2. Aku Jadi MC Cerita Thriller?!
20 menit sebelumnya...
"Jangan mewek, Sen. Aku juga payah basket kok. Kita bisa remedi bareng minggu depan. Jangan semangat dan tetap putus asa, ya!"
Aku manyun. Ada yang salah dari dialognya. Terlebih aku merasa kenal sama kalimat itu. Apa ada tambahan genre? Komedi misalnya.
Usai mengambil nilai (tanpa kutebak pasti Pak Dwayne kasih angka 3), aku duduk di sebelah Abigail yang membaca buku absen. Mau apa cewek ini dengan buku kehadiran? Abigail bukan ketua kelas ataupun sekretaris.
Aku mengintip buku tersebut. Triggered.
1) Murid ini bernama huruf A.
5) Agacia Greisy Korlin.
6) Alsenon Felixo Farrand
8) Murid ini bernama huruf B.
Author benar-benar tidak berniat memberi nama pada mereka yang NPC. Sejenak aku merasa kasihan dan beruntung jadi MC. Kalau aku tidak mendapatkan peran MC, apa karakterku juga kelabu seperti mereka?
"Pak, maaf telat! Habis kena hukum!"
Panjang umur. Aku dan Abigail menoleh ke siswi yang baru saja menerobos barisan. Agacia, kerap dipanggil Aga. Aneh sih. Dia cewek, namun panggilannya kayak cowok. Kenapa tak dipanggil Cia saja? Herman aku.
"Telat lagi, Cinta?" Abigail menceletuk. Aga yang mengenali kami-aku dan dia memang berteman-langsung ngacir ke tempat kami duduk. "Terlambat di hari senin bukan lah pengalaman yang bagus. Pagi ini panas bet."
Aku setuju dengan Abigail. Setelah hujan deras tadi malam, hari ini terik matahari memanggang lapangan sekolah. Aku masih ingat umpatan murid kelasku akan kepsek yang ceramahnya lama. Hampir dua jam.
"Yeah. Tadi mampir beli susu pisang dulu. Minuman satu itu cuman ada di supermarket soalnya," jelasnya singkat, cengengesan.
"Kau suka sekali dengan pisang," gumamku.
"Mungkin saudara jauh monyet."
Itu bukan aku yang ngomong ya. Si Abigail pelakunya. Tapi tampaknya Aga tidak peduli. Dia lebih peduli pada minuman kotak yang dia beli, alasan dia telat datang. Susu pisang.
"Yang sudah selesai praktek, boleh kembali ke kelas. Jangan mengeluyur ke lokal lain."
Aga menarik lengan Abigail yang berdiri hendak balik bersamaku, memelas. "Tunggu aku selesai ambil nilai dong. Ntar kutraktir."
Ditraktir. Siapa yang mau menolak tawaran menggiurkan itu? Abigail menatapku yang sigap memasang ekspresi anteng. "Kau boleh duluan, Sen," ujarnya tidak enak.
"Tidak masalah. Santai saja." Toh, aku bukan anak kecil lagi dibimbing orang masuk kelas.
*
SMA tempat aku sekolah bernama Kitare Hatsejena yang disingkat jadi KRS. Sekolah menyediakan fasilitas loker untuk murid, namun jarang ada yang menggunakannya.
Tentu aku tidak termasuk. Aku meninggalkan seragam putihku di loker. Ini tuh baru senin. Aku tak mau seragamku bau masam kalau kusimpan dalam tas. Mending kugantung. Lagi pula tiap loker memiliki pengharum.
Drap! Drap! Drap!
Hmm? Aku menatap ke depan. Masih tersisa empat anak tangga lagi sebelum aku benar-benar sampai ke dasar lantai, namun telingaku menangkap suara derap kaki.
Ada orang? Padahal aku yakin segelintir murid-murid yang memanfaatkan loker. Atau pemilik kaki ini hanya numpang lewat?
Akhirnya aku melanjutkan langkah, menoleh ke asal suara barusan. Jika saja tangga yang kulewati bukan di sudut patahan lorong, aku akan langsung melihat sosok tersebut.
Lengang. Tak ada siapa pun di sana.
