, bermainnya berakhir di sini. Lusa kita sudah UAS. Besok waktunya membereskan si Aurisinting."
Sudah kuduga. Ada udang di balik batu. Event 'bersenang-senang' ini cuma kedok belaka untuk mendiskusikan masalah Auri dengan perasaan yang sedikit gembira (akhirnya bisa healing sejenak).
"Kalian sudah tahu identitas Auristella?" tanyaku basa-basi. Jelas mereka telah menyimpulkan siapa Auris sesungguhnya karena semalam aku langsung melaporkan hasil forensik Kak Alpha ke mereka.
"Yeah, begitulah." Giliran Cielo yang membuang stiknya. "Aku juga sudah tahu makna dari kalimat: Kemarin Hidup Hari Ini Tiada dan surat yang kita dapatkan tadi: Hari Ini Tiada Kemarin Hidup."
Aga menghela napas panjang. "Kemarin Hidup Hari Ini Tiada, bertajuk pada hubungan Auristella dan Kak Alpha. Obsesi Auris yang menginginkan Kak Alpha miliknya seorang membuat Kak Alpha tidak sanggup terus menjalani hubungan mereka. Tetapi, Auris tidak menerima Kak Alpha memutuskannya dan melampiaskan amarahnya pada teman-teman Kak Alpha, berpikir mereka mengambil miliknya. Kak Alpha marah besar dan Auristella gelap mata..."
Aku mengangguk. Auris membunuh Kak Alpha.
Atas duka kehilangan sang pacar tercinta, si gila itu pergi ke taman bermain Sky Starry, tempat mereka sering berkencan dahulu. Nah! Di sana lah dia tak sengaja bertemu dengan Hanya lantas mengidap Sindrom Erotomania akut. Auris mengira Hanya menyukainya karena membantu (menghibur dia lah istilahnya) yang sedang galau. Sakit hati.
"Menurutku bagian itu sedikit miris. Kan dia yang bunuh Kak Alpha. Kenapa dia sedih? Harusnya dia mengutuk dirinya yang begitu terobsesi sampai membunuh teman-teman kekasihnya," gerutu Cielo.
Once Wicked Always Wicked. Aku membatin, menerima minuman yang dibukakan Aga. "Tengkyu."
"Hari Ini Tiada. Kemarin Hidup..." Aku dan Cielo diam, memusatkan perhatian ke Serena. "Kalimat itu pasti mengarah pada Hanya yang memberinya cahaya baru setelah kehilangan Kak Alpha, namun bunuh diri demi melindungi teman-temannya. Sama seperti yang dilakukan Auri ke Kak Alpha, Auris mencuri jasad Hanya untuk memuaskan nafsunya."
"Lalu, alasan terbesar Auristella masih belum melepaskan kita dari nafsu membunuhnya..." Jeda sedetik sebelum Cielo melanjutkan, "Karena dia marah Hanya tidak mengingat mereka pernah bertemu di taman bermain Sky Starry. Auris pikir mungkin menyiksa Hanya dengan menghancurkan mental target, Hanya pasti bisa mengingat dirinya. Tapi Hanya justru bunuh diri. Auri merasa marah."
Aku menegak habis minuman tersebut. "Jadi, untuk apa kita membahas identitas Auristella di tempat ini sekarang juga? Seolah gak ada waktu lain."
"Kan aku sudah bilang di atas. Besok kami akan menangkap Auris. Anggap saja ini kali terakhir kita bersenang-senang bersama. Ya, kan?" Cielo menatap Aga dan Serena. Mereka mengangguk.
Tunggu. Apa aku salah dengar barusan? Cielo salah redaksi kata. Kan mestinya 'kita' bukan 'kami'.
"Kenapa aku nggak dihitung—Nyut!"
Aku memegang kepalaku yang tiba-tiba terasa pusing. Apa ini? Apa aku salah makan sesuatu? Tatapanku jatuh ke minuman yang diberi Aga, menatap mereka bertiga yang tersenyum simpul.
"Tunggu... Jangan bilang kalian...? Gak boleh..."
Sial! Aku tidak boleh tertidur! Aku tidak percaya Cielo, Aga, dan Serena nekat melakukan ini padaku.
Aga tersenyum. "Cukup Hanya, gak perlu ditambahi denganmu, Sen. Kau gak usah khawatir. Kami pasti bisa menangkap Auri dan memenjarakannya."
Cielo menyengir. "Maaf belakangan ini aku terus menggodamu, Sen. Ketahuilah, aku gak serius kok."
"Jangan... konyol! Lawan kalian itu... Monster..." Makin lama, rasa kantuk ini makin memberatkan kepalaku. Obat jenis apa yang mereka masukkan?
"Kenapa... kalian tega... Kalian gak bisa..."
Bicaraku mulai melantur. Pandanganku samar.
Hal terakhir yang kulihat adalah senyuman Serena sebelum akhirnya kegelapan mendatangiku.
"Selamat tidur, Alsenon. Maafkan kami."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top