☁️ ;; 六 𝘂so 嘘 ¡!❞

roku . uso
noun, means lie.

───────

Sejak kecil, (Y/n) tahu bahwa semua hal di dunia ini tidak ada yang abadi. Dari serangga sekecil semut, hingga hal sebesar kehidupan. Semuanya bersifat fana. Hanya sementara. Sewaktu-waktu, mereka pun akan menghilang.

Tetapi, apakah harus secepat ini?

Bahkan angin musim dingin pergi lebih cepat daripada biasanya. Saat ini bunga-bunga memang sudah bermekaran. Tak ada lagi tumpukan salju di pinggir jalan. Tak ada lagi rasa dingin yang menyelimuti ketika keluar rumah. Semua itu lenyap dalam waktu singkat. Sesingkat terbit dan terbenamnya matahari.

Apakah boleh, bolehkah jika dirinya berharap semuanya untuk menjadi lebih lambat? Barang sedikit dan sejenak saja. Apakah diperbolehkan?

"Kau melamun lagi."

(Y/n) sempat terkejut. Ia lupa bahwa saat ini dirinya tak seorang diri. Ada seorang lelaki bersurai putih di hadapannya. Berperan menemani makan malamnya.

"A-Ah, tidak," sahutnya cepat. "Kau sudah selesai?"

Dengan mudah, gadis itu mengubah topik pembicaraan. Seolah-olah ia tengah menghindari suatu hal untuk diperbincangkan.

Nagi mengangguk singkat. Ia membawa piringnya itu. Kemudian, hendak mencucinya. (Y/n) pun mencegahnya.

"Tidak perlu. Biar aku saja yang melakukannya," selanya sebelum Nagi bergerak memakai sarung tangan karet.

Tetapi, lelaki itu bergeming. Di kala (Y/n) sudah berada di sisinya pun, ia masih tetap diam di posisi yang sama. Tatapannya terlihat kosong. Mungkin, ia melamun. Namun, seorang Nagi melamun? Terdengar aneh di telinga.

"Belakangan ini kau tampak sering memikirkan hal lain, (Y/n)."

Ah, rupanya Nagi sadar akan hal itu. (Y/n) memilih untuk mengabaikannya dan lanjut mengenakan sarung tangan karet. Ia pikir, Nagi tak menyadarinya. Atau sebenarnya memang terlalu terlihat jelas?

"Hal apa yang selalu kau pikirkan?"

Pertanyaan Nagi kali ini tak dapat digubris. Gerakan (Y/n) terhenti di udara. Ia menatap ke arah piring kotor yang tersusun berantakan di dalam bak cuci piring. Sementara, otaknya mencari jawaban tercepat dan paling tepat untuk pertanyaan lelaki itu.

"Bukan hal penting, Nagi. Aku hanya memikirkan tentang tugas sekolahku saja," jawab (Y/n) seraya terkekeh.

Kekehan yang terdengar sedang berdusta. Terlalu jelas di telinga, mudah diprediksi.

"Bukan memikirkan tentang kepergianku suatu saat nanti?"

Lilin itu ditiup hingga padam. Panah meluncur dengan tegas dari busur. Tepat sasaran.

"Tidak, tidak. Kau memang seharusnya kembali ke sana, 'kan? Dunia ini bukanlah dunia asalmu. Sudah sewajarnya seperti itu," ucap (Y/n). Ia tak menatap Nagi. Matanya itu hanya fokus pada piring kotor di tangannya.

"Ah, merepotkan."

Gerakan (Y/n) berhenti seketika. Akhirnya ia pun menatap Nagi. Tak menyangka jika lelaki itu tiba-tiba akan menyeletuk demikian.

"Merepotkan?" ulangnya.

"Ya, kau dan kebohonganmu itu."

Raut wajah (Y/n) berubah menjadi datar. "Aku tidak berbohong. Lagi pula, untuk apa?" katanya ketus.

"Aku tahu, (Y/n). Aku tahu bagaimana seseorang berbohong."

Ia mendengkus. Mengapa Nagi mendadak menjadi seseorang yang bersikap serba tahu seperti ini? Seperti bukan dirinya saja. Ataukah sifat aslinya memang begitu?

"Sebab aku juga berbohong padamu."

Jembatan rapuh itu pun ambruk. Tak bisa dilalui lebih lanjut. Tidak ada harapan lagi. Terbenam sudah. Larut setelahnya.

