45. Sekaligus Korban Keenam

Di rumahnya, Hanya terus terngiang-ngiang kejadian di Rumah Duka, tentang bukti yang didapatkan Abigail sebagai ganti nyawanya.

"Hahaha..." Dia perlahan tertawa pelan, meremas anak rambut. "Hahaha." Tawanya terdengar semakin kencang namun itu bukan lah tawa yang menggambarkan kesenangan melainkan sumbang, parau, sedih, dan terdengar memilukan.

Jadi selama ini, teman-temannya mati karena Auris terobsesi padanya. Auris membunuh semua temannya sebab tidak suka ada yang dekat-dekat dengan dirinya, mengklaim Hanya miliknya seorang.

Maafkan aku, Abigail. Maafkan aku...

Ini mungkin kenyataan paling pahit di hidup Hanya. Fakta Abigail mati demi menguak tujuan Auris memburu mereka tak lain tak bukan karena adanya Hanya. Karena Auris menginginkannya.

"Kenapa denganmu?" tanya Ingin, keheranan melihat Hanya tidak menyentuh makan malam.

Terus terang, sejak Hanya pulang sekolah, Ingin sudah merasa aneh dengan gestur tubuh dan wajah adik semata wayangnya itu. Ingin tahu Hanya terluka karena kematian temannya, tetapi tatapan Hanya tidak mencerminkan kesedihan melainkan...

... Kehilangan hasrat untuk hidup. Bola matanya itu menunjukkan kehampaan dan kekosongan.

"Hanya, kau masih ingat apa yang kukatakan terakhir kali? Kalau kau punya masalah, jangan sungkan cerita padaku. Kau masih lah tanggung jawabku selama orang tua kita pergi."

Pemilik nama tidak mendengar celoteh kakaknya, sibuk memikirkan jalan keluar supaya tidak ada lagi yang menjadi korban Auristella. Agar teman-temannya tidak lagi dibunuh oleh Auris.

Ya, benar. Cuma ada satu cara supaya Auris si psiko itu berhenti memburu temannya yang tersisa.

Hanya menatap Ingin. "Kakak..."

Ingin balik menatapnya. "Kenapa?"

Hanya tersenyum. "Aku menyayangimu," katanya sambil melahap makan malamnya sampai habis.

Walau bingung dengan ungkapan yang tiba-tiba itu, Ingin menjawab, "Aku juga menyayangimu."

*

Tidak usah tanya lagi mengapa aku datang pagi sekali ke sekolah, mondar-mandir laksana setrika di kelas sambil komat-komit. Penyebabnya jelas:

Aku mencemaskan Hanya.

Dari semalam dia tidak membalas pesanku ataupun menjawab teleponku. Dia langsung pergi dari Rumah Duka setelah melihat foto di hape Abigail. Aku tidak bisa menebak apa yang dipikirkan anak itu. Apa pun itu, jelas bukan pertanda baik.

Juga, tadi subuh Kak Ingin mengatakan bahwa Hanya memperlihatkan gerak-gerik ganjil. Dia sudah tak ada di kamarnya saat Kak Ingin bangun.

Sial! Aku benar-benar sangat risau—Bats!

Seseorang atau lebih tepatnya Cielo, menarik kerah bajuku dan mendorongku ke papan tulis cukup kencang sehingga punggungku terasa sakit. Cielo menatapku murka, menekan dadaku.

"Kau gak merencanakan sesuatu, kan?" tajamnya.

"Apa maksudmu?!" Aku memberontak. "Lepaskan—"

"KAU NGGAK BERENCANA MENYINGKIRKAN HANYA UNTUK MENGHENTIKAN AURIS, KAN?"

Mataku mendelik, balik mengasari Cielo. "Maksudmu kau mengira aku akan membunuh Hanya?! KAU GILA, YA?! Mana mungkin aku melakukannya! Dia temanku! Mustahil aku membunuh temanku sendiri!"