Aku mengerjap, menggorek kuping. Aku yakin aku mendengar suara langkah kaki dan aku bersumpah telingaku masih normal.
Tidak mau ambil pusing, aku mengedikkan bahu, melangkah gontai menuju lokerku. Masalah jangan coba-coba dicari. Bisa berabe urusannya dan beranak pinak nanti.
Dan itulah yang terjadi. Jika aku menghindari masalah, maka masalah itu datang mandiri.
Aku membuka kunci pintu loker, mematung mendapati selembar kertas ditempel menggunakan selotip putih di dinding loker. Yang mengejutkanku bukanlah keberadaan kertas itu, melainkan kalimat yang tertulis.
[Kemarin hidup. Hari ini tiada.]
Apa maksudnya? Ini prank atau ada orang iseng denganku? Ayolah, April Mop sudah lewat bulan lalu. Kalaupun benar prank, apa maksudnya membawa-bawa kata 'tiada'?
Aku tidak bisa berpikir lanjut karena dari tangga, aku mendengar cipika-cipiki guru. Timingnya tidak pas. Bisa-bisa aku yang kena tegur merujuk tinta yang digunakan di atas kertas amat mencolok. Warna merah darah.
Aku memurukkan kertas itu ke sakuku.
*
"Kau baik-baik saja, Sen? Sejak selesai olahraga, wajahmu jadi pucat pasi. Apa kau masih malu karena kepeleset? Padahal aku tertawa dalam hati, gak keceplosan."
Dih. Aku menatap Abigail malas. Bisa-bisanya dia mengaku meledekku dalam kalbunya dengan nada lurus begitu. Aku jadi bingung mau kesal padanya atau anggap angin lalu.
"Dia tidak senang dengan pengakuanmu, Lilith," ucap Aga mengemil keripik pisang.
"Hee?? Padahal aku sudah ngomong jujur."
Apa aku spill saja ya kertas tadi ke mereka? Tapi aku tak mau mereka jadi panik karena surat prank. Tapi, tapi, aku juga enggan memendam sendiri. Ini membuatku risau.
Sial. Hidup tenang pun tidak bisa.
Aku menegakkan badanku. Benar juga. Aku kan punya teman yang ahli dalam perihal pewarna. Kenapa tidak kutanyakan saja padanya? Apa tinta merah ini sekadar cat air biasa atau... Aku menelan ludah. Semoga saja dugaanku dan firasat buruk ini salah.
Grak! Aku bangkit dari kursi. Aku harus menenangkan hati yang bergemuruh tidak tenang. Kupastikan takkan terlibat prahara!
"Lho, lho, kau mau ke mana, Sen?"
"Aku mau pergi sebentar!" seruku pada Aga sebelum melesat keluar dari kelas.
Aga menggaruk kepala. "Kenapa tuh anak? Jangan-jangan dia ngambek samamu, Lith."
"Ga, apa kau mencium sesuatu?" Abigail membahas hal lain, mengendus-endus.
"Sesuatu apa?" Aga mengernyit.
"Kayak bau anyir gitu di meja Senon."
*
Aku sampai di depan Klub Melukis. Ini bukan kali pertama aku memasuki klubnya. Malah terlalu sering sampai PJ-nya menyuruhku bergabung saja ke klub, namun aku tolak.
Klub Langsung Pulang yang terbaik soalnya.
Grek! Aku menggeser pintu ke samping. Hanya ada satu orang di sana, sibuk mengisi kanvas putih dengan panorama. Si paling rajin dan salah satu temanku di SMA ini.
"Hei." Aku memanggil pelan.
Gerakan jari gadis itu terhenti. Bibirnya mengulas senyuman. "Ini kejutan. Tidak kusangka kau inisiatif menemuiku dahulu."
"Aku kemari bukan untuk mengajakmu gelut seperti biasa," kataku hati-hati. Soalnya setiap hari kami selalu saja adu mulut. Bertengkar.
Dia meletakkan kuasnya ke palet yang sudah kumuh oleh berbagai cat warna. "Kau mendeklarasikan gencatan senjata nih?"
"Iya. Aku butuh bantuanmu, Serena."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top