"Kau juga... berbohong? Soal apa?" cecar (Y/n). Ia bingung, heran, tidak tahu-menahu.

Nagi yang masih berdiri di sebelahnya hanya diam mematung. Ia tak mengatakan apapun dan membalikkan tubuhnya. Membiarkan punggungnya berhadapan dengan (Y/n).

"Kau akan tahu suatu saat nanti. Tetapi, bukan sekarang ataupun esok."

Mudah dipercaya, namun terlalu rancu.

***

Dari pagi tadi hingga siang ini, (Y/n) tidak dapat fokus dan berkonsentrasi dengan pelajaran. Ia masih memikirkan perkataan Nagi tadi pagi ketika sarapan. Kata-katanya itu terus berputar di dalam kepala (Y/n) hingga membuatnya muak. Sekaligus merasa penasaran.

Di manakah letak kebohongan Nagi itu? Seharusnya ia merasa kesal sebab dibohongi. Tetapi (Y/n) malah merasa semakin penasaran. Ia berasumsi bahwa kebohongan Nagi bukan menyembunyikan sebuah fakta yang menyakitkan di baliknya. Walaupun hal ini hanyalah sekedar teorinya belaka dan tak didasari bukti kuat apapun.

Ia menghela napas panjang. Pensil mekanik di tangannya ditekan-tekan hingga isinya keluar. Lalu, dimasukkan kembali ke dalam. Sementara pikirannya memikirkan hal lain. Dilihat dari raut wajahnya, (Y/n) terlihat gusar. Gusar akan perkataan Nagi.

Yang tak ia temukan apa jawabannya.

"Sebenarnya apa yang kau maksud, Nagi?" gumamnya pelan.

Otaknya itu masih kebingungan mencari tahu jawaban. Petunjuknya tidak ada. Meskipun berulang kali (Y/n) telah mengingat-ingat perkataan Nagi, ia tetap tidak menemukan di mana letak kebohongan itu. Ataukah kebohongan itu ada pada kalimat terakhir yang ia ucapkan?

Sebab aku juga berbohong padamu.

Bagaimana jika kalimat itulah yang Nagi maksud? (Y/n) mengacak rambutnya kasar. Rasa frustasi menyerang dirinya secara bersamaan. Di kala logika bertindak, hati juga tak mau kalah.

***

"Aku pulang."

Suara pintu yang ditutup mengakhiri ucapan (Y/n). Sepatu dilepas, tatapan diedarkan ke sekitar, tangannya bergerak menyalakan lampu. Tidak seperti biasanya ruangan ini begitu gelap.

Nagi yang biasa duduk di ruang tengah kini tak terlihat. Hanya ponselnya yang berada di atas sofa. Sementara orangnya entah pergi ke mana.

"Nagi?" panggil (Y/n).

Tak ada sahutan yang gadis itu dapat. Ia mendengar suara-suara dari arah kamar di sebelahnya. Dengan cepat, (Y/n) bergegas ke sana. Sebab di sana merupakan kamar Nagi.

Diketuklah pintu itu perlahan. Seraya ikut berucap namanya dari luar. Sekali, dua kali, tiga kali. Tidak ada sahutan apapun. Sampai akhirnya pintu itu dibuka dari dalam. Nagi-lah pelakunya.

"Nagi? Kau tampak pucat. Ada apa?" (Y/n) merasa heran, juga bingung.

"Bukan apa-apa," jawabnya.

(Y/n) diam, tak merespon lebih jauh. Ia sedikit mengintip ke dalam kamar Nagi, meskipun sedikit sulit sebab postur tubuh lelaki itu yang begitu menjulang tinggi. Namun, (Y/n) tetap berusaha untuk memastikan bahwa tak ada apapun yang Nagi sembunyikan.

"Tentang perkataanku tadi pagi. Apakah kau sudah menemukannya?" celetuk Nagi tiba-tiba.

Fokus (Y/n) pun lenyap. Ia memundurkan tubuhnya dan menatap serius pada Nagi. "Ya, mungkin?" sahutnya.

Seketika Nagi tersentak. Tetapi, raut wajahnya kembali normal. "Menurutmu, apa itu?"

"Kau tidak perlu tahu," kata (Y/n). "Marilah kita saling berdusta. Kau dengan kebohonganmu itu, dan aku dengan kebohonganku sendiri."

Lilin kembali dinyalakan. Api yang berkobar di atasnya sudah mulai redup. Di kala api itu padam, maka cerita akan ditulis.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top