"Oh, ya? Setelah menunjukkan mata ikan mati dan rasa harus darah padaku?! Jangan munafik deh!"

Aku tergelak. "Munafik? Bukankah kau juga?"

"BISAKAH KALIAN BERDUA BERHENTI?" seru dua orang yang berdiri di depan pintu kelas. Adalah Serena dan Aga, menghentikan pergerakanku dan Cielo yang hendak saling melemparkan tinju. Kami langsung mundur seolah tidak terjadi apa-apa.

Aga mendekat dengan mata berair. Hidungnya merah. "Hanya menghilang, tapi kalian malah ribut sendiri. Bisakah kita fokus pada Hanya dahulu?"

"Aku juga khawatir pada Hanya! Tapi kita bisa apa? Kita gak dapat melacaknya!" sergah Cielo.

Kami sudah di atas kefrustasian. Setelah menerima fakta pahit Abigail harus pergi meninggalkan kami seperti Noura dan yang lain, kini giliran Hanya.

"Apa kau sudah dengar?" Lamat-lamat terdengar suara percakapan. Aku menoleh ke tiga murid yang baru datang, masuk tanpa memikirkan hal pelik seperti kami. "Katanya ada wahana baru yang sedang dibangun di taman bermain Sky Starry!"

Tanganku terkepal. Aku iri sekali dengan mereka, bisa menjalani kehidupan sekolah normal tanpa takut oleh psikopat yang mengincar nyawanya.

Sedangkan kami? Aku mengusap wajah. Aku tidak boleh lemah. Hanya akan baik-baik saja. Auris terobsesi dengannya, kan? Maka Auris takkan menyentuhnya. Gadis itu takkan melukainya...

Tunggu dulu. Pacar Kak Alpha adalah Kak Hoshia, kan? Bagaimana kalau Auris membunuh Kak Alpha bukan karena tertarik pada Hanya melainkan tahu Kak Alpha memiliki pacar? Itu menjelaskan kenapa Auris berani membunuh Kak Alpha meski dia mencintainya lalu menjadikan Hanya penggantinya.

Auris marah setelah mengetahui kebohongan Kak Alpha dan mempunyai pacar—Kak Alpha.

Jadi apa sebenarnya makna dari surat teror itu? 'Kemarin hidup, hari ini tiada'. Apa maksudnya?

Pintu kelas dibuka lagi, tapi bukan murid yang datang tetapi Guru BK. Dia menatap wajahku, Aga, Cielo, dan Serena. "Syukurlah kalian sudah datang."

"Kenapa, Buk?" Kami bersitatap.

"Apa kalian melihat Hanya? Kunci ruang osis menghilang. Ibu pikir Hanya yang memegangnya."

"Ah, memang Hanya yang biasanya memegang kunci ruang osis, Buk. Apa Ibu sudah cek osis? Mungkin saja Hanya... ada di sana... sekarang..."

DEG! Kami berempat tertegun. Benar juga! Ruang osis! Aku terlalu kelimpungan dan ide untuk memeriksa ruangan itu tidak terbersit di kepalaku.

Tanpa berpikir dua kali, kami pun keluar dari kelas meninggalkan Guru BK yang bertanya-tanya. Jantungku berdetak kencang. Firasat aneh macam apa yang membelaiku saat ini? Apa Auristella sungguh punya niat untuk membunuh Hanya?

Setibanya, kami menggedor-gedor pintu.

"Hanya! Buka pintunya, Annavaran!" seru Cielo.

"Minggir," kataku dingin. Tak peduli jika ada Aga dan Serena, aku menerjang pintu sekuat tenaga. Kami masuk berbarengan. Seketika mematung.

Ada. Hanya ada di dalam. Dia terbaring di lantai seolah jatuh dari kursi. Tapi yang memilin jantung kami adalah pergelangan tangannya bercucuran darah dengan pisau tergeletak di sebelahnya.

Korban keenam adalah Hanya. Hanya bunuh diri.




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top