18. Aku Tidak Dapat Suratnya

Lima hari berlalu semenjak pemakaman Buk Ardena, sekolah kembali damai. Auri tidak menunjukkan tanda-tanda akan memburu aku dan teman-temanku, atau menyebarkan surat teror tidak jelas.

Kemarin hidup. Hari ini tiada.

Humuh. Sampai sekarang aku masih belum mendapatkan pencerahan apa arti di balik deretan lima kata itu. Apa iya mengisyaratkan akan ada yang mati?

Kembali ke pertanyaan awal, mengapa Auristella harus menargetkan kami? Sebenarnya apa sih tujuannya! Aku kesal sekaligus gregetan ingin menghajarnya.

Apa dia pasien sindrom schadenfreude? Merasa senang melihat orang lain susah.

"HANYA!" Suara Noura berkumandang. "Kau bolos lagi? Dasar ketos nggak guna! Keliling 30 putaran di lapangan sana!"

"Aku ketiduran di ruang OSIS. Itu tidak masuk membolos." Hanya membela diri.

"Jangan banyak alasan. Cepat lari!"

Aku menopang dagu, memandang datar Hanya yang habis-habisan diomeli oleh Noura. Seragamnya keluar, terlipat-lipat seakan tak disetrika, rambut kusut, dan kantung mata menyerupai panda. Astaga, apa anak itu begadang lagi semalam?

Oh, iya. Baru-baru ini aku merasa ada yang aneh dengan Hanya. Tiap dia pergi ke ruang OSIS, dia yang mengaku cuma tidur sebentar, pada akhirnya bangun tiga jam kemudian. Dia tidak terlihat berbohong, bersikeras bilang dirinya tak berniat membolos pelajaran sama sekali.

Atau aku berpikir terlalu berlebihan, ya?

Tidak. Pasti ada sesuatu nih. Aku harus memergokinya dan bertanya ada apa.

*

—Itu sih yang kubilang.

Tetapi suasana di ruang OSIS ketika jam istirahat kedua tidak memungkinkan untuk aku menginterogasi Hanya. Kami harus melanjutkan pencarian Auristella.

Aku sudah menjelaskan pada mereka, kalau-kalau Auristella sekolah di SMA ini. Masalahnya aku masih belum tahu di mana kelasnya atau nama asli Auristella.

"Topik kita siang ini adalah..." Hanya membuka pertemuan. "Jenis kelamin Auri."

"Apa itu dibutuhkan?" Serena manyun.

"Itu perlu, Ser." Abigail yang menjawab. "Jika kita tahu dia cewek atau cowok, kita bisa mendapatkan secuil petunjuk apa motifnya melakukan ini pada kita."

Aku menoleh. Apa Hanya punya dugaan...

Cowok itu tengah menyalakan dupa antik yang menimbulkan bau harum. Cih, lihat ekspresi bocahnya itu. Aku bersedekap. "Dari mana kau dapatkan benda itu?"

Hanya cengengesan. "Bendahara osis yang memberikannya padaku. Bau aromaterapi banyak manfaatnya lho. Relaksasi, obat gangguan pernapasan, dan bisa membuat tidur berkualitas. Baunya wangi, kan?"

"Semerdekamu saja lah malih."

Tunggu, apa dia bilang barusan? Benda itu dapat membuat tidur berkualitas? Kalau begitu artinya...! Aku menoleh ke langit-langit ruangan. Belum ada cctv di sana, masih kosong sebab dirusak Hanya.

Jangan-jangan Auristella si sinting itu—

"Aku rasa orang yang mendatangi Buk Ardena di rumahnya adalah murid yang punya impresi bagus di mata beliau," celetuk Cielo mengaburkan lamunanku.

Abigail mengerjap. "Kenapa kau berpikir demikian?" Mengingat Buk Ardena itu cuman guru sementara, tidak banyak murid yang menaruh respek padanya.

"Bayangkan, Buk Ardena tidak memasang penjagaan sama sekali. Bukankah artinya beliau menyukai tamu yang datang itu? Sampai membuatkannya teh, aku yakin hubungan keduanya pasti sangat baik."

Aku bersedekap. "Jika iya mereka dekat, kita akan diuntungkan karena seperti yang Abigail katakan, Buk Ardena cuma guru sementara. Sedikit yang hormat pada beliau. Auristella ceroboh kali ini."

"Itu yang bikin aku pusing," kata Noura mendesah panjang. "Mengingat Auris bisa membunuh Graciana dan Chausila tanpa meninggalkan jejak, aku bertanya-tanya kenapa dia mendadak gegabah begini. Apa yang dia dapatkan dari membunuh Buk Ardena coba? Motifnya itu lhoo."

"Dia tidak punya motif apa pun." Kukira Hanya yang membuka suara, rupanya Serena. "Mungkin saja dia membunuh random seperti yang dia lakukan pada Gracia dan Sila. Si brengsek psiko itu."

"Aku tidak setuju, Ovi." Baru lah Hanya angkat mulut, ikut andil dalam diskusi. "Gracia dan Chausila tewas karena mereka mendapatkan surat teror dari Auristella. Aku berpikir surat ini adalah sinyal bahwa dia menargetkan kita."

"J-jangan bilang... si sinting Auristella akan membunuh kita semua? Kita dapat surat berdarah itu, kan?!" cetus Aga.

"Mungkin." Hanya mengangguk singkat.

"Membicarakan itu..." Aku melipat tangan ke dada. "Bagaimana denganmu, Han?"

Satu alis Hanya naik ke atas. "Apanya?"

"Di mana kau mendapatkan surat Auris?"

"Oh, benar juga." Cielo memperbaiki posisi duduknya. "Kami belum tahu di mana kau menemukan surat cinta Auris."

Hanya menelengkan kepala, kebingungan. "Huh? Apa yang kalian bicarakan?" 

"Aku tidak dapat surat apa pun kok."




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top